Saat itu kelapa sawit di indonesia tak digunakan sebagai bahan baku minyak goreng, seluruh hasil olahan kelapa sawit untuk kebutuhan industri.
Minyak goreng di Indonesia hingga akhir 1980-an berbahan baku minyak kelapa, yang berasal dari daging kelapa tua yang dikeringkan atau biasa disebut kopra.
Minyak goreng berbahan baku kopra dianggap kurang efesien dan tidak ekonomis. Harga jual kelapa mentah relatif tinggi sehingga lebih menguntungkan menjual kelapa mentah dibandingkan mengolah dan menjual minyak goreng  kelapa.
Sebenarnya, teknologi pemisahan minyak sawit yang menghasilkan liquid fraction atau olein dan solid fraction atau stearine sudah diterapkan di industri sawit Indonesia pada tahun 1974.
Olein  berbentuk cair yang dihasilkan dari perasan buah sawit inilah yang menjadi bahan baku minyak goreng.
Ada beberapa keunggulan minyak goreng berbahan baku sawit dibandingkan dengan minyak goreng berbahan baku kopra.
Minyak sawit memiliki stabilitas pada suhu tinggi selama penggorengan. Sedangkan minyak kelapa tidak dapat dipakai dalam suhu tinggi, jika suhunya melebihi 185 derajat maka minyak kelapa itu akan menyala.
Selain itu minyak sawit tak berbau dan tak memiliki rasa alias tawar sehingga ketika digunakan untuk menumis, menggoreng dan menggoreng dengan suhu tinggi tak mengurangi rasa masakannya.
Sementara minyak kelapa memiliki bau dan rasa, apalagi jika minyak kelapa tersebut sudah tersimpan lama, biasanya baunya lebih menyengat dan mengandung endapan berwarna putih.
Apalagi kemudian, sejalan dengan perkembangan teknologi pengolahannya minyak sawit bisa terlihat lebih jernih kuning keemasan.
Makanya tak heran jika saat ini hampir seluruh bahan baku minyak goreng itu berbahan dasar olein salah satu turunan dari pengolahan kelapa sawit.