"Zat adiktif dapat berupa narkotika, psikotropika, minuman beralkohol, hasil tembakau, dan hasil pengolahan zat adiktif lainnya"
Itu bunyi dalam draft Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Kesehatan Pasal 157 ayat (3) yang kini tengah digodok oleh Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Apabila dicermati, artinya rokok yang merupakan salah satu hasil olahan tembakau yang menjadi produk legal di Indonesia, karena ditulis dalam satu tarikan nafas dengan produk ilegal Narkotika dan Psiktropika, setelah RUU Omnibus Law Kesehatan disahkan dan diberlakukan biss ditafsirkan bakal menjadi produk ilegal yang peredarannya akan dilarang di seluruh wilayah hukum Indonesia.
Atau, bisa juga justru narkotika dan psikotropika yang selama ini haram beredar di Indonesia menjadi halal seperti halnya produksi dan distribusi rokok di Tanah Air kita cinta seperti selama ini.
Selama ini legalitas hasil industri tembakau dan segala turunannya ternasuk rokok diatur dalam beberapa aturan dan perundang-undangan di Indonesia, antara lain :
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, dan Undang-Undang Nomor 39 tentang Perkebunan yang mengatur sisi budidaya tanaman tembakau.
Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah Nomor 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Sementara tentang ilegalitas penyalahgunaan produksi serta peredaran Narkotika dan Psikotropika di Indonesia diatur dalam beberapa undang-undang yakni, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika.
Sedangkan aturan tentang Psikotropika diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997.
Mengacu pada dua sisi aturan-aturan tentang rokok dan Narkotika itu dan kelaziman yang selama ini berlaku di Indonesia, secara hukum, ekonomi, dan budaya keduanya jelas berbeda.
Produksi hasil tembakau terutama rokok jenis kretek dianggap sebagai bagian dari budaya lama Indonesia yang kemudian berimplikasi pada perekonomian masyarakat.
Suka atau tidak, industri pengolahan tembakau mempunyai kontribusi yang cukup besar dan penting bagi perekonomian nasional karena memiliki multiplier effect yang luas, seperti penyediaan lapangan usaha dari hulu sampai hilir, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, industri pengolahannya hingga jalur distribusi sampai ketingkat konsumen.
Seluruh proses tersebut menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit, menurut data dari Kementerian Perindustrian saat ini ada lebih dari 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri pengolahan tembakau, terdiri 4,3 juta pekerja di  sektor manufaktur dan distribusinya serta 1,7 pekerja di sektor perkebunannya.
Selain itu, kontribusi industri hasil tembakau terhadap Anggaran Pendapatan dan Belana Negara (APBN) pun terbilang sangat besar.
Mengutip data dari Kementerian Keuangan, cukai dari industri hasil tembakau untuk tahun 2022 tercatat sebesar Rp.218,62 triliun atau lebih dar 10 persen dari total penerimaan negara dalam APBN.
Dari sisi perekonomian, industri hasil tembakau yang dalam RUU Omnibus Law Kesehatan perlakuannya akan disamakan dengan produksi dan peredaran Narkoba merupakan "angsa bertelur emas" bagi perekonomian Indonesia.
Belum lagi jika kita bicara secara sosial, apa yang akan terjadi apabila mengkonsumsi rokok disamakan dengan menggunakan narkoba, membeli rokok diancam hukuman seperti layaknya membeli narkoba.
Terbayang penjara bakal penuh sesak oleh para "ahli hisap." Menurut catatan Kementerian Kesehatan mengutip hasil survei Global Adult Tobacco (GATS) ada sekitar 69,1 juta perokok aktif di Indonesia.
Benar bahwa merokok itu memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan memang bersifat adiktif, namun menyamakan rokok dengan narkoba dalam sebuah pasal di sebuah undang-undang yang berimplikasi hukum cukup luas, sangat tidak layak untuk diterapkan karena hampir pasti akan menimbulkan kegaduhan dan sangat sulit untuk dilaksanakan.
Komplikasi yang akan terjadi akibat aturan tersebut sangat luas. Masa proses legislasi hanya berpatokan pada satu sisi tanpa dipikirkan dampaknya secara komprehensif.
Menyamaratakan dua produk yang secara hukum dikategorikan berbeda, yakni legal dan ilegal, bukanlah sebuah kebijakan yang bijak bahkan cenderung membuka jalan menuju kekacauan.
Secara sosio kultural pun jelas dan terang industri hasil tembakau terutama rokok dengan narkoba memiliki aspek yang berbeda.
Kita paham lah, Kemenkes ingin meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan cara mengerem geliat jumlah perokok.
Namun tak bisa juga dengan gampangnya, membuat aturan yang menyamakan dua jenis produk yang kedudukannya di mata hukum berbeda, tetapi diberlakukan sama oleh RUU tersebut.
Jika aturan itu tetap dipaksakan tak direvisi, akan memberikan kerugian konstitusional bagi masyarakat.
Lebih jauh lagi, cobalah kalau merevisi atau membuat regulasi itu harus dikontruksikan secara jelas, terang, dan tegas tidak multi tafsir agar nantinya tak membuat masalah baru.
Sebagai tambahan informasi, RUU omnibus law Kesehatan ini selain akan merevisi dan mencabut sembilan undang-undang yang berkaitan dengan tata kelola kesehatan nasional.
Kesembilan undang -undang tersebut adalah, UU Kesehatan, Wabah Penyakit Menular, tentang Runah Sakit, Â Praktik Kedokteran, Kesehatan Jiwa, Tenaga Kesehatan, Keperawatan, Kekarantinaan Kesehatan, dan Kebidanan.
Selain itu ada juga, UU tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Badan Penyelanggara Jaminan Sosial, Sistem Pendidika  Nasional,serta UU Pendidikan Tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H