Sedangkan untuk menghitung WTP atau kemauan membayar berdasarkan hasil survei langsung ke pengguna KRL.Â
Oke lah, kita memahami tarif saat ini memang tarif yang sejak 7 tahun lalu belum berubah, sementara moda angkutan lain diluar KRL terutama yang berbasis online sudah beberapa kali mengalami penyesuaian.
Namun, pertanyaannya apakah waktunya sudah tepat untuk menaikan tarif transportasi yang merupakan backbone mobilitas masyarakat Jabodetabek  di tengah situasi pandemi Covid-19 yang membuat kapabilitas ekonomi masyarakat menurun?
Apalagi seperti yang dikatakan Kasubdit Pengembangan Jaringan Kemenhub Arif Anwar, alasan UTAMA rencana kenaikan tarif KRL ini untuk meringankan beban pemerintah dalam memberikan subsidi layanan publik atau Public Service Obligation (PSO).
Pasalnya, nilai PSO yang dikucurkan Pemerintah terus eskalatif sejak tahun 2017. Berdasarkan data PT.KCI, nilai PSO yang diberikan pemerintah pada tahun 2021 mencapai Rp.1,99 triliun naik 28,3 persen dari realisasi PSO 2020 yang sebesar Rp.1,55 triliun.
Angka tersebut juga naik 57,18 persen dibandingan dengan PSO Â tahun 2017 yang nilainya Rp.1,26 triliun.
Sebenarnya, masih berdasarkan informasi dari KCI, jika mengacu nilai keekonomian yang dihitung KCI, tarif termurah per orang sebesar Rp. 14.981.
Jadi dengan tarif KRL termurah saat ini sebesar Rp.3.000, PSO yang diberikan oleh pemerintah Rp. 11.981 per orang sekali jalan.
Jadi intinya, rencana kenaikan ini bukan lantaran PT.KCI terancam merugi lantaran tarifnya kemurahan sementara biaya operasional meningkat.
Tanpa kenaikan tarif KRL pun, cashflow anak usaha perusahaan milik negara PT.KAI ini tak akan terganggu, toh selisih antara tarif keekonomian dan tarif yang berlaku saat ini ditutupi pemerintah sebagai bagian dari subsidi yang diberikan kepada rakyatnya.
Dengan demikian, menaikan tarif KRL Jabodetabek bukan hal yang sangat penting untuk segera dilaksanakan tanpa memerhatikan kondisi masyarakat yang perekonomiannya terganggu akibat pandemi Covid-19.