Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Isu LGBTQ, Tak Setuju atau Tak Membenarkan Bukan Berarti Membenci

4 Desember 2022   15:53 Diperbarui: 4 Desember 2022   16:17 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Isu ban kapten "Pelangi" menyeruak di Piala Dunia Qatar 2022. Sejumlah negara berencana mengenakan ban kapten "One Love" yang bermakna dukungan terhadap LGBTQ.

Namun, karena Qatar sebagai tuan rumah menolak kampanye LGBTQ dengan alasan tak sesuai dengan keyakinan yang dianut di Negara beribukota di Doha ini, Federasi Sepakbola Dunia, FIFA akhirnya melarangnya.

Bagi kesebelasan yang tetap bersikeras mengenakan ban kapten dengan warna perlambang kaum LGBTQ  tersebut, FIFA akan mengganjarnya dengan kartu kuning.

Akibat ancaman tersebut, 6 negara yang tadinya akan mengenakan ban kapten berwarna pelangi mengurungkan niatnya, meski sambil melakukan protes secara implisit.

Inggris misalnya, TV publik mereka, BBC memilih untuk tak menyiarkan langsung pembukaan Piala Dunia Qatar, sesuatu yang tak pernah mereka lakukan selama ini, salah satunya dengan alasan isu pelarangan kampanye LGBTQ di Qatar.

Selain itu, Kapten Timnas Inggris, Harry Kane menyatakan kekecewaannya lantaran tak bisa mengenakan ban kapten pelangi itu.

"Saya tidak akan menyampaikan kata-kata yang bisa menjadi berita utama. Saya bilang saya kecewa saya tidak bisa memakainya tapi hanya itu," kata Kane seperti dilansir CNNIndonesia.

Setali tiga uang, Timnas Jerman pun mengungkapkan kekecewaan senada terhadap isu kampanye LGBTQ. 

Federasi Sepakbola Jerman,DFBberencana akan menggugat FIFA karena pelarangan mengenakan ban kapten pelangi tersebut.

Sebagai langkah awal, mereka menuntut klarifikasi tertulis dari FIFA terkait hal tersebut. Di lapangan, Timnas Jerman pun mengekpresikan kekecawaan serupa dengan menutup mulut mereka saat berfoto resmi sebelum pertamdingan dimulai.

Mereka ini seolah melupakan bahwa setiap negara, setiap agama, atau setiap budaya di wilayah tertentu memiliki prinsip dasar masing-masing terkait isu LGBTQ ini.

Menstigma yang berbeda dengan cara pandang mereka menggunakan diksi-diksi intoleran, sama saja dengan intoleran itu sendiri.

Tak bisa kita mengukur pakaian yang akan dikenakan orang lain, dengan ukuran vital tubuh kita yang jelas terlihat berbeda.

Satu hal penting yang harus diingat sebagai disclaimer,  saya menulis artikel ini bukan berarti saya membenci atau tidak suka dengan keberadaan LGBTQ.

Saya sangat menghormati pilihan hidup mereka atau siapapun. Toh orientasi seksual itu ranah pribadi, tak ada kapabilitas saya untuk menyatakan suka atau tidak, you owned your own

Hanya saja, jika LGBTQ ingin dihormati keberadaannya, ya mereka juga harus menghormati orang lain yang tidak ingin dan tidak berkenan keluarga atau lingkungannya menjadi sasaran kampanye LGBTQ.

Dengan kampanye-kampanye seperti Itu, bukan ingin diakui hak-haknya tetapi ingin menambah jumlah populasi penganut LGBTQ.

Apalagi hampir semua agama pada prinsipnya tak menghalalkan LGBTQ, makanya kampanye-kampanye mereka kerap berbenturan dengan kepercayaan agama yang dianut di sebuah wilayah.

Kampanye persamaan hak LGBTQ  memang kini tengah panas-panasnya dipromosikan oleh sejumlah negara barat.

Tak hanya menggunakan event-event olahraga seperti yang ingin mereka lakukan di  Piala Dunia Qatar  sebagai sarana kampanyenya. 

Isu persamaan hak LGBTQ juga dikampanyekan melalui berbagai kegiatan sosial dan budaya terutama film dan narasi-narasi yang membangun stigma bahwa siapapun yang tak mendukung LGBTQ adalah mereka yang berpikiran sempit, kurang berperikemanusian, dan intoleran.

Melalui film-film, terutama produksi Hollywood dan negara barat lainnya mereka gencar menyusupinya dengan isu LGBTQ.

Jika berlangganan aplikasi video streaming Netflix misalnya kita akan dengan mudah mendapati adegan-adegan terkait LGBTQ, baik berupa adegan panas yang mempertontonkan hubungan antar sesama jenis atau dalam bentuk dialog yang seolah ingin menunjukan bahwa jenis hubungan seperti itu adalah sesuatu yang lazim saja seperti halnya hubungan straight atau heteroseksual, antar lawan jenis.

Let alone, jika film tersebut ditujukan bagi orang dewasa yang sudah memiliki kapabilitas logis sesuai keyakinannya terhadap orientasi seksual tertentu dengan mempertimbangkan semua aspek.

Namun, bagimana ceritanya jika yang disasar adalah anak-anak, dari usia balita hingga menjelang remaja lewat bungkus film-film bergenre animasi atau kartun.

Seolah mereka ingin menanamkan pikiran bahwa LGBTQ itu adalah sesuatu yang wajar saja sejak sangat dini.

Saya sepakat dengan thread yang ditulis akun Twitter @Ndrewstjan, terkait kampanye LGBTQ terhadap anak kecil melalui film-film animasi buatan berbagai studio film besar termasuk Disney.

Tak perlu lah propaganda yang memperlihatkan kepada anak kecil bahwa LGBTQ itu biasa saja dan oke-oke saja dilakukan.

Boleh saja pria  menikah dengan pria, atau perempuan menikah dengan perempuan.

Dalam utas lanjutannya, Andrew membayangkan bagaimana sikap orang tua ketika harus menghadapi situasi pelik, saat anak laki-lakinya yang masih sangat kecil bertanya  "itu kok laki-laki cium laki-laki" atau anak perempuannya bertanya  "aku melihat perempuan menikah dengan perempuan, emang boleh yah?"

Pertanyaan itu yang sangat mungkin keluar dari mulut kecil mereka, ketika mereka menonton film anak dengan disusupi propaganda LGBTQ 

Agar dianggap open minded seperti diksi yang mereka kampanyekan, harapan mereka orang tua akan menjawab "iya gapapa kok, boleh-boleh saja"

Mungkin jika yang diharapkan adalah agar sang anak bisa diperkenalkan untuk menghargai LGBTQ sebagai bagian dari human being masih bisa diterima.

Namun, jika kemudian tujuannya untuk "memaksa" orang tua anak bersangkutan dengan diksi open minded, menjelaskan bahwa LGBTQ itu oke-oke saja, ya  seperti dtulis Andrew Tjan, too much.

Seolah memaksakan  sesuatu yang jelas berbeda menjadi sama.

Ingat toleransi itu menerima perbedaan  dengan penyikapan yang proporsional bukan menyamakan sesuatu yang beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun