Tak bisa dipungkiri, mungkin Indonesia merupakan negara yang memiliki penduduk paling majemuk di dunia.
Suku bangsa, agama (pluralitas intra-agama), budaya, bahasa, dan lainnya. Tingkat kemajemukan yang tinggi seperti ini andai terkelola dengan baik bakal menjadi berkah tersendiri.
Namun, dibalik berkah tersebut persoalan klasik muncul, yakni bagaimana mengelola tetesan air kemajemukan itu tak menjelma menjadi bah yang memporakporandakan bangsa ini.
Salah satu bahaya yang bisa berpotensi mengubah tetesan air kemajemukan menjadi bah adalah pendekatan politik identitas.
Menurut sejumlah sumber referensi yang saya dapatkan, istilah politik identitas dicetuskan olwh feminis kulit hitam asal Amerika Serikat Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974.
Politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan monoton dibanding nilai strategis perbedaan.
Dalam bahasa sederhana, politik identitas adalah ketika orang-orang dari ras, etnis, jenis kelamin atau agama tertentu membentuk aliansi baik formal maupun informal, terlihat jelas maupun tersamar membentuk aliansi dan berorganisasi secara politik untuk membela kepentingan kelompok mereka.
Politik identitas diyakini sebagai politik paling mendalam dan berpotensi paling radikal karena datang langsung dari identitas diri sendiri sebagai lawan dari upaya untuk mengakhiri penindasan pihak lain.
Namun demikian dalam perkembangannya politik identitas menjadi semacam bahaya laten, yang terlihat harmless tetapi ketika diejawantahkan ke dalam politik elektabilitas menjadi sangat berbahaya, apalagi yang tejadi kemudian adalah politisasi identitas.
Salah satu contoh yang kita alami adalah situasi politik Indonesia saat ini yang begitu tegas terbelah antara "cebong vs kadrun" yang seolah mewakili identitas besar "nasionalis vs agamis(Islam yang sangat kanan)" hasil dari politisasi identitas pada Pilkada DKI 2017 lalu.
Hal ini sejalan dengan pemikiran pandit ilmu politik dari Standford University Amerika Serikat Francis Fukuyama.