Tahun politik telah menjelang, musim kampanye dalam beberapa saat ke depan akan tiba. Seperti biasa para pelaku politik yang mengincar kursi kekuasaan bergegas menarik perhatian masyarakat dengan menggelar berbagai kegiatan yang bersifat pengumpulan massa.
Salah satu alat yang selama ini dianggap paling efektif untuk memancing kehadiran massa adalah musik.Â
Musik adalah bahasa universal, karena musik dapat diterima oleh semua kalangan selain bisa digunakan sebagai media ekspresi yang memiliki kemampuan untuk menyatukan banyak kalangan masyarakat, dari paling atas hingga kalangan paling bawah.
Meskipun setiap individu memiliki cara khas tersendiri untuk memaknai sebuah karya musik dan merasakan irama yang tercipta di dalamnya, karena pemaknaan yang unik ini lah maka musik melahirkan genre berdasarkan preferensi masyarakat.
Untuk perhelatan semacam kampanye politik di Indonesia, genre musik yang dianggap paling efektif dalam pengumpulan masa adalah musik dangdut.
Semua partai politik, calon legislatif, hingga calon kepala daerah dan calon presiden menggunakan musik dangdut sebagai sarana untuk menunjang kampanye mereka.
Mengapa Dangdut, bukan Jazz misalnya. Kalau urusan beat atau hentakan nada yang mudah "dijogeti" ada banyak kok alunan musik jazz juga yang bisa dijogeti.
Dangdut dianggap genre musik paling universal dan egaliter di Indonesia yang cenderung disukai oleh setiap kalangan, karena pada dasarnya harmoni dangdut disosialisasikan di Indonesia sudah  sejak lama, secara genre musik yang merupakan hasil asimilasi dari musik melayu dan nada-nada dari wilayah Hindi memang asli Indonesia, sehingga dangdut jauh lebih memasyarakat dibandingkan musik Jazz.
Sementara musik Jazz sendiri merupakan bentuk transplantasi kebudayaan musik dari dunia luar yang asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Logikanya sederhana, apabila kita dilahirkan di lingkungan yang faktanya hampir selalu di dominasi oleh musik dangdut maka harmoni yang tertanam secara tidak sadar (unconsious) dalam benak kita adalah dangdut, sedangkan harmoni di luar dangdut terasa menjadi asing bagi kita.
Coba kalau kita dilahirkan di New Orleans Amerika Serikat atau setidak-tidaknya di lingkungan yang kerap memperdengarkan muski Jazz, maka harmoni musik yang kita miliki cenderung harmoni jazz, sehingga harmoni musik dangdut bisa jadi menjadi asing bagi kita.
Dengan demikian, mengapa kampanye politik di Indonesia hampir selalu menyajikan suguhan tambahan dangdut, dan hampir tak pernah menyajikan musik jazz ya karena "relativitas budaya" dalam bermusik.
Apalagi jika kemudian diimbuhi oleh para penampilnya, dangdut hingga titik tertentu dianggap lebih memikat karena cenderung lebih bisa "seronok" dibandingkan penampilan para penampil musik Jazz yang lebih membosankan karena mendekati formal.
Padahal jika kita mau menggali esensinya, ideologi musik jazz itu sejalan dengan sebuah proses perkembangan demokrasi politik termasuk di dalamnya, pemilu dengan segala proses praksisnya seperti kampanye.
Dan Demokrasi sendiri  selalu menyisakan ruang pembicaraan tentang perdebatan, melanjutkan kekuasaan serta perubahan atau dekontruksi yang dilaksanakan dengan smooth.
Mengutip sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, jika mengacu pada sejarahnya, ideologi jazz itu bersifat pembebasan, liberalitas, demokratis, dan dekonstruktif terhadap kebekuan gaya-gaya permainan sebelumnya yang bisa disebut sebagai sifat kritis terhadap sebuah kondisi status quo.
Spirit dekontruksi musik jazz  tercermin dalam gambaran kronologis tentang perkembangan musik jazz seperti yang ditulis oleh Joachim Ernst Berendt dalam bukunya "The New Jazz Book".
Dalam bukunya tersebut Berendt, memaparkan perkembangan musik Jazz dibagi ke dalam 3 periode waktu, di mana masing-masing periode melahirkan gaya permainan jazz yang spesifik.
Pertama, Periode Jazz Tradisional mulai tahun 1890 hingga 1940 melahirkan gaya-gaya permainan Rag Time, New Orleans, Dixieland, New Orleans in Chicago, Kansas City, Chicago, dan Swing.
Kedua, Periode Jazz Modern (1940-1980) Â yang memunculkan New Orleans and Dixieland Revival, Bebop, Cool Hardbop, Free, Mainstream, dan Fusion.
Ketiga, Periode Jazz Post-Modern (1980-sekarang) memproduksi gaya-gaya Neobop, Free Funk, Classicism, Neo-Classicism, No Wave dan World Music.
Ketiga periode tersebut mendekontruksi satu sama lain seraya terus memelihara benang merah esensi dari sebuah kebudayaan bermusik yang bernama Jazz.
Hal tersebut linier dengan sebuah proses perjalanan demokrasi yang selalu mengalami proses demokrasi yang perkembangannya dinamis, dan cukup kompleks.
Meskipun esensi dari gagasan Demokrasi itu tetap sama yakni pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara.
Apakah dengan demikian, penggunaan musik dangdut dibandingkan Jazz menggambarkan bahwa kampanye-kampanye yang lazim dilakukan selama ini bersifat artifisial atau sekedar gimmick tanpa memaparkan substansi dari program kerja para peserta pemilu.
Ya tidak juga, kita harus pahami kedua genre musik itu bisa dijadikan bagian dari sebuah proses demokrasi.
Mungkin proses kampanyenya lah yang harus dipertajam menjadi penyampaian substansi program kerja yang sebenarnya, bukan sekedar berlomba besar-besaran mengumpulkan massa dengan pancingan Dangdut yang terkesan seronok.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI