Suka atau tidak, industri pengolahan tembakau mempunyai kontribusi yang cukup besar dan penting bagi perekonomian nasional karena memiliki multiplier effect yang luas, seperti penyediaan lapangan usaha dari hulu sampai hilir, mulai dari petani tembakau dan cengkeh, industri pengolahannya hingga jalur distribusi sampai ketingkat konsumen.
Seluruh proses tersebut menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit, menurut data dari Kementerian Perindustrian saat ini ada lebih dari 6 juta orang yang menggantungkan hidupnya di industri pengolahan tembakau, terdiri 4,3 juta pekerja di  sektor manufaktur dan distribusinya serta 1,7 pekerja di sektor perkebunannya.
Selain itu, kontribusi industri hasil tembakau terhadap Anggaran Pendapatan dan Belana Negara (APBN) pun terbilang sangat besar.
Mengutip data dari Kementerian Keuangan, cukai dari industri hasil tembakau untuk tahun 2022 tercatat sebesar Rp.218,62 triliun atau lebih dar 10 persen dari total penerimaan negara dalam APBN.
Dari sisi perekonomian, industri hasil tembakau yang dalam RUU Omnibus Law Kesehatan perlakuannya akan disamakan dengan produksi dan peredaran Narkoba merupakan "angsa bertelur emas" bagi perekonomian Indonesia.
Belum lagi jika kita bicara secara sosial, apa yang akan terjadi apabila mengkonsumsi rokok disamakan dengan menggunakan narkoba, membeli rokok diancam hukuman seperti layaknya membeli narkoba.
Terbayang penjara bakal penuh sesak oleh para "ahli hisap." Menurut catatan Kementerian Kesehatan mengutip hasil survei Global Adult Tobacco (GATS) ada sekitar 69,1 juta perokok aktif di Indonesia.
Benar bahwa merokok itu memiliki dampak buruk bagi kesehatan dan memang bersifat adiktif, namun menyamakan rokok dengan narkoba dalam sebuah pasal di sebuah undang-undang yang berimplikasi hukum cukup luas, sangat tidak layak untuk diterapkan karena hampir pasti akan menimbulkan kegaduhan dan sangat sulit untuk dilaksanakan.
Komplikasi yang akan terjadi akibat aturan tersebut sangat luas. Masa proses legislasi hanya berpatokan pada satu sisi tanpa dipikirkan dampaknya secara komprehensif.
Menyamaratakan dua produk yang secara hukum dikategorikan berbeda, yakni legal dan ilegal, bukanlah sebuah kebijakan yang bijak bahkan cenderung membuka jalan menuju kekacauan.
Secara sosio kultural pun jelas dan terang industri hasil tembakau terutama rokok dengan narkoba memiliki aspek yang berbeda.