Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Beda Perlakuan Impor Beras dan Impor KRL Eks Jepang, Padahal Logikanya Serupa

19 Maret 2023   12:51 Diperbarui: 19 Maret 2023   13:58 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Urusan impor rangkaian gerbong Kereta Rel Listrik eks Jepang oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) untuk PT. Kereta Commuter Indonesia (KCI) tak beres-beres hingga kini.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tetap ogah memberikan rekomendasi kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) sebagai salah satu syarat perizinan impor, dengan alasan industri dalam negeri sudah mampu memproduksi rangkaian gerbong KRL, sehingga tak perlu lagi impor, apalagi yang diimpor itu hanya berupa kereta bekas pakai.

Sebenarnya logika Pemerintah Cq Kemendag dalam hal impor beras, sama saja dengan logika PT. KCI mengimpor rangkaian kereta listrik eks Jepang.

Keduanya beralibi impor itu harus dilakukan lantaran kebutuhan yang harus ada manakala produk dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan nasional terkini.

Padahal kita tahu produksi beras dalam negeri juga tak kurang banyaknya, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), produksi beras Indonesia pada periode Januari-April 2023 diperkirakan akan sebesar 13,79 juta ton.

Namun, karena "saat ini" stok beras menipis, jauh di bawah batas standar stok beras nasional yang telah ditetapkan, terpaksa impor beras harus dilakukan.

"(Soal impor beras) tanya ke Bulog, secara nasional kita butuh. Karena, stoknya dari Bulog tipis," kata Presiden Jokowi, seperti yang saya kutip dari Detik.com, Februari 2023 lalu

Standar stok beras nasional yang telah ditetapkan, minimal stok beras di gudang-gudang Bulog harus sebanyak 1,2 juta ton, sedangkan sekarang ini jumlah stok beras yang tersedia hanya 600 ribu ton.

Apabila impor beras tak dilakukan sekarang, maka harga beras akan melambung naik, apalagi mendekati bulan Ramadan dan Lebaran, yang secara natural akan diikuti oleh kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.

Kondisi yang hampir dipastikan mengganggu kesejahteraan masyarakat dan membuat inflasi berpotensi melonjak tinggi.

Untuk itu lah, Bulog kemudian diberikan tugas oleh Pemerintah untuk mengimpor beras dari Vietnam dan Thailand sebanyak 500 ribu ton.

Dengan demikian, impor beras bukan berarti tak ingin menggunakan atau membeli produksi beras dalam negeri, tetapi "Waktu" atau time frame tidak sinkron dengan  kebutuhan saat ini, yang belum bisa terpenuhi oleh para petani di dalam negeri.

Jadi ada time leg atau ketidaksesuaian waktu, antara pemenuhan permintaan atau kebutuhan dengan suplai ketersediaan oleh produsen dari dalam negeri.

Untuk menjembatani time leg ini, maka digunakanlah instrumen impor, agar stok terjaga, alhasil masyarakat tak harus merogoh kocel lebih dalam untuk membeli beras.

Begitu kira-kira logikanya

Nah, hal serupa juga terjadi dengan impor rangkaian KRL eks Jepang. 

Betul, produsen Kereta api dalam negeri yakni  PT. Industri Nasional Kereta Api (INKA) sudah memiliki kapasitas terpasang untuk memproduksi gerbong KRL, seperti yang dibutuhkan PT KCI.

Persoalannya, PT. INKA belum mampu memenuhi kebutuhan  PT.KCI untuk tahun 2023 ini dan 2024 tahun depan.

Dan hal itu sudah dinyatakan secara terang dan jelas oleh PT.INKA sendiri. Mereka baru bisa memenuhi pesanan PT.KCI sebanyak 16 train set pada tahun 2025-2026.

Di lain pihak,  kebutuhan gerbong KRL sangat mendesak, agar bisa dipergunakan tahun ini dan tahun depan seiring pensiunnya 16 rangkaian KRL.

Apabila 16 rangkaian yang sudah harus dipensiunkan tersebut tak ada penggantinya dalam 2 tahun ini, maka hampir dapat dipastikan masyarakat pengguna KRL yang existing berjumlah lebih dari 1 juta, dan tahun 2025 bakal menembus angka 2 juta penumpang, akan keleleran atau bahkan berpotensi tidak terangkut.

Jika dipaksakan, mungkin bisa saja terangkut tetapi kondisi penumpang KRL di dalam gerbong akan  lebih berdesakan, dan itu mengurangi kenyamanan dan sangat membahayakan keselamatan para penumpang.

Sebagai pengguna aktif transportasi umum terutama KRL setiap hari, saya merasakan betul situasi berdesakan tersebut, apalagi ketika harus merasakan transit di Stasiun Manggarai.

Bahkan belakangan, entah karena PT.KCI mulai lebih banyak mengistirahatkan unit gerbong KRL-nya, rangkaian yang melayani penumpang pada waktu rush hour antara jam 05.00-08.00 di pagi hari dan 16.00-19.00 di petang hari, kebanyakan hanya 8 gerbong saja, padahal biasanya 12 gerbong, akibatnya kepadatan di dalam gerbong menggila.

Apalagi jika kemudian 16 rangkaian gerbong itu tak dipergunakan lagi tanpa ada penggantinya. Headway atau jarak antara jadwal perjalanan aan semakin jauh karena jumlah perjalanan kereta mau tidak mau akan dikurangi.

Saat ini saja yang perjalanannya mencapai 1.100 perjalanan setiap harinya, kepadatan penumpang sudah sangat mengkhawatirkan.

Terbayang akan seperti apa pengguna KRL, sebagian besar dari kami  tak memiliki privilege seperti para anggota DPR yang terhormat dan pejabat di Kemendag dan Kementerian Perindustrian untuk memilih kendaraan saat mengais rejeki.

KRL adalah sarana transportasi paling rasional buat kami para penghuni rumah dipinggiran Jakarta, saat mengais rejeki di pusat-pusat perekonomian Ibukota Jakarta.

Oleh sebab itu, Pemerintah dalam hal ini Kemendag dan Kemenperin serta DPR, Logika berpikirnya harus serupa dengan saat mereka menyetujui impor beras.

Jika impor beras tak dilakukan saat ini  maka harga beras akan mahal dan stok beras nasional terancam, karena produk beras nasional belum mampu memenuhi kebutuhannya "saat ini"

Begitu pun dengan impor rangkaian KRL eks Jepang, jika tak dilakukan saat ini maka PT .KCI tak akan mampu memberi pelayanan maksimal terhadap rakyat dalam hal ini pengguna KRL.

Keduanya, sama -sama demi kepentingan rakyat Indonesia kan?

Dan bukan berarti tak mencintai atau tak ingin melihat industri nasional dalam negeri maju dan berkembang, laju pertumbuhan produksi dan laju pertumbuhan kebutuhan saja yang belum sinkron waktunya.

Untuk menyiasati ketidaksinkronan waktu dalam hal pengadaan gerbong KRL ini, Kemenperin sempat menganjurkan untuk melakukan retrofit terhadap ke 16 rangkaian gerbong KRL yang akan dipensiunkan KCI tersebut, sambil menunggu KRL produksi PT.INKA jadi.

PT. KCI sendiri seperti diungkapkan Vice President Coorporate Secretary-nya Anne Purba, sudah mengupayakan retrofit seperti saran Kemenperin.

Tetapi, kembali terbentur waktu, karena untuk melakukan retrofit itu dibutuhkan waktu 1 atau 2 tahun.

Mereka harus berkonsultasi dengan berbagai pihak untuk itu seperti perusahaan Kereta Api di Jepang, China, dan Spanyol.

Jadi pilihannya ya lebih baik melakukan impor KRL eks Jepang saja, bisa cepat untuk memenuhi kebutuhan existing dan ongkosnya pun tak terlalu besar sekitar Rp. 140-150 milyar untuk seluruh rangkaian KRL yang diimpor, sebanyak 16 rangkaian gerbong.

Sama-sama berdalih untuk kepentingan masyarakat, kok perlakuan impor beras dan impor eks KRL bekas berbeda padahal alasannya sama "memenuhi kebutuhan saat ini"

Bisa saja kan, Solusinya Kemenperin atau Kemendag memberi ultimatum kepada PT.KCI, impor ini terakhir setelah ini, pergunakan produksi PT INKA.

Penumpang KRL terlayani, produksi KRL dalam negeri bisa diopeni.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun