Momentum demokrasi seperti pemilu seharusnya digunakan dengan tepat oleh para calon presiden dan calon legislatif untuk merumuskan strategi kebijakan yang tertuang dalam visi dan misi kontestan.
Celakanya, yang meluncur dari "lambe" para politisi hal-hal yang berbau kebencian, yang hasilnya membuat kebencian ditingkat akar rumput membesar dan menjadi laten.
Setiap mendekati tahun politik, kebencian seperti yang dapat dilihat dari respon masyarakat "pembenci Jokowi" dalam menyikapi isu gugatan dugaan ijazah palsu Jokowi itu, seolah dibangkitkan kembali.Â
Ujaran kebencian, sebutan dan sangkaan tak layak pakai, dan politik identitas hanyalah sebagian dari piramida kebencian ulah para demagog dalam melancarkan praktik politik kebencian.
Ingat seperti yang diungkapkan Nelson Mandela, Kebencian itu seperti kita meminum racun, tapi berharap musuhmu yang terbunuh. Kebencian pada sebagian besar manusia terjadi tanpa refleksi dan bekerja secara otomatis tanpa perhitungan untung rugi dan kasualitasnya.
Rasa benci dalam konteks politik elektoral di Indonesia belakangan, berangkat dari falasi atau sesat pikir yang sangat berpotensi akan berakhir destruktif.
Jika kebencian tersebut terus dipelihara dan terlanjur menetap seperti kelihatannya bakal terjadi lagi dalam kontestasi politik 2024, maka komodifikasi kebencian hanya akan menghapus "bangsa" itu sendiri.
Sudahlah, masa kita mau "mematung" berada dalam kondisi seperti ini terus sih, jangan sampai dendam dan kebencian dalam prosesnya mengalami pembenaran dan justifikasi, sehingga aksi kebencian nantinya akan dianggap sebagai sesuatu yang wajar.
Politik elektoral pada dasarnya adalah sebuah kompetisi  seperti sebuah event olahraga, yang bisa jadi menang namun sangat mungkin juga kalah.
Siap menerima kemenangan , tetapi harus lebih siap menerima kekalahan dengan segala konsekuensinya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H