Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan dan Keagamaan serta Pentingnya Pendidikan Seksual Formal

17 Desember 2021   12:17 Diperbarui: 17 Desember 2021   13:05 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rentetan kasus kekerasan seksual yang terjadi belakangan sungguh sangat memprihatinkan, apalagi sebagian besar peristiwa itu terjadi di lembaga pendidikan dan keagamaan.

Masyarakat dibuat geram dengan laku tak senonoh Herry Wirawan pengasuh dan pengajar disebuah Pondok Pesantren di Bandung, yang melakukan pemerkosaan pada 12 santriwati yang rentang usianya antara 13-16 tahun.

Publik baru mengetahui peristiwa ini setelah kasusnya dilimpahkan ke pengadilan, dan menurut berbagai berita yang dilansir sejumlah media daring, kejadian pemerkosaan yang berlangsung selama kurun waktu 5 tahun terakhir tertutup rapih selama itu.

Alhasil ada santriwati yang sudah hamil bahkan dua diantaranya pernah hamil hingga 2 kali  dan secara keseluruhan telah melahirkan 9 orang anak.

Kemudian ada pula kasus  pencabulan yang melibatkan seorang pendeta sekaligus kepala sekolah bernama Benyamin Sitepu di Medan Sumatera Utara.

Seperti dilansir Kompas.com, ada 6 orang siswi yang bersekolah di sekolah yang dipimpinnya dan mereka masih di bawah umur diperlakukan tidak senonoh oleh pendeta ini.

Kasusnya kini tengah dalam persidangan dan sudah memasuki tahap tuntutan Jaksa, Benyamin dituntut oleh JPU 15 tahun penjara.

Kasus pencabulan ini terungkap pada Maret 2021, setelah seorang korbannya buka suara. Modus yang digunakan pelaku dalam menjalankan aksinya adalah dengan memanggil korban untuk datang ke ruangannya.

Dalam fakta persidangan, disebutkan ada beberapa korban yang diajak ke hotel dan rumahnya, bahkan salah satu diantaranya dipaksa untuk melakukan oral seks.

Kasus lain yang baru diketahui publik, muncul di Jombang, Jawa Timur. Seorang anak Kiai diduga mencabuli santriwati di Pesantren asuhan orang tuanya dan sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2019 lalu.

Namun, penyelidikan kasusnya berlarut lantaran anak Kiai tersebut tak pernah mau memenuhi panggilan polisi meski upaya paksa telah dilakukan.

Para santri  menghalang-halangi upaya paksa polisi, hingga pemeriksaan tak pernah terjadi. Bahkan kini tersangka menggugat praperadilan proses hukum kepolisian yang dilakukan terhadapnya.

Jika dicermati, kasus-kasus kekerasan seksual di Indonesia sebagain besar terjadi di lembaga pendidikan dan keagamaan.

Menurut sejumlah pakar kriminologi, hal itu bisa terjadi karena kesempatan berbuat di lingkungan tersebut memiliki peluang yang besar.

Struktur sosial yang kuat menjadi salah satu dasar kondisi seperti itu bisa terjadi.

Struktur sosial di sini berkaitan dengan budaya patron, orang-orang yang dianggap dihormati membuat orang disekitarnya menjadi sungkan sehingga kemauannya sulit ditolak.

Dengan demikian, struktur sosial di lembaga pendidikan dan keagamaan memungkinkan murid dan penganutnya yang posisinya berada "dibawahnya" menjadi tak memiliki kekuatan untuk menolak keinginannya.

Selain itu, ada stigma karena mereka pendidik atau ulama adalah seorang tokoh yang patut dupercayai, jadi ketika ada isu negatif terhadapnya, terutama untuk kasus-kasus kekerasaan seksual jarang yang mempercayainya.

Apalagi korbannya kebanyakan anak-anak dan anak menjelang dewasa alias remaja. Siapa yang akan lebih dipercayai, pastilah sang tokoh itu.

Fenomena ini berkaitan dengan relasi kuasa yang timpang.  Posisi pelaku powerfull sementara korban posisinya powerless.

Oleh sebab itu, salah satu hal yang paling penting untuk menghindari peristiwa kekerasan seksual, anak-anak dan remaja mendapat pemahaman yang cukup terkait edukasi seks dengan bahasa yang mudah dipahami dan dapat diterima dengan baik oleh dirinya.

Selain tentu saja peran pemerintah dan parlemen sangat dibutuhkan untuk membuat regulasi terkait perlindungan terhadap kekerasan seksual.

Kendati untuk hal yang satu ini sepertinya cukup berat prosesnya, bahkan hingga kini RUU TPKS belum juga bisa dibahas di paripurna untuk disahkan.

Jadi mungkin lebih baik digencarkan saja urusan pendidikan seksual.

Dalam hal pendidikan seksual, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan agar pendidikan seksual masuk dalam format pendidikan formal dengan pendekatan berbasis Hak Azasi Manusia.

Melalui pendekatan ini, menekankan betapa pentingnya menempatkan consent atau persetujuan dan etika yang berhubungan dengan orang lain sebagai fondasi kurikulumnya.

Ada 8 bahasan dalam modul pembelajaran pendidikan seksual yang dirilis oleh WHO yang disebut Comprehensive Sexuality Education,yakni:

Relationship kemudian  nilai atau norma, hak, dan  budaya. Ketiga, pengertian gender, keempat, kekerasan dan cara untuk aman.

Kelima, pengetahuan tentang kesehatan dan mengetahui cara hidup dengan baik.

Keenam, pemgetahuan anatomi tubuh dan perkembangannya. Ketujuh,seksualitas dan sexual behaviour. 

Dan terakhir, kedelapan hubungan seks dan kesehatan reproduksi.

Kedelapan elemen yang dirilis oleh WHO  ini lah yang bisa dijadikan dasar untuk membuat kurikulum pendidikan seksual  formal di sekolah-sekolah.

Meskipun, sepertinya pendidikan seksual secara komprehensif seperti ini masih jauh untuk bisa dilakukan di Indonesia.

Sexual matter lebih banyak dikaitkan dengan urusan moralitas  di Indonesia ini. 

Dengan demikian sepertinya keluarga lah yang menjadi sandaran bagi anak-anak untuk mendapatkan pendidikan, meskipun hal itu pun jarang dilakukan karena dianggap tabu.

Akibatnya, peristiwa-peristiwa kekerasan seksual terus bermunculan, itu pun fenomena gumung es lantaran menurut sejumlah sumber referensi,  90 persen  kasus kekerasan seksual tak pernah terekspose dan tertangani dengan baik.

Harapannya, inklusivitas pendidikan seksual termasuk melalui pendidikan formal harus terus disosialisasikan agar peristiwa-peristiwa kekerasan seksual bisa dieleminir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun