Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Sengkarut Minyak Goreng, Biang Keroknya Pemerintah Sendiri, Buruk Rupa Cermin Dibelah?

21 April 2022   11:43 Diperbarui: 21 April 2022   12:50 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Tirto.id

Sengkarut tata kelola minyak goreng nasional kini memasuki babak baru, setelah Kejaksaan Agung mengkonfirmasi isu keberadaan "mafia" minyak goreng melalui penetapan 4 tersangka atas kasus dugaan tindak pidana korupsi ekspor minyak sawit mentah.

Dari 4 tersangka tersebut, 3 diantaranya dari pihak swasta dalam hal ini perusahaan produsen minyak  sawit besar nasional PT.Wilmar Nabati, PT Musim Mas dan Permata Hijau Grup, serta satu orang lagi dari pihak pemerintah yakni Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari  Wisnu Wardhana.

Tindakan hukum Kejagung ini membenarkan sinyalemen adanya praktik curang dalam tata niaga minyak goreng di Indonesia sehingga menyengsarakan rakyat dengan langka dan mahalnya salah satu produk pangan strategis nasional ini.

Berbulan-bulan masyarakat Indonesia dari semua lapisan kesulitan mendapatkan minyak goreng, sekalinya ada harganya di atas harga yang telah ditetapkan pemerintah.

Berbagai jurus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi carut marut per-minyak goreng-an nasional.

DI hulu-nya pemerintah coba memgontrol para produsen kelapa sawit untuk terlebih dahulu memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan harga sesuai HET sebelum di ekspor dengan menggunakan skema domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO).

Sementara di hilir, pemerintah coba  mengubah skema Harga Eceran Tertinggi (HET) dari tunggal menjadi mutiple HET hingga akhirnya HET-nya di cabut tak membuat sirkulasi minyak goreng dimasyarakat normal.

Subsidi kemudian digelontorkan pemerintah khusus untuk minyak goreng curah dengan pagu harga Rp. 14.000 per liter.

Namun tetap saja distribusi minyak goreng acakadut bahkan untuk minyak goreng kemasan harganya melambung tinggi bisa menyentuh lebih dari  Rp.25.000 per liter, sementara minyak goreng curah subsisi susah didapatkan.

Kondisi ini membuat geram semua pihak, Pemerintah mulai dari Presiden hingga Menteri Perdagangan meradang.

Mendag Muhammad Lutfhi menyalahkan banyak pihak atas carut marut perdagangan minyak goreng ini mulai dari konsumen yang ia tuduh menimbun karena membeli melebihi kebutuhan.

Bahkan yang paling fenomenal saat ia teriak-teriak bahwa ada mafia yang bermain dibalik kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng, dan menjanjikan akan menunjuk hidungnya sesegera mungkin, saat itu ia menjanjikan hari Senin 21 Maret 2022.

Tunggu punya tunggu, pengumuman itu tak pernah ada hingga Jaksa Agung ST Burhanudin menetapkan 4 tersangka tersebut.

Ironisnya ternyata mafia-nya itu salah satunya adalah anak buahnya sendiri , ya wajar jika kemudian warganet 62 yang budiman menyebut "maling teriak maling".

Sebenarnya, selain faktor "mafia" yang bermain dalam sengkarut minyak goreng ini

Kelangkaan dan mahalnya harga minyak goreng di Indonesia ini menurut ekonom senior Faisal Basri biang keroknya adalah pemerintah sendiri lewat kebijakan yang dibuatnya.

"Biang keladi yang bikin kisruh minyak goreng ini pemerintah karena meninabobokan pabrik biodiesel," katanya, seperti dilansir Detik.com,Rabu(16/02/22).

Kebijakan yang Faisal maksud adalah Program Mandatory Biodiesel 30 persen, yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 12  tahun 2015 tentang perubahan Permen ESDM nomor 32 tahun 2008 tentang Pemanfaatan, Tata Niaga BBN sebagai bahan bakar lain.

Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil asam lemak (fatty acid methyl ester/FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani melalui proses esterifikasi atau transesterifikasi.

Bahan baku dari biodiesel berasal dari minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) yang juga menjadi bahan baku minyak goreng

Menurut situs Kementerian  Energi dan Sumber Daya Mineral, Esdm.go.id, Program Mandatory Biodiesel ini mulai diimplementasikan pada tahun 2008 dengan kadar campuran sebesar 2,5 persen.

Campuran ini maksudnya 2,5 persen bahan bakar nabati dari minyak sawit mentah, sisanya 97,5 persen dari salah satu hasil refinery minyak bumi, solar.

Secara bertahap perbandingan campurannya terus meningkat, tahun 2010 menjadi 7,5 persen, periode 2011 hingga 2015  ditingkatkan menjadi 15 persen.

Nah, mulai tahun 2016 kadar biodieselnya ditingkatkan lagi menjadi 20 persen dengan istilah B20.

Mulai tahun ini lah pemerintah merangsang para produsen minyak sawit dengan insentif khusus agar bersedia berpartisipasi dalam program biodiesel ini dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk sektor Public Service Obligation (PSO).

Dan mulai 2018 insentif Biodiesel ini diperluas lagi pada cakupan non-PSO. Akibatnya mulai terjadi pergeseran besar dalam konsumsi mnyak sawit mentah atau CPO di dalam negeri yang sebelumnya di dominasi oleh industri pangan kini industri biodiesel yang dominan.

Lonjakan tajam terjadi pada tahun 2020, setelah pemerintah mereinterpretasi kebijakan program mandatory biodiesel B20. Menurut catatan Faisal Basri, konsumsi CPO untuk Biodiesel naik tajam dari 5,83 juta ton pada tahun 2019 jadi 7,23 juta ton tahun 2020.

Di sisi lain konsumsi CPO untuk industri pangan turun dari 9,86 juta ton pada tahun 2019 jadi 8,42 juta ton pada tahun 2020.

Pola konsumsi CPO seperti ini akan terus berlanjut, karena pemerintah terus meningkatkan porsi CPO dalam biodiesel lewat program B30 bahkan Jokowi dalam satu kesempatan pernah menyebutkan bahwa program biodiesel ini targetnya bisa mencapai B100 atau 100 persen bahan baku Biodiesel-nya dari CPO.

Pemerintah mungkin alpa berhitung, karena sifatnya mandatory kecepatan pertumbuhan industri Biodiesel tak diiringi kecepatan bahan baku sawitnya, alhasil mereka mengambil jatah CPO untuk kebutuhan industri pangan termasuk minyak goreng.

Bagi pengusaha kelapa sawit, mereka lebih suka menyalurkan CPO miliknya ke industri Biodiesel lantaran pemerintah memberikan insentif  berupa subsidi dari BPDPKS tadi, yang menjamin perusahaannya tak bakal merugi.

Sebaliknya apabila CPO dijual untuk kebutuhan industri minyak goreng pengusaha tak mendapatkan insentif apapun.

Untuk kebutuhan subsidi Biodiesel pemerintah telah menggelontorkan puluhan triliun rupiah, tak kurang dari 22 perusahaan kelapa sawit besar yang telah menikmati fasilitas ini.

Melihat pola seperti ini, sepertinya Pemerintah lebih mengedepankan buat energi, dibandingkan urusan perut. Meskipun sebenarnya kebutuhan energi pun hampir sama pentingnya bagi masyarakat dan renewable energy bakal menjadi masa depan manusia.

Namun, mungkin renewable energy melalui penggunaan CPO tersebut jangan ditarget terlalu ambisius, gradual dengan jangka waktu yang lebih panjang, di lain pihak ekstensifikasi dan intesifikasi kebun sawit perlu terus dikembangkan agar menemukan titik keseimbangan baru.

Jadi tak fair juga jika semua sengkarut minyak goreng di Indonesia ini ditimpakan pada pengusaha, namanya juga pengusaha ya wajar kalau mereka cari untung.

Kalau untungnya lebih banyak dijual ke industri Biodiesel ya mereka akan lakukan, yang salah ya Pemerintah dalam mengelola tata niaga kelapa sawit nasional.

Mungkin evaluasi menyeluruh terkait kebijakan yang berhubungan dengan kelapa sawit dan industrinya perlu dilakukan bersama dengan para pihak terkait, agar siklus sengkarut minyak goreng ini bisa diputus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun