Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Permainan Anak Tradisional, Filosofi dan Makna di Balik Kalimat "Hompimpa Alaihum Gambreng"

1 Juni 2022   11:56 Diperbarui: 10 Juni 2022   14:25 4116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara natural dunia anak-anak adalah dunia bermain, apapun yang ada di sekelilingnya kerap dianggap sebagai sarana bermain.

Bagi anak-anak bermain merupakan kegiatan bersenang-senang yang dibutuhkan, selain untuk menunaikan hasrat alamiahnya ternyata bermain bermanfaat untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi dan kreativitas mereka.

Meskipun  pola dan jenis  permainan anak memiliki zamannya masing-masing.  

Anak-anak zaman now lebih banyak berkutat dengan permainan berbasis perangkat elektronik atau gadget, di dalam ruangan dan terkesan individualis.

Sementara anak-anak zaman baheula, generasi 80an dan 90an lebih banyak bermain di luar ruangan bersenang-senang dengan permainan tradisional dan melibatkan banyak anak lainnya

Menurut ahli pedagogi seperti yang saya cuplik dari berbagai media. Bermain dengan pola dan jenis seperti anak zaman baheula dianggap lebih baik dibandingkan zaman now.

Karena permainan anak tradisional  khas zaman dulu dengan alat bantu yang sederhana merangsang kreativitas dan melibatkan aktivitas motorik lantaran anak selalu bergerak aktif, lincah dan dapat berinteraksi dengan yang lain sehingga memungkinkan untuk menjalin pertemanan.

Oleh sebab itu anak-anak akan terlatih untuk mengelola emosi dan katangkasannya melalui permainan yang cenderung aktif tersebut.

Mengutip tulisan Agnes Gita Cahyandari  yang ia tulis untuk tugas akhirnya yang berjudul  "Sebuah Kajian Etnolinguistik Pada Permainan Rakyat".

Indonesia kaya dengan permainan anak tradisional, tak kurang dari 2.500 permainan tradisional pernah ada di Nusantara.

Sayangnya, 40 persen diantaranya sudah punah dan sisanya pun tengah menuju kepunahan karena sudah jarang dimainkan lagi.

Sedangkan permainan tradisional yang masih benar-benar eksis dan dikenal oleh masyarakat mungkin jumlahnya tak lebih dari puluhan saja.

Beberapa contoh permainan anak yang masih dikenal dan sebagian di antaranya dimainkan antara lain:

Petak Umpet, Congklak, Bola Bekel, Ular Naga Panjang, Kelereng, Galasin, Lompat Tali, dan beberapa permainan lainnya.

Tergerusnya keberadaan permainan tersebut bisa terjadi karena 65 persen anak-anak saat ini sudah tidak lagi mengenal permainan tradisional.

Salah satu penyebabnya, karena dampak meluasnya penggunaan teknologi dalam permainan anak.

Padahal menurut Mohammad Zaini Alif Pendiri Komunitas Mainan Rakyat Hong sekaligus dikenal sebagai Bapak Permainan Anak Tradisional.

Permainan tradisional bukan hanya sekedar "permainan," dibaliknya mengandung filosofi yang mendalam. 

Congklak misalnya, permainan yang dilakukan oleh dua orang, dengan bidang permainan sebuah papan kayu atau plastik yang memiliki 14 lubang kecil saling berhadapan di sisi kiri dan kanan. Dan 2 lubang besar di ujung kedua sisi.

Di awal permainan masing-masing lubang biasanya diisi oleh 7 biji kerang, sedangkan 2 lubang besar dibiarkan kosong. Lubang besar tersebut dianggap sebagai gudang penyimpanan.

Salah satu hal yang bisa dipetik dari  permainan ini, adalah kita diajarkan agar memiliki perhitungan yang  tepat agar tak jatuh di lubang kosong, sehingga kesempatan menjalankan permainan jatuh ke tangan lawan kita.

Di akhirpermainan, pemain yang memiliki jumlah kerang terbanyak yang tersimpan dalam lubang besar, dianggap sebagai pemenang permainan ini.

Congklak, selain mengajarkan cara berhitung dengan cermat dan tepat, juga mengandung filosofi bahwa uang yang kita dapatkan jangan langsung dihabiskan.

Lubang besar di ujung papan mengajarkan pada kita untuk menabung.

Selain menabung, permainan congklak juga mengajarkan untuk saling berbagi, hal tersebut dimanifestasikan dalam aturan congklak.

Siapapun yang memainkan congklak tak boleh luput mengisi lubang di sisi lawan. Begitu pun lawan, tak boleh luput mengisi lubang di sisi kita.

Kendati demikian bukan berarti memberi begitu saja, aturan lain dalam permainan ini  tak memperkenankan pemainnya untuk mengisi lumbung milik lawan.

Hal tersebut menyiratkan  "Jangan beri ikannya tapi siapkan kailnya". Semuanya harus melalui proses.

Contoh permainan tradisional lain yang memiliki filosofi cukup mendalam adalah Petak Umpet.

Permainan ini lebih sederhana dibandingkan congklak, karena tak memerlukan alat bantu selain tubuh anak itu sendiri.

Permainan ini dimainkan oleh hampir seluruh anak di dunia, dalam bahasa Inggris biasanya disebut hide and seek game.

Inti dari permainan ini adalah para pemainnya harus bersembunyi dari seseorang, sementara yang giliran jaga harus menemukan mereka.

Permainan dianggap selesai jika seluruh pemain yang bersembunyi berhasil ditemukan oleh pemain yang mendapatkan giliran jaga.

Dan yang pertama ketahuan tempat persembunyiannya akan mendapat giliran jaga selanjutnya.

Dari awal permainan, petak umpet sudah menyuguhkan filosofi bermakna mendalam. 

Saat hendak memulai permainan, untuk memilih siapa yang jaga, seluruh pemain akan mengucapkan kalimat yang sangat terkenal secara bersamaan "HOMPIMPA ALAIHUM GAMBRENG"

Kalimat ini diucapkan sambil  mengayunkan tangan ke kanan dan ke kiri secara bersama-sama.

"Hompimpa alaihum gambreng" bisa jadi merupakan salah satu kalimat paling populer diantara anak-anak atau bahkan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Ternyata Hompimpa Alaihum itu memiliki makna mendalam. Menurut penjelasan Zaini Alif, Hompimpa Alaihum berasal dari Bahasa Sansekerta yang memiliki arti " Dari Tuhan kembali Menuju Tuhan"

Hom berasal dari kata Om, Hum, Hu, atau Huwa yang berarti Tuhan. Sementara "Gambreng"adalah semacam kata pengantar berarti ayo mulai permainan seperti "grak "dalam baris berbaris.

Apakah penjelasan Zaini Alif terkait hal ini valid atau sekedar utak atik gatuk saja?

Seperti dilansir situs mduniaversecenter.com, bisa jadi makna yang terkandung dalam kalimat tersebut valid adanya, tetapi mungkin juga tak terllalu valid.

Karena, hingga saat ini belum ditemukan bukti dalam bentuk tulisan atau dituangkan dalam jurnal yang mengkonfirmasi keterangan Zaini Alif ini.

Meski demikian hal tersebut tak perlu juga diperdebatkan lantaran bukan itu esensi dan poin utamanya.

Jika benar demikian maknanya, berarti betapa dalam makna filosofis dari permainan anak tradisional yang sempat kita mainkan dahulu. Andai pun tidak valid, sudah bukan masalah juga. 

Namun secara logika, makna dari kata pembuka permainan itu sinkron dengan arti Dari Tuhan Menuju Tuhan.

Coba bayangkan saat kita "ber-hompimpa alaihum gambreng" semua pihak yang terlibat dalam permainan secara sadar memilih bagian telapak tangan mana yang akan diperlihatkan, hitam atau putih, bagian atas atau bagian bawah tangan.

Jika kemudian pilihan tersebut membawa kita harus menjadi pihak yang "jaga" ya harus diterima secara legowo.

Itulah konsekuensi dari pilihan yang secara sadar kita lakukan. Seperti halnya dalam kehidupan, apapun pilihan yang kita ambil,  harus siap menerima konsekuensinya.

Itu lah manifestasi dari kalimat "Dari Tuhan Menuju Tuhan" yang penuh keikhlasan dan tawadu.

Hal ini berkaitan dengan filosofi permaianan petak umpet itu sendiri. Permainan ini adalah tentang kehidupan dan kematian.

Para pemain yang kebagian untuk bersembunyi kemudian ditemukan, ibaratnya adalah manusia yang telah ditemukan oleh ajalnya. 

Permainan ini menjadi pengingat bagi kita bahwa hidup ini fana dan akan ada hidup lain setelah kita mengakhiri kehidupan di dunia.

Terlepas dari segala macam maknanya, kata Hompimpa bisa disebut kata sakti yang sudah menjadi sahabat dan tak bisa dipisahkan dalam permainan anak tradisional.

Sayangnya permainan anak tradisional sudah jarang dimainkan lagi oleh anak-anak zaman now. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun