Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Memahami dan Belajar dari Kegagalan Perusahaan Rintisan WeWork

3 Juni 2022   11:45 Diperbarui: 3 Juni 2022   12:04 1248
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua bulan pasca pengumuman batalnya WeWork mencatatkan saham di lantai bursa pada 19 September 2019 lalu, dan perusahaan bertambah limbung.

Eksekutif perusahaan rintisan tersebut dengan nada datar membacakan beberapa kalimat pemintaan maaf dihadapan para karyawannya.

Sesaat setelah kalimat permintaan maaf meluncur dari mulutnya, sang eksekutif WeWork menjelaskan adanya kondisi yang memaksa untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Semua hal tersebut disampaikan dalam rapat rutin mingguan di kantor pusat WeWork di 115 West 18th Street, New York Amerika Serikat.

WeWork yang didirikan pada tahun 2010 oleh Adam Neumann dan Miguel McKelvey adalah sebuah perusahaan rintisan fenomenal yang menyediakan ruang kerja bersama yang dikenal dengan co-working space.

Saat itu, seperti dilansir Wall Street Journal (WSJ) berdasarkan data yang tercatat dalam prospektus Initial Public Offering (IPO) perusahaan, per Juni 2019 WeWork mempekerjakan 12.500 karyawan.

Namun, 6 bulan kemudian karena kondisi keuangan terguncang serta kebutuhan refocusing bisnis untuk menghindari kehancuran, WeWork, perseroan terpaksa harus memangkas 2.400 karyawannya, setara dengan 20 persen dari total jumlah keseluruhan pekerja secara global.

Kondisi keuangan perusahaan saat itu memang benar-benar genting, mereka akan kehabisan uang sama sekali untuk memutar roda usahanya dalam dua bulan ke depan.

Kondisi tersebut membuat investor sekaligus pemegang saham terbesarnya, SoftBank yang dikelola Masayoshi Son harus menggelontorkan dana bailout sebesar US$ 9,5 miliar atau setara Rp. 24 triliun untuk menghindarkan WeWork dari kebangkrutan.

Padahal seperti dilansir PrimeUnicorn Indeks pada masa emasnya beberapa bulan sebelumnya, WeWork sempat memiliki valuasi mencapai US$47 miliar atau Rp. 681,5 triliun namun angka itu kemudian terjun bebas menjadi hanya US$6,94 miliar  atau Rp. 100,63 triliun.

Investor besar selain Softbank yang telah mengucurkan dana sebesar US$ 33,5 miliar atau Rp. 485,75 triliun antara lain institusi keuangan top dunia Goldman & Sach, JP Morgan Chase &Co, T Rowe Association, The Harvard Corporation, Benchmark dan Mortimer Zuckerman eks CEO Boston Properties.

Secara keseluruhan WeWork telah mendapatkan pendanaan hingga seri G, sehingga tak heran jika valuasi perusahaan tersebut mencapai US$ 47 miliar dan menjadikannya sebagai salah satu perusahaan rintisan paling berharga di dunia.

Secara konsep WeWork memang cukup solid dan inovatif serta benar-benar memenuhi  novelty sebagai sebuah perusahaan rintisan.

Menurut Adam Neumann penggagas dan salah satu pendirinya, WeWork adalah lingkungan baru untuk ruang kerja. Konsep ruang kerja bersama atau berbagi ruang kerja merupakan perubahan baru dalam hal bagaimana cara orang bekerja.

Ide tersebut datang ketika Neumann tengah mencari ruangan untuk dirinya berkantor di kawasan Brooklyn New York.

Dalam upayanya untuk mencari ruangan kerja, ia dipertemukan dengan Miguel McKelvey seorang arsitek yang kemudian ia gandeng untuk mewujudkan impiannya membangun sebuah usaha properti berbasis teknologi.

Ruangan di gedung tersebut ia bagi-bagi untuk selanjutnya ia sewakan sebagai kantor dan ruang kerja bersama yang fancy dan egaliter. Sesuatu yang berbeda dibandingkan ruang-ruang kantor yang selama ini existing.

Proyek pertamanya itu kemudian mereka sebut Greendesk, yang menjadi cikal bakal berdirinya WeWork. Selanjutnya setelah WeWork berjalan pada tahun 2010, dalam kurun waktu yang singkat berkembang sangat pesat.

Menurut International Business Time, lima tahun setelah WeWork berdiri, valuasinya langsung meroket hingga menyentuh angka US$ 10,5 miliar.

WeWork pada masa itu, sudah memiliki puluhan ribu pelanggan di 32 lokasi yang mereka miliki, dengan harga sewa US$ 45 per bulan.

Mereka melangkah sangat cepat, agresif dan ekspansif dalam mengembangkan bisnisnya. Untuk mengimbangi agresivitas bisnisnya, Neumann melakukan lobi pada calon investor potensial.

Karena seperti halnya perusahaan rintisan, yang Neumann selalu perhatikan adalah top-line nya atau pertumbuhan dari perusahaanya, bukan keuntungan yang didapatkannya.

Oleh sebab itu manajemen WeWork saat itu selalu mencari sumber pendanaan baru buat menutupi seluruh cashflow operasionalnya.

Lantaran prospeknya solid dan Neumann mampu menerjemahkan ambisinya menjadi kalimat-kalimat yang menggoda investor, sehingga ia terlihat sebagai seorang visioner yang siap membawa dunia ke arah yang lebih baik, para investor memercayainya.

Masayoshi Son pengelola Sofbank, Venture Capital raksasa asal Jepang kemudian masuk, memberikan pendanaan pertama sebesar US$8 miliar sehingga membuat valuasi WeWork menjadi sebesar US$ 20 miliar sekitar tahun 2017

Dengan kucuran dana tersebut, WeWork bergerak lebih ekspansif lagi, tak terbatas di Amerika Serikat mereka mengembangkan sayap bisnisnya ke Eropa, Australia, Asia, bahkan hingga Afrika.

Tentu saja hal tersebut membutuhkan ongkos yang tak sedikit. Makanya tak lama berselang tepatnya  pada 2018,  Adam Neumann sang CEO WeWork harus kembali mencari  sumber pendanaan baru.

Ia mendatangi beberapa lembaga keuangan kondang seperti JP Morgan Chase & Co dan Goldman Sach, memang pendanaan ia dapatkan tetapi tak cukup untuk memenuhi appetite ekspansif-nya yang gila-gilaan.

Akhirnya ia kembali membujuk Softbank untuk mengucurkan dana tambahan kepada WeWork, lewat negosiasi tak terlalu lama Masayoshi Son sepakat untuk menggelontorkan dananya dua kali lebih besar dibanding investasi pertamanya di WeWork, Softbank memberi Neumann uang sebesar US$ 16 miliar.

Hal tersebut membuat Neumann dan jajaran manajamen WeWork terlena, ambisi dan ekspansinya semakin liar. Mereka membangun ruang kerja untuk mereka sewakan dengan sangat mewah dan penuh gimmick, tanpa memperhitungkan kesepadanan dengan ongkos sewanya.

Seperti misalnya, membelanjakan 5 juta meter kubik kaca, 250 juta meter persegi karpet, dan jutaan meter kubik lantai kayu, ribuan ton almunium, untuk memoles berbagai ruang kerja bersama milik WeWork.

Kemudian ia bersama istriya Rebekah mendirikan sekolah setingkat PAUD yang dinamakan WeGrow dengan biaya investasi yang sangat tinggi lantaran sekolah tersebut memiliki kurikulum terkait pendidikan entrepreneur sejak dini dengan fasilitas mewah dan canggih.

Cara Neumann mengelola uang investor sungguh sangat serampangan, selain untuk kepentingan pemenuhan ambisinya, ia pun menggunakan uang investor untuk membeli berbagai properti mewah, hingga pesawat jet pribadi seharga US$ 60 juta.

Bagi Adam Neumann, WeWork adalah taman bermain. Semua ide-ide nya yang terkadang sangat liar dan tidak penting ia tuangkan begitu saja dengan menggunakan dana dari para investor.

Alhasil, ia harus menerima akibatnya di depak dari perusahaan yang ia dirikannya. Dan rencana WeWork untuk IPO akhirnya gagal dilakukan di akhir 2019.

Valuasi WeWork pun anjlok sangat dalam menjadi tinggal US$ 6,94 miliar.Menurut sejumlah pandit bisnis digital, memang terdapat banyak faktor yang menjadikan sebuah valuasi sebuah start-up anjlok.

Dalam konteks WeWork, salah satunya adalah isu terkait penggunaan modal yang menyimpang oleh pendiri sekaligus CEO-nya, Adam Neumann.

Menurut situs Businessinnsider.com, di bawah Neumann, WeWork pernah membakar uang per kuartal dengan nilai US$ 700 juta, sehingga membuat perusahaan kelimpungan mencari pendanaan baru.

Belajar dari kerugian dan kegagalan yang dialami oleh WeWork, penting bagi semua perusahaan terutama perusahaan rintisan untuk benar-benar memerhatikan alur keuangan yang berputar di dalam perusahaan, jangan hanya berkutat pada area top-line (pertumbuhan dengan mengabaikan area bottom-line (keuntungan).

Selain itu, hal yang tak kalah pentingnya untuk diperhatikan adalah menghindari perilaku "membakar uang" untuk hal-hal yang tidak substansial dan berhubungan langsung dengan bisnis yang sedang dikembangkan.

Kendati demikian, biasanya kegagalan berkembangnya sebuah start-up tak berfaktor tunggal. ada sejumlah hal lain yang membuat perusahaan rintisan tersebut tumbang.

Diantaranya, gagalnya mendeteksi kebutuhan pasar, sehingga produknya gagal dipasarkan, kehabisan modal, ketidakmampuan menyusun tim yang tangguh, hingga kalah dalam kompetisi dengan pesaingnya.

Kegagalan adalah sebuah pelajaran yang berarti, yang jika dialami sendiri ongkosnya akan sangat mahal. Jadi apapun yang terjadi pada WeWork tidak ada salahnya jika kita belajar dari kesalahan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun