Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

SR021 dan SBN Ritel Lainnya, Investasi Aman & Cuan, Tanpa Perlu Ribet

2 September 2024   06:39 Diperbarui: 2 September 2024   16:54 933
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penawaran Sukuk ritel SR021T3 dan SR021T5 telah dibuka selama sepekan, dan antusiasme investor terlihat jelas. Hingga Minggu, 1 September 2024, pukul 12.00, nilai pemesanan telah mencapai Rp3,75 triliun, menurut data dari Bibit.id.

Kuota awal yang ditetapkan Pemerintah untuk SBN ritel kelima di tahun 2024 ini sebesar Rp15 triliun, masing-masing Rp10 triliun untuk SR021T3 dan Rp5 triliun bagi SR021T5. Dengan demikian, masih tersisa sekitar Rp11,25 triliun

Bagi mereka yang belum sempat berinvestasi di instrumen keuangan berbasis syariah ini, masih ada kesempatan sebelum penawaran ditutup pada 18 September 2024 mendatang

Kesempatan berinvestasi di instrumen keuangan sekeren SBN ritel, sebenarnya sangat sayang untuk dilewatkan, karena ini "barang bagus" 

Sayangnya meskipun produk berkualitas, bahkan acap disebut safe haven dalam dunia investasi portofolio, SBN ritel belum menjadi pilihan utama masyarakat dalam berinvestasi.

Berdasarkan hasil survei Jakpat yang dikutip oleh IDX Channel, hingga akhir tahun 2022, instrumen investasi favorit masih emas dan perhiasan dengan 48 persen, disusul reksa dana 34 persen, logam mulia dan deposito 29 persen, saham 26 persen, properti 20 persen dan sisanya lain-lain.

Bayangkan, produk berkualitas sekelas SBN ritel bahkan tidak disebutkan, hanya masuk dalam kategori investasi 'lain-lain'

Tidak mengherankan jika, seperti dicatat oleh Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), jumlah investor SBN ritel belum mencapai 1 juta orang, meskipun untuk investor SBN secara keseluruhan, umum dan ritel, per Juli 2024 sudah sebesar 1.124.900 investor.

Namun, angka tersebut masih jauh di bawah jumlah investor reksa dana yang sudah mencapai 12.573.889 investor, dan investor di pasar modal secara keseluruhan yang sebesar 13.346.470 investor.

Pertanyaannya, mengapa minat masyarakat untuk berinvestasi di SBN ritel masih rendah?

Jawabannya sudah jelas, itu bukan lantaran kualitas instrumen investasinya yang buruk

Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, SBN ritel adalah produk berkualitas,  Instrumen investasi ini diterbitkan oleh negara, sehingga keamanannya terjamin. Pembayaran pokok dan imbal hasilnya dibayarkan tepat waktu, dan keberadaannya dijamin oleh dua undang-undang

Imbal hasilnya menarik, selalu di atas suku bunga acuan Bank Indonesia dan rata-rata suku bunga deposito di bank-bank buku 4.

Proses berinvestasinya sangat mudah, bahkan bisa dilakukan secara daring. Selain itu, nilai minimal investasinya terjangkau; dengan Rp1 juta, sudah bisa berinvestasi.

Mengapa SBN Ritel Belum Populer

Alasan utama mengapa masyarakat masih enggan berinvestasi di SBN ritel adalah karena faktor kebiasaan dan pengetahuan yang diwariskan dari generasi sebelumnya. Banyak orang Indonesia tumbuh dengan keyakinan bahwa emas, properti, atau deposito adalah pilihan investasi paling aman. 

Buku 'Psychology of Money' karya Morgan Housel menjelaskan bahwa keputusan keuangan kita seringkali dipengaruhi oleh pengalaman dan pengetahuan yang kita peroleh selama tumbuh dewasa.

Oleh karena itu, sejak 2018, saya mencoba memperkenalkan SBN dan sukuk ritel melalui tulisan-tulisan di Kompasiana, agar instrumen investasi ini terdengar lebih akrab di telinga pembacanya.

Perbandingan SBN Ritel dengan Investasi Lain

Untuk memahami perbandingan berinvestasi di SBN atau sukuk ritel dengan emas, properti, deposito, dan reksa dana, mari kita bahas lebih lanjut. 

Emas.

Instrumen emas merupakan investasi paling populer di hampir semua kalangan di Indonesia, menurut survei Jaktap 48 persen masyarakat indonesia menginvestasikan uangnya di emas.

Dalam pengelolaan investasi, emas umumnya berfungsi sebagai instrumen lindung nilai atau hedging, mengingat atas aset yang dimiliki dari risiko tergerus inflasi serta menurunnya nilai tukar rupiah.

Gambaran sederhananya, kita merencanakan untuk membiayai anak masuk kuliah 5 tahun lagi, dan biaya masuk kuliah hari ini setara dengan 20 gram emas.

Maka sekarang  kita bisa membeli emas seberat 20 gram dengan harapan harga jualnya 5 tahun mendatang cukup untuk membiayai masuk kuliah anak kita.

Namun demikian, dalam kondisi normal, emas memiliki beberapa keterbatasan, antara lain kenaikan harga emas tak terlalu tinggi dibanding instrumen investasi lain, cenderung fluktuatif dalam jangka pendek meski relatif stabil untuk jangka panjang.

Selain itu, dengan memiliki emas kita harus menyiapkan tempat penyimpanannya agar aman dan itu membutuhkan penanganan tersendiri. Emas juga tidak memberi pemasukan berkala, seperti imbal hasil atau deviden. 

Berbeda dengan SBN ritel, instrumen investasi ini jelas bisa menjadi passive income bagi investornya. Secara rutin setiap bulan Pemerintah membayarkan imbal hasilnya ke rekening kita.

Imbal hasilnya pun cukup bersaing lah dengan kenaikan harga emas, dalam kondisi normal. Dan tak perlu mengkhawatirkan cara menyimpannya karena SBN ritel tersimpan dalam bentuk digital dengan sistem yang sudah teruji keandalannya

Properti

Selain emas, properti adalah instrumen investasi yang cukup populer di masyarakat kita. Mungkin kita sering mendengar "tenang saja mana ada sih harga tanah atau rumah yang nilainya turun di masa mendatang"

Padahal faktanya, ya tak sepenuhnya juga seperti itu. Mungkin pomeo tadi berlaku jika lokasi propertinya di tempat strategis, kalau di pinggiran yang susah akses, ya sulit juga naik harganya.

Properti memang bisa menghasilkan income tambahan secara berkala dengan cara menyewakannya, atau bisa juga diajukan sebagai agunan ke bank jika kita membutuhkan uang untuk kebutuhan tertentu.

Namun sayangnya, properti itu tidak likuid. Tidak mudah mencairkannya menjadi uang, jika kita butuh uang mendadak.

Belum lagi jika kita berbicara masalah pemeliharaannya yang bisa jadi sangat mahal. Andai pun disewakan, berpotensi menghadapu penyewa bermasalah atau tak ada penyewa.

Dan yang terpenting untuk berinvestasi di sebuah properti, membutuhkan uang yang sangat besar.

Kebalikan dari berinvestasi di properti, uang yang dibutuhkan untuk memulai investasi di SBN ritel cukup ekonomis, hanya dengan Rp1 juta saja kita sudah bisa mulai berinvestasi di instrumen ini.

Sepanjang masa jatuh tempo SBN ritel belum tiba, kita akan mendapakan imbal hasil secara reguler dengan jumlah yang pasti.

Selama jangka waktu itu, memang ada kemungkinan nilai SBN ritel turun, tapi juga ada kemungkinan untuk naik, kalau di jual di pasar sekunder, tapi at the end, saat masa jatuh temponya tiba nilainya akan kembali ke harga pokok investasi awal.

Dan yang tsrpenting, jika membutuhkan uang mendadak SBN ritel lebih likuid dibandingkan properti.

Reksa Dana

Reksa dana untuk jenis tertentu memang memiliki potensi keuntungan yang lebih tinggi, namun seiring dengan potensi keuntungannya , risikonya pun cukup besar.

Artinya berinvestasi di  reksa dana tak ada jaminan pasti akan mendapatkan keuntungan, berbeda dengan SBN ritel yang sudah pasti memberikan imbal hasil dengan nilai tetap secara reguler.

Dan yang paling penting reksa dana tak di jamin pemerintah, hingga ada potensi kehilangan pokok dan imbal hasilnya. Oleh sebab itu kita harus berhati-hati dalam memilih Manajer Investasi yang mengelola dana yang kita belikan di produk investasi ini.

Berbeda dengan SBN ritel, meskipun nilai imbal hasilnya sangat mungkin lebih rendah dibanding reksa dana, tapi risiko SBN ritel.nyaris nol karena dijamin Pemerintah

Deposito 

Secara umum deposito di perbankan merupakan instrumen keuangan yang paling banyak digunakan di Indonesia. Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) 80 persen aset industri jasa keuangan di Indonesia dikuasai oleh perbankan.

Dan deposito merupakan salah satu produk keuangan yang paling populer karena aksesnya relatif mudah dan sudah familiar di tengah masyarakat.

Namun sayangnya, bunga atau imbal hasil yang ditawarkannya sangat rendah sehingga nilai investasinya rentan dihantam inflasi.

Untuk keamanannya memang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) tapi maksimal Rp2 milyar per rekening per bank. Sedangkan SBN ritel tidak ada batas maksimal karena seluruh pokok dan imbal hasilnya dijamin oleh UU SBN dan UU SBSN serta dialokasikan anggarannya dalam UU APBN.

Selain itu, terdapat insentif pajak di mana PPh final atas imbal hasil SBN ritel yang hanya 10 persen, sementara PPh final bunga deposito 20 persen

Memilih SBN Ritel yang Tepat

Setelah mengupas tuntas berbagai kelebihan dan keuntungan berinvestasi di SBN ritel, mungkin Anda mulai tertarik untuk terjun ke dalamnya. Tapi, pertanyaan yang sering muncul adalah, "SBN ritel mana yang paling cocok untuk saya?"

Jawabannya tidak bisa sembarangan. Kita perlu menggali lebih dalam tentang tujuan investasinya, berapa lama ingin berinvestasi, dan seberapa besar risiko yang siap ditanggung. Setelah itu, barulah bisa mencari instrumen SBN ritel yang paling pas untuk investasi kita.

Bicara soal risiko, SBN ritel secara umum termasuk instrumen investasi yang tingkat risikonya rendah, sehingga cocok untuk hampir semua kalangan investor. 

Tapi ingat, ada beberapa jenis SBN ritel dengan karakteristik yang berbeda. ORI dan SR, misalnya, menawarkan imbal hasil tetap (fixed rate). Ini cocok bagi mereka yang ingin kepastian dan tidak terlalu khawatir dengan fluktuasi harga di pasar sekunder. 

Di sisi lain, ada SBR dan ST yang imbal hasilnya mengambang dengan batas minimal (floating with floor). Ini bisa jadi pilihan jika kita ingin melindungi nilai investasi yang kita miliki dari fluktuasi suku bunga.

Jangka waktu investasi juga penting. Kalau tujuannya untuk jangka menengah, misalnya dana pendidikan anak atau DP rumah dalam beberapa tahun ke depan, SBN ritel dengan tenor 2 hingga 6 tahun bisa jadi pilihan. 

Tapi kalau  jangka panjang, seperti untuk dana pensiun, kita bisa mempertimbangkan re-investasi SBN ritel saat jatuh tempo atau melirik SBN non-ritel.

Setiap pilihan dalam berinvestasi memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Dengan memahami karakteristik setiap instrumen investasi dan menyesuaikannya dengan profil risiko, tujuan investasi, dan jangka waktu investasi, kita dapat membuat keputusan yang lebih tepat dan bijaksana.

https://www.djppr.kemenkeu.go.id/sbnritel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun