Padahal ada niat melakukan pelecehan yang merupakan bagian dari kekerasan seksual saja tidak.
Ketika saya berhasil membuktikan sebaliknya, bahwa saya memang tidak melakukan pelecehan seksual pada wanita tersebut, the damage has done, mungkin saya sudah babak belur dan dipermalukan.
Siapa yang harus bertanggungjawab terhadap kondisi itu? Masih untung tetap hidup bagaimana kalau saya dihakimi hingga meninggal?
Siapa yang akan bertanggungjawab? Dimana letak keadilannya jika demikian, menuntut keadilan terhadap kaumnya dengan mengabaikan kaum yang lain, apa itu fair?
Betul, mungkin probalitas kejadian perempuan berkata bohong atas kasus kekerasan seksual yang menimpa dirinya itu sangat kecil, tapi kan itu masih mungkin terjadi.
Satu hal lagi yang menarik dari hal ini, saat saya menyaksikan sebuah film India yang sangat bagus terkait kontruksi hukum kasus kekerasan seksual berjudul "Section 375".
Film drama persidangan ini berkisah tentang seorang perempuan yang menjadi kru dalam sebuah produksi film, mengaku dan melaporkan kepada polisi bahwa dirinya diperkosa oleh sutradara pada produksi film tersebut.
Padahal kejadian sebenarnya ia tak diperkosa, hubungan seks yang terjadi adalah konsensual, bahkan mereka terlibat asmara sembunyi-sembunyi karena sang sutradara telah memiliki istri.
Namun, karena sakit hati setelah mendapati sang sutradara sebenarnya tak berminat menlanjutkan hubungannya ke tingkat lebih serius ia membalas dendam dengan menuduh sang sutradara telah melakukan kekerasan seksual padanya.
Perempuan yang dalam film itu bernam Anjali Ndangde secara sistematis memfabrikasi semua bukti-bukti bahwa dirinya diperkosa secara cermat dengan motif balas dendam.
Akhirnya Rakhun Kurana, sang sutradara itu harus mendekam dipenjara selama 10 tahun kehilangan karirnya, kehilangan keluarganya dan mungkin kehilangan kehidupannya juga.