Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Vonis Berat Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi Belum Berkekuatan Hukum Tetap, Belajar dari Kasus Jaksa Pinangki

14 Februari 2023   12:25 Diperbarui: 14 Februari 2023   23:29 583
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Vonis maksimal Hakim terhadap Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi, pelaku utama pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Josua Hutabarat disambut gegap gempita oleh masyarakat.

Dalam Persidangan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/02/23) kemarin, Majelis Hakim yang diketuai oleh Hakim Wahyu Iman  Santoso menjatuhkan vonis bagi suami istri tersebut masing-masing, Ferdy Sambo hukuman mati dan Putri 20 tahun penjara.

Namun demikian perlu diingat, bahwa vonis hakim di pengadilan tingkat pertama tersebut belum memiliki kekuatan hukum tetap atau inkracht.

Masih ada peluang bagi tuan dan nyonya Sambo untuk upaya hukum ditingkat banding, di pengadilan tinggi, kasasi di Mahkamah Agung, bahkan hingga peninjauan kembali (PK).

Artinya vonis hakim di Pengadilan Negeri masih sangat berpotensi untuk berubah lebih rendah lewat upaya hukum tersebut.

Vonis hakim bagi Sambo di tingkat pertama, tak mungkin lebih tinggi lagi di upaya hukum selanjutnya, karena sampai sejauh ini dengan sistem hukum continental yang dianut Indonesia hukuman terberat ya Hukuman Mati.

Bagi Putri, mengingat perannya "hanya" turut serta membantu dalam kasus pembunuhan berencana, secara proposional hukuman maksimalnya 20 tahun.

Dengan kondisi ini, hampir dapat dipastikan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi lewat kuasa hukumnya akan mengajukan banding.

Meskipun belum ada keterangan resmi dari kuasa hukumnya terkait langkah hukum selanjutnya, tetapi indikasi mereka bakal menempuh upaya hukum banding sudah terlihat saat kuasa hukum terdakwa memberikan keterangan kepada media, sesaat setelah sidang vonis Putri Candrawathi selesai dilaksanakan, Senin malam kemarin.

Menurut kuasa hukum suami istri Sambo, Arman Hanis, seperti yang saya saksikan di Kompas.TV, sejak awal mereka sudah menduga bahwa vonis maksimal akan dijatuhkan kepada kliennya.

"Kami sebenarnya tak terlalu berharap dengan jalannya persidangan di Pengadilan Negeri" ucapnya.

Ia menganggap vonis hakim mengabaikan fakta-fakta persidangan. Oleh sebab itu mereka saat ini tengah mempertimbangkan untuk melakukan upaya hukum selanjutnya.

"Intinya dalam tingkat pertama ini, kita hormati. Tetapi hormati dan ada upaya hukum selanjutnya" jelas Arman.

Secara prosedur, pengajuan banding untuk perkara pidana dapat diajukan selambat-lambatnya 7 hari setelah Putusan di Pengadilan Negeri dibacakan.

Dalam kasus Ferdy dan Putri Sambo, apabila mereka berniat akan mengajukan banding paling telat harus sudah dilakukan sebelum tanggal 21 Februari 2023.

Dalam hal banding, diatur dalam Pasal 67 KUHP juncto Pasal 233 (ayat) 1 KUHAP yang pada pokoknya menyatakan bahwa penuntut umum atau terdakwa dapat mengajukan upaya hukum banding.

Sebenarnya, baik di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi yang diperiksa sama saja, yakni memeriksa fakta-fakta persidangan.

Fakta-fakta yang dihadirkan penuntut umum sebagai thesis, dan terdakwa sebagai antithesis, yang pada akhirnya oleh hakim, thesis dan antithesis ini diproses dan dianalisis menjadi sebuah sintesa yang output-nya berupa putusan alias vonis.

Makanya baik di pengadilan negeri maupun pengadilan tinggi hakim yang memeriksa disebut judex factie atau hakim yang memeriksa persidangan.

Berbeda dengan hakim di Mahkamah Agung pada saat Kasasi, di mana hakim yang memeriksa disebut judex jurist, hakim yang memeriksa penerapan hukum hasil dari judex factie.

Secara praksis, perkara di Pengadilan Tinggi akan diperiksa oleh  sekurang-kurangnya oleh 3 orang hakim, seperti diatur dalam Pasal 238 (ayat) 1 KUHAP.

Selanjutnya dalam pasal tersebut juga diterangkan bahwa pengadilan tinggi menerima berkas perkara dari pengadilan negeri yang terdiri dari berita acara pemeriksaan dari penyidik, berita acara pemeriksaan di pengadilan negeri beserta semua surat menyurat yang timbul di sidang yang berhubungan dengan perkara itu dan putusan pengadilan negeri.

Hal ini menjadikan pemeriksaan di pengadilan tinggi hanyalah sekedar pemeriksaan formil saja terhadap surat-surat, tanpa menguji fakta-fakta persidangan dalam pengadilan negeri secara langsung.

Oleh sebab itu, putusan pengadilan merupakan hasil proses dari proses persidangan yang kurang transparan, agak sulit untuk diamati seperti saat sidang di pengadilan negeri. Meskipun sejatinya pemeriksaan langsung seperti yang terjadi di pengadilan tingkat pertama bisa dilakukan.

Jadi kemungkinan "hanky panky" dalam prosesnya cukup potensial. Makanya kita acap mendengar bahwa hasil putusan banding itu "aneh" dengan alasan yang di luar nalar juga.

Salah satu contoh kasus, yang sudah banyak diketahui publik, adalah perkara yang melibatkan mantan Jaksa Pinangki Sirna Malasari dalam perkara Korupsi Djoko Tjandra beberapa waktu lalu.

Pinangki harus berhadapan dengan hukum karena menerima suap sebesar US$ 500 ribu dari terpidana kasus korupsi hak tagih (cessie) Djoko Tjandra.

Di sidang pengadilan tingkat pertama, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis dengan pidana 10 tahun penjara dan denda sebesar  Rp.600 juta subsider 6 bulan kurungan.

Tak puas dengan putusan pengadilan tingkat pertama, Pinangki mengajukan upaya hukum banding.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, mengabulkan banding Pinangki, tak tanggung-tanggung hukumannya diberi diskon hingga 60 persen, menjadi tinggal 4 tahun penjara saja.

Seperti dikutip dari CNNIndonesia, beberapa alasan hakim dalam memberikan diskon hukuman Pinangki antara lain, karena terdakwa sudah mengaku bersalah,menyesali perbuatannya, serta sudah ikhlas dipecat sebagai Jaksa.

Pinangki, juga dianggap masih bisa diharapkan untuk berperilaku baik kedepannya.  Dan terkait status Pinangki sebagai seorang ibu dari seorang anak berusia 4 tahun.

Padahal di luar sana banyak perempuan dengan nasib seperti Pinangki menjadi pesakitan karena sesuatu hal, tak dikurangi hukumannya hanya gara-gara memiliki anak kecil.

Angelina Sondakh misalnya, hukumannya tak dikurangi karena ia seorang ibu dari seorang anak yang masih balita, malah hukumanya ditambah. 

Dan proses pengambilan keputusannya benar-benar tak bisa diawasi publik, semuanya diskresi dan ranah independensi hakim.

Dari 4 tahun hukuman tersebut, setelah dikorting remisi ini dan itu serta kesempatan pembebasan bersyarat, Pinangki hanya menjalani hukuman penjara selama 1 tahun 1 bulan saja  dan saat ini sudah menghirup udara bebas.

Bukan tidak mungkin, hal yang terjadi pada Pinangki terjadi juga terhadap  Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Keduanya melakukan upaya hukum banding, dikabulkan, kemudian mendapatkan diskon hukuman besar dari pengadilan tinggi.

Akhirnya melenggang seperti Pinangki, hal yang jelas mencederai rasa keadilan masyarakat. 

Oleh sebab itu ada baiknya proses persidangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dikawal terus hingga berkekuatan hukum tetap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun