Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Rupiah Melemah, Lantaran Dollar AS Menguat, atau Sebab Lain?

25 Juni 2024   13:22 Diperbarui: 25 Juni 2024   18:23 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay via kontan.co.id

Menjelang pergantian Pemerintahan di Indonesia pada Oktober 2024 mendatang, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS terus mengalami pelemahan secara konstan.

Terhitung sejak akhir Mei 2024 kurs Rupiah terhadap Dollar AS tembus dan stabil di atas Rp.16.000 hingga saat ini. Mengutip, situs keuangan Investing.Com, Selasa (25/06/2024) hari ini Pukul 09.00 nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS berada di level Rp.16.378, sedikit menguat dibandingkan akhir pekan lalu yang sempat mendekati Rp16.500.

Menurut data Bank Indonesia, dalam satu bulan terakhir kurs Rupiah melemah sekitar 2,7 persen. Pelemahan Rupiah lebih parah lagi apabila dibandingkan secara tahunan (year to year) Juni 2023 lalu, yakni terjun bebas sebesar 6,4 persen.

Pemerintah dan Bank Indonesia menyebut pelemahan nilai tukar Rupiah yang terjadi sekarang itu "given" atau "memang seharusnya begitu" karena nilai tukar Dollar AS menguat terhadap hampir seluruh mata uang negara-negara dunia, termasuk Rupiah.

Menurut berbagai sumber informasi yang saya dapatkan, menguatnya nilai tukar Dollar AS terhadap mata uang negara lain disebabkan beberapa faktor, di antaranya:

Kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat, The Fed yang cenderung agresif dengan mempertahankan suku bunga acuan di kisaran cukup tinggi, 5,25-5,50 persen.

Dan dalam dokumen terbarunya seperti dilansir CNBCIndonesia.Com, The Fed mengindikasikan hanya akan ada sekali penurunan suku bunga acuan yang kemungkinan akan dilaksanakan pada Desember 2024, akhir tahun, itu pun hanya 25 basis poin atau 0,25 pesen.

Tingginya suku bunga acuan The Fed ini, menarik investor global untuk menempatkan dananya di AS, karena imbal hasil investasi menjadi lebih menarik. Hal ini meningkatkan permintaan terhadap Dollar AS, dan kemudian mendorong penguatan nilai tukarnya terhadap mata uang lain di dunia.

Selain itu, menguatnya nilai tukar dipicu oleh perekonomian AS yang kian stabil, sehingga tahan terhadap gejolak ekonomi global yang saat ini masih terus berada dalam situasi ketidakpastian akibat berbagai sebab, terutama konflik geopolitik di berbagai wilayah dunia.

Dalam konteks Rupiah, menurut Ekonom Senior dari Universitas Indonesia yang juga Menteri Keuangan di masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), M. Chatib Basri, seperti diungkapkan lewat akun media sosial X miliknya @Chatibbasri, ada hal lain yang menjadi salah satu penyebab pelemahan Rupiah, karena adanya kekuatiran pasar terhadap kesinambungan fiskal Indonesia yang saat ini dianggap sudah cukup memadai.

Menurutnya, pasar mengkuatirkan pada masa Pemerintahan baru mendatang defisit fiskal akan semakin menganga, mengingat begitu banyak program-program yang akan mereka inisiasi dan itu membutuhkan alokasi anggaran yang sangat besar.

Seperti kita tahu, salah satu progran unggulan Prabowo -Gibran yang akan memerintah mulai 20 Oktober 2024 mendatang, adalah makan siang gratis yang belakangan istilahnya bergeser menjadi Program makan bergizi dengan anggaran sangat fantastis dikisaran Rp400 triliun.

Di luar programnya sendiri, Pemerintahan baru mendatang karena mengusung keberlanjutan, masih harus melanjutkan proyek pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN) yang juga berbiayai sangat besar, belum lagi anggaran-anggaran rutin seperti berbagai subsidi dan jaring pengaman sosial, serta pembayaran utang negara yang juga kian membengkak.

Di sisi lain pendapatan negara terlihat tak akan beranjak naik signifikan seiring kenaikan belanjanya, sehingga dalam bayangan pasar defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara(APBN) akan semakin besar.

Apalagi dalam beberapa waktu belakangan, tersiar kabar bahwa Pemerintah Prabowo kelak, bakal menaikan ambang batas rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) menjadi 50 persen.

Meskipun besaran rasionya masih dalam koridor Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebutkan bahwa rasio utang terhadap PDB dipatok maksimal 60 persen dan defisit APBN dibatasi 3 persen dari PDB.

Sebagai tambahan informasi, menurut data Kementerian Keuangan hingga kuartal 1 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB berada di angka 38,79 persen

Logikanya, jika rasio utang terhadap PDB benar dinaikan, berarti defisit APBN akan dibiarkan menganga secara signifikan, hal yang jika tak dikelola secara hati-hati berpotensi menimbulkan instabilitas ekonomi Indonesia.

Oleh sebab itulah pasar menjadi was-was yang disinyalir menjadi salah satu hal yang ikut mendorong pelemahan rupiah.

Untungnya, isu ini tak dibiarkan berlarut-larut, sehingga membuat para investor kabur dan terus memicu pelemahan Rupiah. Mengutip Kontan.co.id, Tim sinkronisasi ekonomi Pemerintah Prabowo-Gibran dan Tim ekonomi Pemerintahan Indonesia saat ini menegaskan ke publik bahwa Pemerintahan Presiden terpilih, nantinya bakal mengelola ekonomi Indonesia secara prudent dan tak ugal-ugalan. 

Defisit APBN 2025 mendatang akan dipatok di kisaran 2,29-2,82 persen terhadap PDB. Menurut Chatib Basri, hal tersebut menjadi penting, lantaran dapat meyakinkan pasar bahwa Pemerintah saat ini dan mendatang akan tetap menjaga disiplin fiskal di bawah 3 persen.

Menurutnya, dengan rentang defisit 2,29,-2,82 persen, rasio utang terhadap PDB akan berada dikisaran 37-38 persen. Angka ini bahkan lebih rendah dibandingkan rasio utang terhadap PDB tahun 2023, dan jelas jauh lebih rendah dari kabar burung di pasar, bahwa rasio utang terhadap PDB jaman Prabowo kelak bakal ada di level 50 persen.

Harapannya dengan disiplin fiskal yang terjaga baik, ditengah situasi perekonomian global yang masih penuh tekanan, di mana suku bunga acuan AS masih akan bertahan di level tinggi, ekonomi Indonesia bisa melewati tantangan pelemahan nilai tukar rupiah ini.

Dan ke depannya, perekonomian Indonesia bisa berjalan sehat, inflasi terkendali, Rupiah stabil, serta produksi barang dan jasa meningkat, sehingg bisa menumbuhkan lapangan kerja baru, yang ujungnya bisa meningkatkan penerimaan negara dari pajak.

Pendapatan negara ini lah yang nantinya akan membuat kondisi fiskal menjadi sehat. Dengan demikian, defisit anggaran terjaga, tak perlu tergantung pada utang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun