SRBI) pada 15 September 2023. SRBI diharapkan menjadi jurus ampuh untuk menjaga stabilitas rupiah dan meredam inflasi.Â
Di tengah gejolak ekonomi global dan fluktuasi nilai tukar rupiah, Bank Indonesia (BI) meluncurkan instrumen baru bernama Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (Namun, ekonom senior M. Chatib Basri dalam acara Mandiri Investasi Market Outlook 2024, bertajuk "Cruising The Crossroads on The Narrow Strait" yang saya hadiri secara daring Kamis (18/07/2024) pekan lalu, menyoroti potensi dampak negatif SRBI terhadap likuiditas dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Di sesi diskusi panel pertama dengan narasumber yang juga merupakan Komisaris Utama Bank Mandiri, M. Chatib Basri dan Raisah Rasid, Global Market Strategis JP. Morgan Asset Management, Singapura.
Dalam kesempatan tersebut Chatib Basri yang sempat menjadi Menteri Keuangan di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memaparkan bahwa penerbitan SRBI oleh Bank Indonesia membuat likuiditas di pasar keuangan Indonesia menjadi lebih ketat yang mendorong cost of fund atau biaya pendanaan menjadi naik.
"Likuiditas semakin ketat, karena ada instrumen lain yang menarik likuiditas dari pasar yang namanya SRBI" ujarnya
Ia menambahkan, penerbitan SRBI menimbulkan crowding out effect terhadap pasar keuangan karena sebagian besar dana investasi akan lari ke SRBI.
"Inilah yang kemudian akan berpengaruh karena nanti implikasinya adalah cost of fund -nya  jadi naik. Karena orang akan melihat mana yang lebih menguntungkan termasuk bond atau goverment bond," tambahnya.
Sebagai tambahan informasi crowding out effect adalah fenomena ekonomi di mana peningkatan pengeluaran pemerintah (dalam hal ini, penerbitan SRBI oleh Bank Indonesia) menyebabkan penurunan investasi sektor swasta.
Selanjutnya,ia menambahkan bahwa dalam mengeluarkan kebijakan moneter, BI memang tak sepenuhnya independen, tidak hanya nilai tukar Rupiah  yang harus mereka atur , tapi juga menjaga inflasi di bawah 3 persen.
SRBI adalah surat berharga yang diterbitkan oleh BI dengan tujuan utamanya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengendalikan inflasi.
Namun jika berkaca pada pernyataan Chatib Basri di atas, muncul pertanyaan apakah penerbitan SRBI ini benar-benar efektif dan apa pengaruhnya terhadap ekonomi Indonesia?
Setelah melakukan riset sederhana lewat berbagai literatur dan sumber informasi daring lainnya, saya coba akan paparkan beberapa hal.
Mekanisme SRBI, Bagaimana Cara Kerjanya?
Mengutip situs resmi Bank Indonesia, SRBI adalah surat utang jangka pendek dengan tenor 6, 9, hingga maksimal 12 bulan yang diterbitkan oleh BI dengan underlying asset berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang dimiliki BI. Ketika BI menerbitkan SRBI, artinya BI menarik rupiah dari peredaran dengan cara menjual SRBI kepada pelaku pasar.Â
Penawaran perdana SRBI hanya bisa dibeli oleh bank umum peserta Operasi Pasar Terbuka (OPT) konvensional, baik secara langsung maupun melalui lembaga perantara, dengan janji BI akan membeli kembali SRBI tersebut pada tanggal jatuh tempo beserta bunganya.
Penjualan perdana SRBI dilakukan melalui lelang, di mana bank umum yang menjadi peserta lelang mengajukan penawaran harga dan jumlah SRBI yang ingin mereka beli.Â
BI kemudian akan memilih penawaran terbaik berdasarkan harga dan jumlah yang ditawarkan. SRBI dapat diperjualbelikan kembali di pasar sekunder dan diperdagangkan tanpa warkat dengan sistem diskonto.Â
Di pasar sekunder, SRBI bisa dimiliki oleh penduduk domestik atau asing, dengan minimum pembelian Rp1 miliar dengan kelipatan selanjutnya sebesar Rp100 juta.
Tujuan Utana Penerbitan SRBI meliputi,Â
Pertama, Â Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah
Dengan menarik rupiah dari peredaran, SRBI mengurangi jumlah uang beredar, sehingga dapat menahan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing.
Kedua, Pengelolaan Likuiditas Rupiah
SRBI memberikan fleksibilitas bagi BI dalam mengelola likuiditas rupiah di pasar uang, baik dengan menyerap kelebihan likuiditas maupun menambahnya sesuai kebutuhan.
Ketiga,Pengembangan Pasar Keuangan
SRBI diharapkan menjadi alternatif investasi yang menarik bagi investor domestik dan asing, sehingga meningkatkan kedalaman dan likuiditas pasar keuangan Indonesia.
Lantas, apa dampaknya penerbitan SRBI secara umum terhadap perekonomian Indonesia?Â
Penerbitan SRBI memiliki dampak multifaceted terhadap perekonomian Indonesia, seperti dua sisi pedang, dampak positifnya, antara lain
Pertama, Stabilisasi Nilai Tukar: Sejak peluncurannya, SRBI terbukti efektif menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama dalam menghadapi tekanan eksternal seperti kenaikan suku bunga  Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed.
Kedua. Pengendalian Inflasi: Penyerapan likuiditas melalui SRBI berkontribusi pada pengendalian inflasi, meskipun faktor lain seperti harga pangan dan energi global juga berpengaruh.
Ketiga. Pengembangan Pasar Keuangan: SRBI telah menarik minat investor, tercermin dari total outstanding SRBI sejak penerbitannya di September 2023 sampai  Juni 2024, yang menurut Gubeernur BI Perry Warjiyo mencapai Rp721 triliun. Fakta ini menunjukkan potensi pengembangan pasar keuangan yang lebih dalam dan likuid.
TIngginya dana yang diserap SRBI lantaran imbal hasil yang ditawarkan  memang sangat kompetitif, sebagai contoh pada lelang 12 Juli 2024 imbal hasil yang ditawarkan sebesar 7,43 persen untuk tenor 12 bulan, 7,39 persen untuk 9 bulan, 7,30 persen untuk tenor 6 bulan.
Namun demikian, SRBI pun berpotensi menimbulkan dampak negarif, antara lain :
Pertama, Likuiditas Ketat: Penerbitan SRBI yang agresif dapat menyebabkan likuiditas di pasar keuangan menjadi ketat,seperti disampaikan oleh Chatib Basri yang tercermin dari peningkatan suku bunga PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Hal ini jika tak dikelola dengan baik, akan menghambat pertumbuhan kredit dan investasi.
Kedua. Crowding Out Effect: SRBI dapat menarik minat investor yang biasanya menyimpan uangnya di instrumen investasi lain, seperti obligasi Pemeritah, obligasi korporasi, atau saham, sehingga mengurangi dana yang tersedia bagi sektor riil dan berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi jangka panjang.Â
Ketiga. Risiko Ketergantungan pada Investor Asing: Tingginya kepemilikan SRBI oleh investor non-residen pada Kuartal I 2024 mencapai 22 persen, sehingga memunculkan kekhawatiran akan menimbulkan risiko volatilitas pasar jika terjadi penarikan dana secara tiba-tiba.
Secara lebih sederhana SRBI ini dapat diterangkan sebagai sebuah instrumen moneter yang diterbitkan oleh BI. Instrumen moneter  adalah salah satu alat untuk mengendalikan jumlah uang yang beredar.
Ketika BI menerbitkan SRBI dan investor membelinya, maka jumlah uang Rupiah yang beredar menjadi berkurang.
Sesuai hukum ekonomi, supply and demand, ketika Rupiah peredarannya berkurang, diharapkan akan mendorong penguatan nilai tukarnya terhadap Dollar AS. Selain itu, berkurangnya peredaran Rupiah maka inflasi akan lebih mudah dikendalikan.Â
SRBI berbeda dengan Obligasi Pemerintah, seperti Sukuk, ORI seperti yang sering saya tulis, atau FR yang kini ada di pasar.
Kalau Obligasi Pemerintah, dikelola dan diterbitkan oleh Pemerintah yang otomatis pembayaran imbal hasilnya pun dibayar melalui APBN.
Dana hasil dari penerbitannya, akan digunakan oleh negara  untuk membiayai pembangunan infrastruktur, bantuan sosial, subsidi dan operasional pemerintah lainnya.
Sedangkan SRBI, pengelolaan, penerbitan dan pembayaran imbal hasilnya dilakukan oleh BI. Hasilnya pun disimpan di BI, tidak dipakai oleh Pemerintah.
Dengan imbal hasil yang lebih tinggi dari obligasi pemerintah (misalnya, SRBI tenor 1 tahun menawarkan imbal hasil 7,5 persen, sedangkan obligasi pemerintah bertenor 10 tahun hanya 7 persen), SRBI tentu saja sangat menarik bagi para pemburu cuan. Bahkan bank pun akan lebih memilih menyimpan uangnya di SRBI daripada menyalurkannya lewat kredit kepada masyarakat, yang memiliki risiko lebih tinggi.
Alhasil, likuiditas di pasar uang menjadi berkurang sehingga perebutannya menjadi ketat. Karena ketat maka cost of fund-nya naik, ujungnya suku bunga deposito naik yang otomatis bakal mendorong naiknya suku bunga pinjaman.
Lantaran suku bunga pinjaman naik dan uang masyarakat tersedot, tak heranlah jika ada kekhawatiran pertumbuhan ekonomi pun bakal melemah.
Dengan situasi seperti ini, BI perlu secara cermat mengelola penerbitan SRBI untuk menyeimbangkan antara tujuan menjaga stabilitas nilai tukar dan mengendalikan inflasi dengan kebutuhan menjaga likuiditas di pasar keuangan dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Koordinasi yang erat dengan Kementerian Keuangan dalam pengelolaan instrumen moneter dan fiskal juga menjadi krusial.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI