Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Artikel Utama

Belum Saatnya Menaikan Tarif KRL Jabodetabek demi Mengurangi PSO

13 Januari 2022   08:00 Diperbarui: 15 Januari 2022   08:00 699
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Warga menggunakan moda transportasi Kereta Rel Listrik Commuter Line untuk berbelanja di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. (Foto: KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Sebagai pengguna reguler Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek, kabar kenaikan tarif transportasi masal tersebut merupakan berita buruk.

Meskipun sebenarnya jika menilik dari kenaikan tarif yang terakhir dilakukan 7 tahun lalu,  ya pantas saja sih tarif KRL dinaikan.

Namun demikian, wacana kenaikan tarif KRL tersebut belum pasti, kenaikan tarif ini baru usulan dan kini tengah dalam tahap evaluasi Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kementerian Perhubungan.

Apabila rencana itu jadi, tarif baru yang konon katanya akan mulai berlaku April 2022, PT.KCI sebagai operator KRL Jabodetabek bakal menetapkan harga termurah menjadi Rp.5.000 untuk jarak paling dekat, naik 40 persen dari tarif sebelumnya yang sebesar Rp.3.000.

Harga tersebut untuk 25 km pertama, sementara setiap 10 km selanjutnya tarifnya masih akan tetap sama yakni sebesar Rp.1.000/ penumpang.

Angka kenaikan sebesar Rp. 2.000 untuk 25 km pertama itu mengacu hasil tiga studi analis Kemauan dan Kemampuan Membayar (ATP-WTP).

Ketiga studi analisis tersebut dilakukan atas kerjasama antara Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Kemenhub.

Dalam studinya tersebut, jumlah respondennya sebanyak 6. 841 yang tersebar di 5 stasiun utama di wilayah Jabodetabek yakni Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Serpong.

Hasilnya, menurut pihak Kemenhub kemampuan bayar atau ATP penumpang commuter line mencapai Rp.8.486, sedangkan kemauan membayarnya atau WTP Rp. 4.625.

Metode yang digunakan Kemenhub, untuk menghitung ATP adalah dengan mengaitkan pada besaran UMP di wilayah Jabodetabek.

Sedangkan untuk menghitung WTP atau kemauan membayar berdasarkan hasil survei langsung ke pengguna KRL. 

Oke lah, kita memahami tarif saat ini memang tarif yang sejak 7 tahun lalu belum berubah, sementara moda angkutan lain diluar KRL terutama yang berbasis online sudah beberapa kali mengalami penyesuaian.

Namun, pertanyaannya apakah waktunya sudah tepat untuk menaikan tarif transportasi yang merupakan backbone mobilitas masyarakat Jabodetabek  di tengah situasi pandemi Covid-19 yang membuat kapabilitas ekonomi masyarakat menurun?

Apalagi seperti yang dikatakan Kasubdit Pengembangan Jaringan Kemenhub Arif Anwar, alasan UTAMA rencana kenaikan tarif KRL ini untuk meringankan beban pemerintah dalam memberikan subsidi layanan publik atau Public Service Obligation (PSO).

Pasalnya, nilai PSO yang dikucurkan Pemerintah terus eskalatif sejak tahun 2017. Berdasarkan data PT.KCI, nilai PSO yang diberikan pemerintah pada tahun 2021 mencapai Rp.1,99 triliun naik 28,3 persen dari realisasi PSO 2020 yang sebesar Rp.1,55 triliun.

Angka tersebut juga naik 57,18 persen dibandingan dengan PSO  tahun 2017 yang nilainya Rp.1,26 triliun.

Sebenarnya, masih berdasarkan informasi dari KCI, jika mengacu nilai keekonomian yang dihitung KCI, tarif termurah per orang sebesar Rp. 14.981.

Jadi dengan tarif KRL termurah saat ini sebesar Rp.3.000, PSO yang diberikan oleh pemerintah Rp. 11.981 per orang sekali jalan.

Jadi intinya, rencana kenaikan ini bukan lantaran PT.KCI terancam merugi lantaran tarifnya kemurahan sementara biaya operasional meningkat.

Tanpa kenaikan tarif KRL pun, cashflow anak usaha perusahaan milik negara PT.KAI ini tak akan terganggu, toh selisih antara tarif keekonomian dan tarif yang berlaku saat ini ditutupi pemerintah sebagai bagian dari subsidi yang diberikan kepada rakyatnya.

Dengan demikian, menaikan tarif KRL Jabodetabek bukan hal yang sangat penting untuk segera dilaksanakan tanpa memerhatikan kondisi masyarakat yang perekonomiannya terganggu akibat pandemi Covid-19.

Hasil studi yang dilakukan oleh lembaga ekonomi SMERU dengan BAPPENAS yang dipublikasikan pada Maret 2021, karena Covid-19 setiap 10 orang Indonesia 1 orang diantaranya menjadi miskin, karena pandemi memang menghantam telak perekonomian masyarakat terutama kelas menengah bawah.

Dan kelas menengah bawah ini lah yang menjadi pengguna utama KRL Jabodetabek, itu fakta yang tak terlelakan tanpa harus melakukan survei sekalipun.

Menurut hasil riset yang sama, kondisi ini akan bertambah berat apabila Pemerintah tak mengeluarkan paket stimulus fiskal skala besar melalui Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Salah satunya ya dengan berbagai program perlindungan sosial bagi masyarakat rentan terdampak pandemi, baik bantuan sosial langsung secara tunai atau pun melalui subsidi atas harga barang dan jasa yang bisa dikontrol oleh pemerintah, seperti subsidi listrik untuk gol rumah tangga 450 VA dan 900 VA.

Kemudian bagi para pelaku ekonomi besar, subsidi pajak  diberikan pemerintah dan hal itu masih diberikan hingga saat ini meskipun besaran nilainya dikurangi.

Sementara bantuan langsung, mungkin kita familiar dengan program kartu pra kerja yang nilai anggarannya mencapai Rp.20 triliun.

Menjadi aneh, ketika tiba-tiba di tengah berbagai skema subsidi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat.

Kemenhub malah berusaha mengurangi PSO yang bersifat seperti subsidi itu diberikan kepada pengguna KRL yang notabenenya didominasi masyarakat kelas menengah bawah, yang secara alamiah menjadi sasaran subsidi pemerintah.

Mungkin kelihatannya angka kenaikan Rp.2.000 per sekali jalan itu tak terlalu besar, tapi coba kalikan 2 karena harus pulang pergi, kemudian kalikan lagi 25 hari, rata-rata mereka bekerja setiap bulannya.

Maka akan di dapat angka Rp.1.000.0000  per bulan yang harus dikeluarkan oleh pengguna KRL akibat kenaikan tarif KRL Jabodetabek.

Nilai uang sebesar itu dalam kondisi ekonomi tergerus pandemi Covid-19 sangat berarti sekali. 

Karena itulah saya sebagai salah satu pengguna KRL reguler yang setiap hari pulang dan pergi, tak setuju dengan rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek saat ini.

Dan pendapat yang sama juga dikemukakan oleh para pengguna KRL lain. Boleh lah naik tapi tidak saat ini.

Saya rasa, jika Presiden Jokowi mendengar rencana kenaikan tarif KRL ini tak akan setuju apalagi situasinya masih pandemi seperti ini.

Mungkin para roker dan anker perlu berteriak di media sosial dengan me-mention Jokowi, agar rencana kenaikan tarif KRL Jabodetabek ditunda.

Tunggulah hingga pandemi berakhir dan ekonomi masyarakat pulih kembali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun