Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Lin Che Wei, Skandal Bank Lippo, dan Mafia Minyak Goreng

20 Mei 2022   11:58 Diperbarui: 20 Mei 2022   16:26 2637
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika nama ekonom dan analis keuangan Lin Che Wei alias Weibinanto Halimdjati ditetapkan sebagai tersangka kasus mafia minyak goreng oleh Kejaksaan Agung. Karena Ia diduga ikut mengkondisikan pemberian persetujuan ekspor minyak sawit mentah dan turunannya kepada beberapa perusahaan, saya lumayan terkejut

Sependek pengetahuan saya, Lin Che Wei merupakan sosok yang sepertinya agak jauh untuk  melakukan perbuatan busuk seperti itu.

Secara pribadi memang saya tak mengenalnya terlalu jauh, tetapi secara profesional sebagai analis di pasar modal, ia adalah salah satu orang yang saya anggap sebagai mentor.

Analisisnya tajam dan bernas, kemampuan menggali data nya  keren, skill komunkasinya pun oke sehingga istilah-istilah berat khas pasar modal bisa disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami masyarakat awam.

Selain itu, di awal-awal namanya muncul kepermukaan pasca reformasi 1998, Che Wei dikenal sebagai analis keuangan dan ekonom yang berintegritas dan berani menyuarakan kebenaran.

Saat itu ia masih menjadi Chief of Research and Analyst Departement di perusahaan sekuritas yang merupakan anak usaha bank asal Jerman Deutsche Bank, PT. Morgan Grenfield Securities.

Namanya semakin moncer saat Che Wei menjadi Direktur Utama perusahaan invesment banking asal Perancis PT. Societe Generale Securities Indonesia.

Hasil analisis Lin Che Wei pada tahun 2003 berhasil membongkar manuver Lippo Grup untuk kembali menguasai PT.Bank Lippo Tbk dari tangan pemerintah dengan cara yang terlihat legal tapi sebenarnya melanggar hukum, setidaknya menelikung  Undang-Undang Pasar Modal, melalui manipulasi saham.

Seperti diketahui sebagian besar saham Lippo Bank saat itu telah dikusai oleh negara  melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).

Hal itu bisa terjadi lantaran krisis moneter 1997, Pemerintah Indonesia terpaksa harus mengucurkan dana talangan yang dikenal dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)  kepada hampir semua bank-bank yang ada di Indonesia termasuk Lippo Bank karena likuiditas mereka jeblok.

Sebagai gantinya pemilik bank yang bersangkutan harus menyerahkan seluruh sahamnya kepada negara dan jika jumlahnya masih kurang dari BLBI yang telah diberikan, maka aset-aset yang dimiliki grup usaha dan pemiliknya secara pribadi juga akan disita.

Manuver grup Lippo itu dianggap Che Wei bakal merugikan negara sebagai pemegang saham mayoritas, karena apabila manuver tersebut berhasil dilakukan, pemilik lama Lippo akan masuk saat harga sahamnya anjlok.

Mengingat hal tersebut berpotensi membuat keuangan negara merugi, Che Wei membongkar upaya licik pemilik lama Lippo Grup

Akibatnya Che Wei kemudian sempat digugat oleh Lippo Grup sebesar Rp.103 miliar. Karena dianggap mencemarkan nama baik mereka.

Menurut pihak Lippo kata "manipulasi" yang digunakan Che Wei dalam artikelnya tersebut dianggap tendensius dan tanpa dasar yang jelas.

Meskipun akhirnya  kasus ini tak diteruskan lantaran manajemen Lippo dinyatakan bersalah oleh otoritas pengawas dan regulator Bursa Saham saat itu, Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). 

Kasus Lippogate ini mulai heboh ketika Lin Che Wei menulis sebuah artikel di Harian Kompas berdasarkan hasil analisanya terkait laporan keuangan ganda PT.Bank Lippo.Tbk yang saat itu rumornya memang telah beredar di kalangan praktisi pasar modal.

Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, kasus Bank Lippo ini berawal dari laporan keuangan Triwulan III tahun 2002 yang dirilis pada 30 September oleh manajemen Lippo ditemukan bermasalah oleh sejumlah pihak termasuk Lin Che Wei.

Masalahnya terjadi perbedaan informasi atas Laporan Keuangan Lippo Bank yang disampaikan ke publik melalui iklan di surat kabar nasional pada tanggal 28 November 2002 dengan Laporan Keuangan yang sebelumnya disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (BEJ).

Selain menyajikan laporan keuangan ganda yang berbeda dan bersifat material, secara simultan dalam kurun waktu bersamaan sejumlah broker melakukan transaksi jual saham Lippo Bank dalam jumlah yang sangat besar.

Ajaibnya, setelah beberapa saat melepas saham Lippo Bank, broker yang sama pada 14 Februari 2003 berbalik melakukan transaksi beli dalam volume signifikan.

Praktik semacam itu menguatkan dugaan memang telah terjadi manipulasi laporan keuangan dan melanggar dua aturan pasar modal lain, yakni cornering dan insider trading.

Cornering dalam bahasa sederhananya adalah menggoreng harga saham sesuai keinginan para pelakunya agar mendapatkan untung.

Sedangkan insider trading, adalah informasi orang dalam yang menyebabkan informasi yang diterima investor tidak simetris.

Tujuan dari manajemen  dan pemilik lama Lippo melakukan praktik tersebut agar bisa menguasai kembali saham mayoritas di Lippo Bank.

Saat itu, banyak yang menduga skenario yang mereka inginkan adalah  dengan mengakali rencana right issue atau Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD)  yang saat itu rencananya akan dilaksanakan.

Lewat cara itu, Pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas Lippo mau tidak mau harus mengeluarkan banyak uang untuk mengeksekusi HMETD tadi, karena jika tidak persentase kepemilikan saham pemerintah di Lippo Bank bakal terdilusi.

Intinya, pemilik lama berkeinginan rekapitalisasi kembali dilakukan oleh pemerintah terhadap bank itu.

Hal ini lah kemudian dibongkar oleh Lin Che Wei, sehingga kemudian skandal ini menguar ke publik dan otoritas Bursa Saham Indonesia melakukan investigasi mendalam terhadap kasus tersebut.

Merujuk pada hasil investigasi Bapepam, ada sejumlah fakta yang menunjukan bahwa manajemen Lippo Bank memang secara sengaja memberikan imformasi yang menyesatkan pada laporan keuangan per 30 September 2002.

Lewat hasil pemeriksaan mendalam, Bapepam menemukan bahwa laporan keuangan yang dirilis Lippo di media nasional tidak diaudit, meskipun angka-angkanya sama seperti yang tercantum dalam laporan auditor independen.

Padahal pihak Lippo mengaku bahwa laporan keuangan tersebut telah diaudit. Dengan begitu, jelas dan terang bahwa pihak Lippo telah memberikan informasi yang tidak benar dan menyesatkan.

Cukup rumit sebenarnya kasus Lippogate ini karena melibatkan financial enginering yang lumayan sophisticated.

Dan semua itu berhasil dibongkar oleh Lin Che Wei saat itu. Nama Che Wei setelah skandal akuntansi Lippogate ini semakin menjulang

Ia kemudian di angkat menjadi Direktur Utama perusahaan sekuritas besar milik negara PT. Danareksa mulai dari tahun 2005 hingga 2007.

Saat itu namanya masih wara-wiri di berbagai media bisnis. Tetapi setelah ia keluar dari Danareksa dan mendirikan perusahaan riset dan analisis industri, Independen Research & Advisory Indonesia(IRAI) ia lebih banyak bermain di belakang layar sebagai konsultan.

Lin Che Wei mulai masuk ke Pemerintahan saat dirinya menjadi staf khusus Kementerian BUMN dijaman Sugiharto sebagai Menteri-nya.

Ia pun sempat menjadi staf khusus Menko Perekonomian Aburizal Bakrie. Selain itu Che Wei dengan membawa bendera perusahaan Konsultan miliknya  sempat pula menjadi Policy adviser Menko Perekonomian Sofjan Djalil pada tahun 2014.

Kemudian pada tahun 2016-2019 ia sempat menjadi tim asistensi Menteri PPN/Bappenas, Menteri ATR/BPN dan penasihat Menko Perekonomian Darmin Nasution.

Nah, dari sinilah ia mulai bersentuhan dengan sektor kelapa sawit dengan segala macam turunannya.

Seperti dilansir Kompas.Com, Lin Che Wei ikut terlibat dalam formulasi kebijakan seperti pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-K) dan pembentukan industri biodiesel berbasis kelapa sawit.

Selain itu, ia juga terlibat dalam formulasi kebijakan Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan (2017), Studi dan Formulasi Kebijakan Pemerataan Ekonomi (2017-2019), dan Verifikasi Luas Lahan Kelapa Sawit di Provinsi Riau (bekerja sama dengan Dirjen Perkebunan dan PTPN V).

Karena berbagai keterlibatan dalam industri kelapa sawit ini lah kemudian Kementerian Perdagangan mendaulat Che Wei sebagai penasehatnya meskipun menurut penyelidikan pihak Kejaksaan Agung tak ada kontrak tertulis untuk pekerjaan tersebut.

Ironisnya, seperti dilansir pihak Kejagung Che Wei juga dibayar menjadi konsultan perusahaan kelapa sawit counterpart Kemendag, sungguh sangat tidak etis.

Dengan sederet keterlibatannya dan reputasinya yang signifikan di kalangan Pemerintahan dan industri sehingga tidak heran ia mempunyai akses untuk bisa memengaruhi pemangku kebijakan.

Upaya Kejagung menangkap dan menetapkan Che Wei  sebagai tersangka dugaan praktik mafia minyak goreng ini patut diapresiasi, karena tersangka barunya ini kapasitasnya melebihi tersangka-sangka sebelumnya. Lin Che Wei bisa saja dianggap sebagai otak dari sengkarut minyak goreng di tanah air. 

Namun demikian, penyelidikannya jangan sampai berhenti pada Lin Che Wei lantaran kelihatannya ada pola trading information dan trading influencing dalam kisruh industri kelapa sawit ini.

Semuanya harus dibongkar, karena disini terlihat adanya perencanaan, penetapan kebijakan ekspor dan  juga terkait kebijakan lainnya diseputar industri kelapa sawit yang semuanya itu membuat minyak goreng menjadi langka dan mahal yang ujungnya merugikan rakyat Indonesia.

Sungguh sangat mengecewakan Lin Che Wei dengan kapasitasnya yang sangat dalam di berbagi sektor industri di tanah air harus melacurkan dirinya untuk sesuatu hal yang busuk seperti ini.

Dan ternyata waktu sepertinya mengubah banyak hal dalam dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun