Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 5,44 Persen Itu Keren, Syukuri Bukan Dinyinyiri

9 Agustus 2022   11:43 Diperbarui: 11 Agustus 2022   23:31 316
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Kuartal II 2022 berhasil mencapai angka 5,44 persen secara tahunan (year on year) dibandingkan periode yang sama tahun 2021.

Jika dibandingkan kuartal I 2022, ekonomi Indonesia tumbuh 3,72 persen. Fakta realisasi petumbuhan ekonomi tersebut, membuktikan bahwa ekonomi Indonesia jauh dari kata krisis.

BPS.go.id
BPS.go.id
Saya bisa pastikan sebagian besar masyarakat Indonesia gembira dan bersyukur atas fakta pertumbuhan ekonomi yang positif ini.

Namun, sebagian kecil diantara masyarakat sedikit kecewa dan kurang bersyukur atas nama kepentingan politik.

Mereka-mereka yang tak menyukai atau beroposisi dengan pemerintah mungkin berharap pertumbuhan ekonomi Indonesia negatif sehingga situasi krisis mendekat,bahkan terpuruk menjadi negara bangkrut seperti Srilanka, agar memiliki bahan gorengan untuk menyerang pemerintah.

Bahkan dengan fakta berdasarkan data-data valid yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) seperti ini pun, para pihak tersebut berusaha menisbikan fakta positif ini menjadi negatif melalui narasi-narasi yang salah kaprah.

Padahal pada saat mereka menggiring opini "ekonomi Indonesia bakal bangkrut  seperti Srilanka" data-data seperti ini juga yang mereka gunakan untuk itu.

Memang agak susah jika cara beroposisinya seperti ini, yang mereka tahu hanyalah bagaimana caranya mendiskreditkan pemerintah apapun capaian positifnya.

Mereka tidak mau tahu, bahwa pertumbuhan positif ekonomi Indonesia sebesar itu terjadi di saat ekonomi global tengah terguncang penuh ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 dan memanasnya situasi geopolitik akibat perang Rusia vs Ukraina.

Padahal pertumbuhan ekonomi Indonesia di Kuartal II 2022 tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan sejumlah negara lain termasuk dua negara penguasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China.

Seperti dilansir CNBCIndonesia.Com, Amerika Serikat petumbuhan ekonominya untuk Kuartal II 2022 ini minus 1,6 persen saja secara YoY.

Demikian juga dengan China yang biasa pertumbuhan ekonominya berderap kencang, pada periode yang sama harus rela tumbuh 0,4 persen saja.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, kinerja positif ekonomi Indonesia tersebut didorong oleh penguatan ekonomi domestik alias konsumsi rumah tangga.

Konsumsi rumah tangga pada kuartal II 2022 ini pertumbuhannya mencapai 5,51 persen atau berkontribusi sebesar 2,92 persen pertumbuhan ekonomi nasional.

Berarti lebih dari 50 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode ini berasal dari konsumsi rumah tangga.

Selaim itu, laju ekspor yang membaik menjadi penopang lain pertumbuhan ekonomi nasional, menyumbang 2,14 persen.

Sisanya, 0,82 persen berasal  dari proses industri manufakturing dan sisanya didapatkan dari industri pariwisata, transportasi, dan pergudangan.

Namun demikian, bukan berarti kita bisa jumawa dan tenang-tenang saja. Lantaran tantangan ekonomi saat ini dan ke depannya sangat tak mudah bahkan sebagian diantaranya tak terelakan.

Intaian kenaikan inflasi benar-benar harus dicermati, agar tak liar dan menjadi tak terkendali, hingga Juli 2022 angka inflasi Indonesia mencapai 4,94 persen, tertinggi sejak 5 tahun terakhir.

Meskipun jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di kawasan Asean dan beberapa negara besar lainya di Eropa dan Asia serta Amerika, inflasi di Indonesia relatif lebih kecil dan terjaga.

Seperti kita tahu kenaikan inflasi secara global dipicu oleh tingginya harga komoditas pangan dan energi akibat perang berkepanjang Rusia vs Ukraina, dan sisa-sisa dampak penanganan pandemi Covid-19

Di Indonesia pun, merangkak naiknya angka inflasi ini pemicu utamanya adalah kenaikan harga pangan dalam negeri yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir.

Dengan kondisi seperti ini yang bakal terdampak langsung adalah penduduk dalam kategori rentan miskin, akibatnya akan menjadi miskin yang tidak memiliki kemampuan lagi untuk membeli barang kebutuhan pokok yang harganya naik, sementara pendapatan mereka tidak naik bahkan cenderung menurun.

Salah satu cara yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi dalam meredam inflasi adalah memberikan subsidi, terutama untuk BBM dan listrik yang biasanya menjadi pemicu utama kenaikan inflasi.

Tanpa subsidi, menurut Pertamina, harga keekonomian sesuai harga pasar internasional, BBM jenis Pertalite mencapai Rp. 17.500 per liter sedangkan Solar mencapai Rp. 18.150 per liter, padahal di Indonesia BBM jenis Pertalite di jual dengan harga Rp. 7.650 per liter dan Solar Rp. 5.150 per liter.

Artinyanya subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk setiap liter pertalite dan solar adalah sebesar Rp. 9.850 dan Rp 13.000 per liter. Makanya dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 alokasi anggaran untuk subsidi BBM melonjak hingga Rp. 502 triliun.

Tanpa subsidi BBM, inflasi di Indonesia hampir dapat dipastikan akan melambung tinggi yang akibatnya akan memukul proses pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Selain inflasi, yang berpotensi membuat pertumbuhan ekonomi Indonesia terganggu adalah suramnya pertumbuhan ekonomi global, yang dipicu oleh tingginya inflasi di beberapa negara besar yang dalam saat bersamaan juga mengalami resesi.

Amerika Serikat negara mitra utama perdagangan Indonesia secara teknis saat ini sudah masuk dalam jurang resesi lantaran pertumbuhan ekonominya selama 2 kuartal berturut-turut berada diangka negatif, meskipun kontraksi di kuartal II 2022 ini lebih kecil dibanding kuartal I tahun yang sama.

Untuk menekan inflasi, menurut mantan Menteri Keuangan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump, Lawrence Summers seperti yang ia cuitkan lewat akun Twitternya @LHSummers, pertumbuhan ekonomi AS akan didesain untuk melambat sehingga menimbulkan resesi, salah satu caranya dengan menaikan angka pengangguran.

Jika angka pengangguran diatas 5 persen, maka inflasi akan turun, tetapi jika angka pengganguran di bawah 5 persen maka angka inflasi akan tinggi.

Dalam perekonomian AS, angka pengangguran memang sangat berkorelasi dengan inflasi, yang digambarkan dalam kurva Philips seperti yang dikemukakan oleh Ekonom dunia asal London School of Economics, Profesor Alban Willian Philips.

Hubungan negatif antara inflasi dan pengangguran dimana ketika angka pengangguran rendah maka tingkat inflasi akan tinggi dan sebaliknya.

Mengapa demikian, biasanya dengan rendahnya angka pengangguran maka posisi tawar pencari kerja menjadi naik, maka upah yang diberikan oleh pemberi kerja akan menjadi tinggi, hal tersebut membuat uang beredar bertambah banyak dan pada akhirnya mendorong harga kebutuhan naik sehingga pada akhirnya memicu kenaikan angka inflasi.

Nah, dengan melambatnya ekonomi AS seperti diungkapkan oleh ekonom senior dan mantan Menteri Keuangan di era Susilo bambang Yudhoyono, M.Chatib Basri, seperti yang ia cuitkan lewat akun Twitternya @chatibbasri.

Maka ekspor ke AS akan turun, karena AS adalah kekuatan ekonomi paling utama dunia, ekonomi global pun pergerakannya akan ikut melambat. Permintaan energi dan komoditas bakal turun, dan ekspor Indonesia pun akan terkena dampaknya.

Jika perlambatan ekonomi global termasuk ekonomi China terjadi, maka Indonesia harus siap mengantisipasi penurunan ekspor, dengan porsi pengaruh ekspor terhadap pertumbuhan ekonomi nasional hampir 40 persen akan berat bagi Indonesia untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi seperti saat ini.

Dengan asumsi penurunan ekspor, maka titik berat pertumbuhan ekonomi Indonesia akan ada pada sumber pertumbuhan domestik, utamanya ekonomi rumah tangga.

Dengan posisi seperti ini menurut Chatib, ekonomi Indonesia mungkin akan menghadapi kontraksi fiskal dan moneter. Sehingga dibutuhkan bauran kebijakan yang komprehensif dan kolaboratif agar pertumbuhan ekonomi Indonesia tak terjegal, dan terjun bebas.

Tak mudah memang, berselancar ditengah ombak yang tinggi dan penuh ketidakpastian arahnya tersebut, oleh sebab itu dibutuhkan kerja keras dari tim ekonomi pemerintah dan pihak lain yang berkepentingan termasuk masyarakat.

Menyiyiri apapun kebijakan ekonomi pemerintah tak akan berdampak apapun, selain membuat kegaduhan di media sosial saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun