Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Nama Credit Suisse Tak Lama Lagi Akan Kehilangan Eksistensinya di Peta Perbankan Global

20 Maret 2023   10:49 Diperbarui: 21 Maret 2023   08:37 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nama besar "Credit Suisse,"salah satu bank terbesar di dunia asal Swiss yang sangat terkenal tak lama lagi akan hilang dari peta percaturan industri keuangan global.

Institusi keuangan berusia 167 tahun tersebut kehilangan eksistensinya setelah lewat rilis resminya, Minggu 19 Maret 2023 waktu setempat, mengumumkan kesepakatan penggabungan bisnisnya melalui mekanisme akuisisi dengan UBS bank.

Kesepakatan penggabungan antara dua institusi perbankan terbesar di Swiss ini dilakukan setelah Sentral Bank Swiss, Kementerian Keuangan, dan Otoritas Pengawas Perbankan dan Pasar Keuangan Swiss (FINMA) memutuskan untuk melakukan intervensi guna menyelamatkan sistem keuangan global, setelah gonjang-ganjing yang melanda Credit Suisse dalam beberapa hari terakhir.

Nantinya, setelah proses akuisisi ini selesai yang akan menjadi survival company adalah UBS. Dengan demikian nama "Credit Suisse" tak akan dikenal lagi, karena sudah bersalin nama menjadi UBS.

Biasanya aksi korporasi sepenting dan bersifat sangat material seperti merger atau akuisisi ini harus berdasarkan persetujuan dari para pemegang saham lewat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Namun, karena situasinya bisa dikategorikan emergency alias kegentingan memaksa, Pemerintah Federal Swiss mengijinkan otoritas keuangan Swiss untuk melakukan penggabungan antara kedua bank tersebut tanpa melalui persetujuan pemegang saham.

Tindakan cepat otoritas keuangan Swiss dalam menangani krisis di Credit Suisse ini harus dilakukan mengingat bank tersebut termasuk dalam kategori global systematically important Bank.

Dengan magnitude sebesar itu, artinya Credit Suisse memiliki risiko sistemik yang jika dibiarkan atau lambat dalam penanganan krisisnya, berpotensi menimbulkan efek domino bagi sistem keuangan global, tak hanya sistem keuangan  Swiss.

Credit Suisse goyah dan nyaris terjun ke jurang kebangkrutan setelah sahamnya anjlok tajam hingga 24,24 persen pada Rabu (15/03/2023) pekan lalu.

Tergerusnya, nilai saham Credit Suisse sebenarnya sudah terjadi sejak 2 tahun terakhir Mengutip data dari investing.com nilai saham Credit Suisse pada tahun 2021 sempat menyentuh level tertinggi di angka US$ 16 per lembar saham, saat ambruk pekan lalu nilai sahamnya hanya tinggal US$ 2,24 per lembar saham.

Akibatnya, nilai perusahaan menurun, menjadi di bawah US$ 7 milyar.

Runtuhnya nilai saham bank yang kini beraset US$ 574 miliar atau Rp. 8.782 triliun terjadi, usai pemegang saham mayoritaa menolak mengucurkan modal tambahan untuk Credit Suisse.

Melansir Bloomberg.com, Bank Nasional Saudi (SNB) pemilik saham mayoritas dengan 9,88 persen di Credit Suisse memberi pernyataan bahwa mereka tak akan meningkatkan kepemilikan sahamnya di bank tersebut.

Sontak, setelah pernyataan SNB tersebut tersebar, investor menjadi panik dan melakukan aksi jual secara masif saham bank yang didirikan oleh Alferd Escher di Zurich Swiss pada tahun 1856 tersebut.

Alhasil nilai sahamnya ambrol tak tertahankan. Apalagi para investor pun mafhum benar bahwa kinerja keuangan Credit Suisse dalam beberapa tahun belakangan tidak sedang baik-baik saja menyusul berbagai skandal keuangan yang melibatkannya.

Terakhir, pada Desember 2022 lalu, Credit Suisse sempat mengalami bank run atau rush, nasabah menarik uangnya secara bersamaan di bank tersebut dengan nilai US$ 120 milyar.

Tadinya para investor masih berharap para pemegang saham mayoritas bakal menambahkan modalnya untuk mengatasi persoalan yang membelit Credit Suisse.

Ketika SNB menolak mengucurkan dananya, otomatis investor panik, ekspektasi mereka seketika menguap.

Kepanikan investor yang di picu krisis Credit Suisse kemudian mulai menyebar ke seantero Eropa.

Nilai saham bank -bank besar Eropa seperti Deutsch Bank dan Commerzbank di  Jerman, Societe Generale serta BNP Paribas di Perancis terjun bebas antara 8 hingga 10 persen.

Sebagai upaya meredakan kepanikan investor, Bank Sentral Swiss turun tangan, tak kurang dari US$ 54 milyar disiapkan mereka bagi Credit Suisse, manakala dibutuhkan untuk menambal modalnya yang bolong.

Konsekuensinya, Credit Suisse harus masuk IGD-nya otoritas keuangan Swiss, untuk kemudian diputuskan untuk di akuisisi oleh saingannya UBS Bank.

Nilai akuisisi Credit Suisse oleh UBS ini jika menghitung term of agreement antar para pemegang saham yang ditetapkan oleh Ororitas Keuangan Swiss yakni 1 lembar saham UBS dihargai dengan 22,48 lembar saham Credit Suisse, maka nilai akuisisinya mencapai US$ 3,25 milyar atau Rp. 49 triliun.

Mengutip CNBC.com, nantinya,menurut UBS, nilai aset kedua bank hasil penggabungan ini akan menjadi sebesar US$ 5 triliun atau Rp.75.000 triliun.

UBS merupakan lembaga keuangan raksasa nomor satu Swiss yang menurut laporan keuangan tahun 2022 memiliki aset senilai US$ 1,1 triliun atau Rp. 16.803 triliun nyaris setara dengan GDP Indonesia 2022 yang sebesar Rp. 19.588 triliun.

Bank nomor 3 terbesar di Eropa  dengan kapitalisasi pasar sebesar US$ 61 milyar ini, merupakan grup perusahaan keuangan di bidang invesment banking dan komersial banking yang berkantor pusat di Zurich. 

UBS, Bank yang didirikan pada tahun 1984 ini merupakan hasil penggabungan Union Bank of Switzerland dan Swiss Bank Corporation.

Tadinya UBS itu merupakan akronim dari Union Bank of Switzerland, tetapi mulai tahun 1998 tidak dipakai lagi, UBS menjadi nama resmi dan nama dagang grup perusahaan keuangan tersebut

Wilayah operasinya hampir di setiap belahan dunia, dengan karyawan berjumlah 71 ribu orang.

Apakah gonjang-ganjing di Credit Suisse ini ada hubungannya dengan runtuhnya 3 bank di Amerika Serikat yakni, Sillicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan  Signature Bank?

Sejumlah pengamat perbankan global menyebutkan bahwa secara teknis langsung tak berhubungan meskipun dalam koridor trust issue dengan menggunakan konsep butterfly effect sangat mungkin ada kaitannya satu sama lain. 

Butterfly effect dalam dunia bisnis bersumber dari Chaos teori di mana perubahan berdampak besar dapat terjadi meskipun berawal dari satu hal kecil.

Dengan konsep ini, sangat mungkin karena "angin kecil" rusaknya bank nomor 16 di Amerika Serikat, SVB, menciptakan badai besar yang merontokan tatanan keuangan global.

Apalagi sistem keuangan global cenderung borderless, satu sama lain saling berkaitan,satu rontok semua ikut rontok karena sumbernya sama yakni trust issue.

Trust issue muncul maka dampaknya bagi masyarakat adalah kepanikan, begitu kepanikan mulai terjadi,  rasionalitas akan hilang.

Ketika rasionalitas sudah tak dijadikan pijakan segala kemungkinan bisa terjadi, seperti misalnya penarikan uang oleh para nasabah secara masif dalam saat bersamaan yang ujungnya membuat bank sebesar apapun bakal terkapar.

Untungnya otoritas keuangan di AS dan Swiss cepat melakukan tindakan untuk menyelamatkan "trust issue" ini dengan langkah yang cepat.

Sehingga perlahan trust itu kembali muncul dan meredakan kepanikan. Meskipun masih harus dicermati secara seksama kondisi lanjutannya.

Bagi perbankan Indonesia, sebagian besar pengamat berpendapat bahwa kondisi perbankan di AS dan Swiss ini tak akan berdampak besar karena sistem perbankan di Indonesia saat ini lumayan solid, walaupun tetap harus diwaspadai dan diantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun