Dalam perjalanannya, setelah kemudian Suu Kyi dianggap pemimpin de facto Myanmar, militer mulai gelisah.
Di mata dunia Internasional, Suu Kyi sudah mulai mendapat kecaman terkait perlakukan pemerintah Myanmar yang secara de facto dipimpinnya terhadap suku Rohingya di wilayah Rakhine Myanmar Selatan yang mayoritas beragama muslim.
Suu Kyi sendiri terkesan menutup mata atas perlakuan militer Myanmar yang kejam terhadap suku Rohingnya.
Dalam beberapa kesempatan, Suu Kyi terkesan menghindari isu-isu terkait suku Rohingnya ini. Ketika mencapai puncaknya perlakuan buruk Pemerintah Myanmar terhadap suku Rohingya, penduduk dunia marah, berteriak agar anugerah Nobel perdamaian yang disandang Suu Kyi dicabut saja.
Suu Kyi dianggap tak bertindak sebagai seorang peraih nobel perdamaian, harapan masyarakat dunia sebenarnya terlalu berlebihan terhadap Suu Kyi, karena selain memang posisi militer masih sangat kuat di Myanmar.
Suu Kyi tak berbeda jauh dengan politisi biasa saja yang merindukan kekuasaan, ia hanya lah seorang wanita tua yang terobsesi dengan kekuasaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H