Dengan demikian, impor beras bukan berarti tak ingin menggunakan atau membeli produksi beras dalam negeri, tetapi "Waktu" atau time frame tidak sinkron dengan  kebutuhan saat ini, yang belum bisa terpenuhi oleh para petani di dalam negeri.
Jadi ada time leg atau ketidaksesuaian waktu, antara pemenuhan permintaan atau kebutuhan dengan suplai ketersediaan oleh produsen dari dalam negeri.
Untuk menjembatani time leg ini, maka digunakanlah instrumen impor, agar stok terjaga, alhasil masyarakat tak harus merogoh kocel lebih dalam untuk membeli beras.
Begitu kira-kira logikanya
Nah, hal serupa juga terjadi dengan impor rangkaian KRL eks Jepang.Â
Betul, produsen Kereta api dalam negeri yakni  PT. Industri Nasional Kereta Api (INKA) sudah memiliki kapasitas terpasang untuk memproduksi gerbong KRL, seperti yang dibutuhkan PT KCI.
Persoalannya, PT. INKA belum mampu memenuhi kebutuhan  PT.KCI untuk tahun 2023 ini dan 2024 tahun depan.
Dan hal itu sudah dinyatakan secara terang dan jelas oleh PT.INKA sendiri. Mereka baru bisa memenuhi pesanan PT.KCI sebanyak 16 train set pada tahun 2025-2026.
Di lain pihak, Â kebutuhan gerbong KRL sangat mendesak, agar bisa dipergunakan tahun ini dan tahun depan seiring pensiunnya 16 rangkaian KRL.
Apabila 16 rangkaian yang sudah harus dipensiunkan tersebut tak ada penggantinya dalam 2 tahun ini, maka hampir dapat dipastikan masyarakat pengguna KRL yang existing berjumlah lebih dari 1 juta, dan tahun 2025 bakal menembus angka 2 juta penumpang, akan keleleran atau bahkan berpotensi tidak terangkut.
Jika dipaksakan, mungkin bisa saja terangkut tetapi kondisi penumpang KRL di dalam gerbong akan  lebih berdesakan, dan itu mengurangi kenyamanan dan sangat membahayakan keselamatan para penumpang.