Hal ini yang terjadi juga pada para pendukung fanatik calon presiden, lantaran lahirnya fanatisme juga berawal dari bagian otak yang sama dengan "jatuh cinta"
Seseorang yang sudah masuk pada fase fanatik, lazimnya sulit untuk menerima perbedaan pandangan dengan pihak lain. Mereka akan cenderung anti kritik lantaran merasa memiliki pemikiran paling benar.
Fanatisme menurut Kadar Risyman dalam bukunya bertajuk "Fanatisme Mahasiswa Islam" berasal dari dua kata yakni fanatik dan isme.
Secara etimologis, fanatik berasal dari bahasa latin "fanaticus" yang kemudian diserap ke dalam bahasa Inggris sebagai "frantic" yang artinya gila-gilaan, sedangkan isme adalah pandangan atau paham.
Jadi, bisa diartikan fanatisme itu adalah perilaku dengan sikap antuasiasme dan kesetiaan berlebihan terhadap suatu objek, seseorang, ajaran, agama, atau politik.
Yang aneh dan tak terpikirkan sebelumnya, menurut Guru Besar Psikologi politik Univesitas Indonesia, Prof. Hamdi Muluk, seperti yang saya kutip dari Podcast The Conversation, fanatisme politik justru baru bisa tumbuh subur ketika iklim politik di sebuah negara demokratis.
Faktanya memang demikian, di Indonesia fanatisme politik mulai terasa berlari kencang saat menjelang pemilihan umum pasca reformasi yang secara nyata jauh lebih demokratis di banding era orde baru yang cenderung otoritarian.
Kita semua merasakan bagaimana terbelahnya masyarakat pada Pemilu 2014, 2019, dan  dalam kadar serta topik berbeda mulai terasa menjelang pemilu 2024 saat ini.
Namun demikian bukan berarti fanatisme politik itu selalu berdampak buruk, hingga titik tertentu hal tersebut diperlukan.
Fanatisme yang tinggi terhadap kelompok sendiri akan mendorong seseorang untuk memperjuangkan kelompoknya, which is itu wajar dan natural dalam sebuah kontestasi politik.
Namun, jika dorongan itu terlalu kencang, fanatisme bisa menyeret orang pada posisi tidak bisa lagi menerima kebenaran dari pihak lain, satu-satunya kebenaran yang dipercayai hanya yang asalnya datang dari pihaknya sendiri.Â