Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Ibu Kota Baru, New Smart Metropolis yang Sebagian Besar Dibiayai APBN

18 Januari 2022   14:26 Diperbarui: 18 Januari 2022   15:43 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi menyebutkan bahwa Ibukota negara baru (IKN) bukan sekedar kota yang diisi dengan gedung-gedung pemerintahan. Tetapi akan membangun sebuah kota metropolis baru yang smart.

"Kita ingin membangun sebuah new smart metropolis yang mampu menjadi magnet, menjadi global talent magnet, menjadi pusat inovasi,"kata Jokowi seperti dilansir Kompas.com. Senin (7/01/22).

Tentu saja Ibukota baru yang efesien, berwawasan hijau, dan bersahabat dengan digital native adalah sebuah impian yang suatu saat harus diwujudkan.

Namun demikian, bukan perkara mudah untuk mewujudkan ibukota baru dalam bentuk seperti itu, butuh anggaran masif dan keribetan yang luar biasa.

Tulisan ini hanya akan menyoroti penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam pelaksanaannya, tak ada urusannya dengan pro dan kontra yang kini menjadi ramai kembali setelah Rancangan Undang-Undang yang akan menjadi dasar pemindahan dan pembangunan IKN bakal disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna DPR, hari ini Selasa (18/01/22).

Di awal rencana ini digulirkan pada tahun 2019, Jokowi seperti dilansir hampir seluruh media menegaskan bahwa hanya sebagian kecil saja anggaran pemindahan dan pembangunan ibukota baru yang akan diambil dari APBN.

"Saya sampaikan kepada Menteri Keuangan, bahwa kami tidak berharap membebani APBN" ujar Jokowi saat itu.

Lebih jelasnya lagi, Jokowi menekankan bahwa dari seluruh anggaran yang saat itu sekitar Rp 466 trilium hanya seperlimanya yang akan menggunakan APBN.

"Yang dari APBN nantinya hanya 19 persen" ujarnya.

Jika mengacu pada persentase tersebut, maka anggaran dari APBN berkisar Rp.88 triliun untuk memindahkan ibukota ke kawasan Penajam Passer Utara Kalimantan Timur.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas saat itu Bambang Brodjonegoro memastikan penggunaan APBN tak akan mempengaruhi kondisi keuangan negara lantaran porsi pembiayaannya lebih kecil dari yang diprediksi.

Ndilalahnya, seiring waktu berjalan skema pembiayaannya pun ikut berjalan namun kearah yang berbeda. 

Mengutip laman resmi IKN. go.id, ternyata yang tercantum dalam situs tersebut komposisi penggunaan APBN untuk memindahkan ibukota baru menjadi 53,5 persen.

Artinya lebih dari setengah anggaran IKN itu dari APBN, tak seperti yang diucapkan Jokowi saat awal rencana pemindahan ibukota itu digulirkan.

Sementara sisanya, sebesar 46,5 persen akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta maupun dengan perusahaan-perusahaan  BUMN.

Informasi ini cukup menyesakan apalagi dalam situasi pandemi seperti saat ini. Kita masih jauh dari kata pulih secara sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang banyak menggerus tatanan ekonomi masyarakat.

Ini menjadi ironi, padahal pemerintah sendiri yang menyatakan bahwa ekonomi Indonesia belum akan sepenuhnya pulih hingga tahun 2027.

Terus, kenapa kok tiba-tiba APBN yang seharusnya digunakan untuk mengungkit ekonomi masyarakat malah digelontorkan untuk proyek IKN yang pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat belum terukur.

Dan satu hal lagi ini bukan kali pertama sebuah proyek raksasa yang dianggap sebagai simbol kemajuan Indonesia, awalnya dijanjikan tak banyak menggunakan anggaran dari APBN, ujungnya banyak menggunakan uang APBN juga.

Kereta Cepat Jakarta Bandung salah satunya, awalnya proyek tersebut murni bisnis to bisnis tak melibatkan keuangan pemerintah, seiring waktu salah satunya dengan alasan pandemi pemerintah terpaksa turun tangan dengan mengucurkan dana dari APBN senilai Rp 3,4 trilium untuk memback-up perusahaan BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut dengan bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).

Tak ada yang salah memang membangun berbagai infrastruktur termasuk IKN  yang nantinya potensial memberi nilai tambah bagi masyarakat, tapi mbo yah mengukur diri.

Ruang gerak APBN kita di masa pandemi ini sangat sempit, makanya harus digunakan skala prioritas.

Jika dipaksakan khawatirnya, anggaran untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi akan tersedot untuk proyek IKN.

Jika tidak disikapi secara benar, hal ini bisa menjadi masalah baru baik secara ekonomi, sosial bahkan politik.

Apabila  memang niat banget ingin mewujudkan pemindahan dan pembangunan IKN cari skema pembiayaan lain yang membebani APBM seminimal mungkin.

Misalnya dengan investasi asing  langsung, meskipun pastinya karena IKN bukan kawasan komersial para investor harus diberikan konsesi tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun