Padahal kita tahu persis, kekerasan seksual biasanya terjadi di ruang privat yang mana tak seorang pun menyaksikan atau melihat dengan mata kepala sendiri kejadian tersebut.
Perkara ini menjadi lebih rumit manakala ada masalah di internal pelapornya sendiri, biasanya korban tak mau atau menunda laporan tersebut lantaran masih trauma atau ada sejumlah pertimbangan lain, terkait budaya sosial dan agama misalnya.
Problematika hukum yang menimbulkan kerumitan inilah  yang mendorong korban bisa menjadi korban untuk kedua bahkan ketiga kalinya ini.
Kondisi ini, membuat para aktivis hukum dan perempuan terpaksa menggunakan jalur ekstra judicial dengan membuat semacam hukum dalam kasus kekerasan seksual " siapapun harus berpihak pada korban hingga bisa dibuktikan sebaliknya"
Lantaran di Indonesia yang sering melakukan kekerasan seksual itu adalah kaum pria, maka sebenarnya karena kerumitan pembuktian awal dalam kasus kekerasan seksual yang dirugikan bukan hanya perempuan sebagai korban tetapi juga pria yang di duga pelakunya.
Mengapa demikian, karena khusus untuk kasus kekerasan seksual, azas praduga tak bersalah terhadap pelaku tak berlaku, seperti kasus pidana lainnya.
Lantaran, begitu korban melaporkan kejadian kekerasan seksual dan telunjuknya menuduh seorang individu pria tertentu.
Tuduhan tersebut bisa diklasifikasikan sebagai penghakiman, karena dengan ungkapan harus berpihak pada korban, otomatis tanpa perlu bukti apapun pria yang dituduh itu paling tidak akan menjadi tersangka secara sosial.
Padahal mungkin saja kejadian sebenarnya tak demikian, implikasinya sangat mungkin bukan secara hukum saja tetapi bisa mengarah pada keamanan fisik pria tertuduh dan kerusakan kehidupan sosialnya.
Mari kita berandai andai, what if gane. Jika saya berada dalam sebuah KRL shuttle yang penuh sesak, karena keadaan mau enggak mau bagian tubuh depan saya menempel ke bagian belakang tubuh seorang perempuan dan perempuan itu entah dengan alasan apa tak menyadari kondisi sesak itu, tiba-tiba menganggap menempelnya tubuh saya itu sebagai bentuk pelecehan dan dia berteriak bahwa saya telah melakukan pelecehan seksual kepadanya, sudah hampir dapat dipastikan saya akan menjadi bulan-bulanan penumpang lain di gerbong KRL tersebut.
Tanpa ba bi bu, saya akan diseret ke pos polisi terdekat dan dihakimi, karena keharusan berpihak pada korban.