Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Insiden Penolakan Ustadz Abdul Somad oleh Singapura, Tak Perlu Disikapi dengan Lebay

18 Mei 2022   10:40 Diperbarui: 19 Mei 2022   10:46 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya prihatin dengan kejadian yang menimpa Ustadz Abdul Somad (UAS)  yang ditolak memasuki wilayah negeri Jiran Singapura.

Meskipun kita tak bisa juga secara serta merta menyalahkan Pemerintah Singapura atas kejadian tersebut.

Setiap negara memiliki aturan dan diskresi tersendiri untuk aturan imigrasi-nya. Jadi sebenarnya seseorang ditolak dan diterima masuk sebuah negara ya lazim saja, semua keputusannya adalah hak subyektif negara yang bersangkutan dan bisa terjadi terhadap siapapun.

Namun, karena yang tertimpa masalah ini "famous person" dengan pengikut yang banyak seperti UAS, peristiwa biasa saja menjadi luar biasa.

Apalagi kemudian ditolak masuknya UAS oleh otoritas Singapura ditarik-tarik ke ranah politik dan agama, ya kehebohannya menjadi tak tertahankan

Seharian kemarin Selasa (17/05/22) nama UAS dan Singapura ramai diberitakan media mainstream dan menjadi trending topic di media sosial.

Kehebohan ini bermula setelah UAS mengunggah video bahwa dirinya mengaku di deportasi oleh pihak Imigrasi Pemerintah Singapura.

"UAS di ruang 1x2 meter seperti penjara di imigrasi, sebelum di deportasi dari Singapore," tulis UAS seperti dlansir CNNIndonesia.com, Senin (17/05/22).

Meskipun sejatinya, menurut keterangan Duta Besar Indonesia untuk Singapura, Suryopratomo, UAS bukan di deportasi melainkan ditolak masuk Singapura, lantaran tak memenuhi kriteria  untuk dizinkan masuk wilayahnya.

Dalam prespektif keimigrasian, istilah deportasi dan "not to land notice" atau ditolak masuk sebuah negara itu sama sekali berbeda.

Istilah deportasi diberikan apabila orang tersebut telah memasuki wilayah sebuah negara, tapi karena alasan tertentu lalu visa-nya dicabut dan ditarik pulang ke negara asalnya.

Sedangkan istilah "not to land notice"atau ditolak masuk,seseorang belum sempat masuk wilayah negara tersebut lalu izin masuknya ditolak.

Dalam kasus UAS, peristiwa itu terjadi saat pegawai Kantor Imigrasi Singapura di Tanah Merah mengecek paspor UAS dan mereka menolak memberi izin untuk UAS memasuki wilayahnya.

Jadi clear, apa yang terjadi terhadap UAS adalah ditolak masuk ke Singapura bukan di deportasi dari Singapura.

Mengenai alasan Pemerintah Singapura menolak masuk UAS, sebenarnya tak ada kewajiban dari pemerintah negara bersangkutan untuk memberitahukannya.

Namun, lantaran hal tersebut menimbulkan kehebohan, Pemerintah Indonesia melalui Kedutaan Besar-nya di Singapura meminta penjelasan terkait hal tersebut.

Akhirnya Kementerian Dalam Negeri Singapura merilis alasan mengapa UAS ditolak masuk negaranya.

Seperti dilansir Detik.Com, ada 4 alasan UAS ditolak masuk otoritas Singapura.

Pertama, UAS dianggap menyebarkan paham ekstrimisme dan melakukan segregasi agama lain. 

Hal tersebut tidak dapat diterima pada masyarakat multi ras dan multi agama seperti Singapura.

Kedua, UAS pernah berceramah soal bom bunuh diri dalam kaitannya dengan konflik Palestina -Israel, menurut UAS dalam ceramahnya tersebut itu syahid.

Dalam prepektif Pemerintah Singapura yang memang dikenal sekuler hal itu tak bisa ditoleransi.

Ketiga, UAS berulang kali membuat komentar yang merendahkan agama lain seperti Kristen dengan menggambarkan bahwa salib yang menjadi ikon Umat Kristen adalah tempat bersemayamnya roh jahat.

Keempat, UAS kerap kali meng-KAFIR-kan pemeluk agama lain dalam ceramahnya. Pemerintah Singapura mengklasifikasikan hal tersebut dalam segregasi agama lain, sesuatu hal yang tak boleh dilakukan.

Nah karena dianggap mendukung ajaran ekstremis  dan segregasi agama lain, maka Pemerintah Singapura menolak izin masuk UAS.

Alasan resmi Pemerintah Singapura ini kemudian menjadi polemik lanjutan di Indonesia. 

Para pihak yang merupakan pendukung dan pengikut  UAS berasumsi bahwa sikap Pemerintah Singapura ini lantaran didorong oleh para "buzzer" yang kerap menyuarakan penolakan terhadap ekstremisme dan radikalisme.

Bahkan asumsi liar yang lebih parah lagi di framing oleh mereka, bahwa ada kelindan antara badan intelejen Indonesia dengan Otoritas Singapura untuk mendiskreditkan UAS melalui kejadian ini dengan alasan politis.

Asumsi dan pendapat yang cukup aneh dan lucu saya kira, untuk mengetahui tindak tanduk dan ceramah-ceramah orang seterkenal UAS ya tak perlu orang jenius untuk melakukannya.

Tinggal buka media sosial terutama Youtube, materi ceramah UAS bisa didapatkan dengan mudah, dan Pemerintah Singapura pasti memahami mekanisme seperti itu, tanpa perlu di pengaruhi oleh pihak manapun.

Dan faktanya memang demikian, mungkin dimata sebagaian masyarakat Indonesia apa yang dianggap Pemerintah  Singapura berbahaya, ya biasa saja.

Tapi seperti kata pepatah "Lain Padang, Lain Pula Belalangnya" kita mesti hormati juga sikap Pemerintah Singapura tersebut, karena dalam prespektif mereka, niatnya baik untuk melindungi warga negaranya dari isu-isu yang bisa menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat Singapura yang majemuk.

Setiap negara memiliki aturan tersendiri untuk urusan memberi izin seseorang masuk ke negaranya  termasuk Indonesia.

Di Indonesia sendiri pengaturan orang asing ditolak masuk ke wilayah Indonesia, termaktub dalam  Pasal 13 Undang-Undang nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian.

Siapapun yang masuk dalam kategori 10 poin di Pasal tersebut, otomatis akan ditolak masuk Indonesia.

Jadi penolakaan izin masuk UAS ke Singapura tersebut sebaiknya disikapi proporsional saja tak perlu lebay, apalagi sampai melakukan framing bahwa pemerintah Indonesia ada dibalik semua peristiwa tersebut dan membawa-bawa isu politik cupras capres.

Jika kita mau melihat ke belakang, kejadian ditolaknya UAS memasuki wilayah sebuah negara bukan kali ini saja terjadi. Seperti dilansir berbagai media daring, paling tidak UAS pernah ditolak masuk di lima negara berbeda, selain Singapura.

Sebelum ditolak masuk Singapura, pada tahun 2018 ia sempat ditolak memasuki wilayah  Timor Leste dengan alasan nyaris serupa bahkan mungkin lebih parah, karena saat itu Pemerintah Timor Leste tak mengijinkan masuk lantaran UAS dianggap terkait dengan terorisme.

Isu yang sama juga terjadi saat UAS ditolak masuk Pemerintah Hongkong pada tahun 2017. Saat dirinya mau berceramah dihadapan para TKI di Hongkong.

Dalam kurun waktu tak berjauhan, UAS pun tak diperkenankan masuk ke negara Belanda, Swiss, Jerman dan Inggris.

Bahkan saat di tolak oleh Pemerintah Inggris untuk memasuki pesawatnya saja tak diperkenankan.

Dengan rangkaian kejadian penolakan memasuki sejumlah negara ini, mungkin ada baiknya bagi UAS dan para pengikutnya untuk lebih melihat ke dalam dirinya alias introspeksi "apa yang sebenarnya salah"

Menyalahkan pihak lain terus menerus atas kejadian-kejadian yang menimpa dirinya seperti itu tak pula bakal membuahkan apapun.

Namun demikian, jangan pula para pihak yang tak menyukai UAS dan kontra terhadapnya bersorak sorai atau melakukan bullying apalagi sambil melakukan body shamming terhadap kemalangan yang menimpa UAS.

Sudahilah berpikiran "Senang Melihat Pihak Lain Susah, dan Susah Melihat Pihak Lain Senang"

Mau sampai kapan sih hidup kita ini terbelah gara-gara dibodohi para politisi penunggang identitas SARA.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun