Runtuhnya nilai saham bank yang kini beraset US$ 574 miliar atau Rp. 8.782 triliun terjadi, usai pemegang saham mayoritaa menolak mengucurkan modal tambahan untuk Credit Suisse.
Melansir Bloomberg.com, Bank Nasional Saudi (SNB) pemilik saham mayoritas dengan 9,88 persen di Credit Suisse memberi pernyataan bahwa mereka tak akan meningkatkan kepemilikan sahamnya di bank tersebut.
Sontak, setelah pernyataan SNB tersebut tersebar, investor menjadi panik dan melakukan aksi jual secara masif saham bank yang didirikan oleh Alferd Escher di Zurich Swiss pada tahun 1856 tersebut.
Alhasil nilai sahamnya ambrol tak tertahankan. Apalagi para investor pun mafhum benar bahwa kinerja keuangan Credit Suisse dalam beberapa tahun belakangan tidak sedang baik-baik saja menyusul berbagai skandal keuangan yang melibatkannya.
Terakhir, pada Desember 2022 lalu, Credit Suisse sempat mengalami bank run atau rush, nasabah menarik uangnya secara bersamaan di bank tersebut dengan nilai US$ 120 milyar.
Tadinya para investor masih berharap para pemegang saham mayoritas bakal menambahkan modalnya untuk mengatasi persoalan yang membelit Credit Suisse.
Ketika SNB menolak mengucurkan dananya, otomatis investor panik, ekspektasi mereka seketika menguap.
Kepanikan investor yang di picu krisis Credit Suisse kemudian mulai menyebar ke seantero Eropa.
Nilai saham bank -bank besar Eropa seperti Deutsch Bank dan Commerzbank di  Jerman, Societe Generale serta BNP Paribas di Perancis terjun bebas antara 8 hingga 10 persen.
Sebagai upaya meredakan kepanikan investor, Bank Sentral Swiss turun tangan, tak kurang dari US$ 54 milyar disiapkan mereka bagi Credit Suisse, manakala dibutuhkan untuk menambal modalnya yang bolong.
Konsekuensinya, Credit Suisse harus masuk IGD-nya otoritas keuangan Swiss, untuk kemudian diputuskan untuk di akuisisi oleh saingannya UBS Bank.