Bambang pernah ditahan pihak aparat Kepolisian pada Desember 2016 karena bukunya yang menulis sisi negatif presiden Jokowi terutama terkait riwayat pendidikan Jokowi itu, hanyalah informasi palsu yang cenderung fitnah dan tanpa bukti-bukti yang jelas.
Namun anehnya, isu basi tersebut masih saja banyak yang memercayai, bahkan oleh sebagian netizen di goreng lagi menjadi amunisi untuk menyerang dan mendiskreditkan Jokowi.
Sebut saja oleh pemilik akun Twitter @Doktertifa,Tifauzia Tyassuma, Â ia menggiring opini yang berkaitan dengan isu "ijazah palsu" dengan membandingkan foto lama Jokowi saat di wisuda 37 tahun yang lalu dengan foto Jokowi belakangan ini.
Ia menuding bahwa foto wisuda Jokowi di UGM saat itu, tampak seperti orang berbeda., dengan membawa-bawa urusan ilmu anatomi yang didaku dipelajarinya sebanyak 15 SKS ketika ia kuliah kedokteran.
Sebenarnya "gorengan' isu ini tak masuk akal, seperti orang yang tengah berhalusinasi.Tentu saja akan banyak sekali perbedaan yang tampak dalam foto yang diabadikan 37 tahun lalu dengan foto saat ini.
Tudingan  Dr. Tifa tersebut di respon oleh Dr. Berlian Idris yang juga berprofesi dokter lewat akun Twitter miliknya @berlianidris , ia menyebut Dr Tifa membuat malu profesi dokter karena cuitannya yang seolah mempelajari anatomi saat kuliah di kedokteran hanya diajari untuk membandingkan foto.
"Sudahlah, dok, stop bikin tuit kayak gini. Bikin malu profesi dokter. Mana bisa bandingin foto dulu dengan sekarang. Apalagi yang dulu berkumis, kini tidak. Lagian matkul anatomi kan ga ngajarin ilmu perbandingan wajah dari foto,"cuitnya.
Dalam prespektif saya, urusan ini semua adalah masalah kontestasi politik yang dirasakan oleh para pihak belum selesai, jadi ada semacam dendam kesumat beribu karat terhadap Jokowi akibat jagoannya dalam dua pemilu selalu dikalahkan.
Apalagi kemudian, pihak yang dijagokannya malah bergabung dengan pemerintahan Jokowi dan pendukungnya merasa ditinggalkan ya dendamnya tambah menjadi.
Tindakan mereka seperti bergerak di luar akal sehat akibat kebencian yang membuncah menguasai relung-relung sukmanya.Â
Kondisi ini, salah satunya bisa terjadi lantaran narasi yang dibangun saat kontestasi politik elektoral berlangsung hanya berkutat pada sensasi sentimentil alih-alih memaparkan narasi yang penuh substansi demi kemajuan bangsa.