Ndilalahnya, seiring waktu berjalan skema pembiayaannya pun ikut berjalan namun kearah yang berbeda.Â
Mengutip laman resmi IKN. go.id, ternyata yang tercantum dalam situs tersebut komposisi penggunaan APBN untuk memindahkan ibukota baru menjadi 53,5 persen.
Artinya lebih dari setengah anggaran IKN itu dari APBN, tak seperti yang diucapkan Jokowi saat awal rencana pemindahan ibukota itu digulirkan.
Sementara sisanya, sebesar 46,5 persen akan menggunakan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), swasta maupun dengan perusahaan-perusahaan  BUMN.
Informasi ini cukup menyesakan apalagi dalam situasi pandemi seperti saat ini. Kita masih jauh dari kata pulih secara sosial ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang banyak menggerus tatanan ekonomi masyarakat.
Ini menjadi ironi, padahal pemerintah sendiri yang menyatakan bahwa ekonomi Indonesia belum akan sepenuhnya pulih hingga tahun 2027.
Terus, kenapa kok tiba-tiba APBN yang seharusnya digunakan untuk mengungkit ekonomi masyarakat malah digelontorkan untuk proyek IKN yang pengaruhnya terhadap perekonomian masyarakat belum terukur.
Dan satu hal lagi ini bukan kali pertama sebuah proyek raksasa yang dianggap sebagai simbol kemajuan Indonesia, awalnya dijanjikan tak banyak menggunakan anggaran dari APBN, ujungnya banyak menggunakan uang APBN juga.
Kereta Cepat Jakarta Bandung salah satunya, awalnya proyek tersebut murni bisnis to bisnis tak melibatkan keuangan pemerintah, seiring waktu salah satunya dengan alasan pandemi pemerintah terpaksa turun tangan dengan mengucurkan dana dari APBN senilai Rp 3,4 trilium untuk memback-up perusahaan BUMN yang terlibat dalam proyek tersebut dengan bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN).
Tak ada yang salah memang membangun berbagai infrastruktur termasuk IKN Â yang nantinya potensial memberi nilai tambah bagi masyarakat, tapi mbo yah mengukur diri.
Ruang gerak APBN kita di masa pandemi ini sangat sempit, makanya harus digunakan skala prioritas.