Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Rokok Kembali Naik Tahun Depan, Waktu yang Tepat untuk Setop "Ngebul"

14 Desember 2021   11:26 Diperbarui: 15 Desember 2021   11:45 1400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi para perokok siap-siap saja merogoh kocek lebih dalam apabila masih tetap ingin menghisap asap hasil pembakaran racikan tembakau kegemarannya.

Pasalnya mulai 1 Januari 2022, harga rokok akan kembali naik akibat kebijakan pemerintah menaikan cukai hasil tembakau (CHT) rata-rata sebesar 12 persen.

Sedikit lebih rendah dari kenaikan CHT tahun 2021 lalu yang rata-rata 12,5 persen.

Tentu saja besaran kenaikan yang ditetapkan pemerintah ini sudah mempertimbangkan sejumlah aspek.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati seperti dilansir Kompas.com, ada 4 aspek yang menjadi pertimbangan dalam menaikan CHT.

Pertama, untuk mengendalikan konsumsi rokok khususnya dikalangan anak dan remaja. Selain itu secara ekonomi pengendalian konsumsi rokok untuk melindungi sisi ekonomi masyarakat kurang mampu.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), memang prevelansi jumlah perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun pada kurun waktu 2018 hingga 2020 terus mengalami penurunan, pada 2019 turun sebesar 3,87 persen dan 3,81 pada 2020.

Namun hal ini belum cukup, lantaran pemerintah sebenarnya berharap penurunannya bisa lebih signifikan, makanya Pemerintah melalui politik cukai berusaha mengendalikan konsumsi rokok lebih agresif lagi.

Mengenai dampak ekonomi terhadap masyarakat miskin, hal itu bisa terjadi, lantaran berpijak pada data yang menyatakan bahwa di desa-desa rokok merupakan barang yang paling sering dibeli setelah beras, yakni sebesar 11,2 persen.

Mengalahkan konsumsi rumah tangga miskin dalam membeli telur dan ayam yang sebenarnya secara kesehatan lebih dibutuhkan keluarga sebagai salah satu sumber protein hewani yang paling terjangkau harganya.

"Sehingga rokok menjadikan masyarakat menjadi miskin dan tidak sehat secara bersamaan" ujar SMI.

Dari sisi kesehatan, rokok dapat memicu risiko stunting pada anak dan memperberat risiko terkena Covid-19 dan penyakit lainnya.

Selain itu, upaya menurunkan prevelansi merokok pada anak dan remaja  merupakan salah satu indikator kesehatan manusia Indonesia seperti yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024.

Jika demikian kenapa tidak Pemerintah menaikan cukai rokok hingga rata-rata  50 persen atau 100 persen saja misalnya.

Lantaran faktanya menurut data yang dirilis oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, meskipun tahun 2020 lalu cukai rokok dinaikan rata-rata 12,5, industri rokok hingga bulan September 2021 masih menikmati pertumbuhan sebesar 4,3 persen.

Angka ini terindikasi dari pemesanan pita cukai yang mencapai 236 miliar batang, naik dari tahun sebelumnya yang sebanyak 226,25 miliar batang.

Terus kenapa Pemerintah tak menaikan saja cukai itu setinggi-tingginya?

Pemerintah menyadari jika itu dilakukan maka banyak pihak yang berada di industri pengolahan tembakau akan "mati".

Dan efek secara ekonomi akan terasa oleh masyarakat dan perekonomian nasional secara keseluruhan, bahkan mungkin saja berimbas menjadi masalah sosial dan politik

Makanya poin kedua dalam membuat kebijakan menaikan CHT adalah mempertimbangkan aspek tenaga kerja, baik petani tembakau maupun para pekerja di sektor industri tembakau.

Suka atau tidak pemerintah dihadapkan pada fakta banyak mulut dan perut yang tergantung pada sektor industri tembakau.

Menurut laporan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) pada tahun 2019 ada sekitar 7,1 juta orang yang bekerja di sektor industri ini.

Sementara menurut Data Kementerian Perindustrian, jumlah pekerja yang berkutat disektor pengolahan tembakau dan segala turunannya pada tahun yang sama ada sebanyak 5,99 juta orang.

Dari jumlah tersebut 4,28  juta orang diantaranya berada di Industri manufaktur CHT dan 1,71 juta orang disektor perkebunan tembakau.

Pada tahun 2020 menurut survei yang dilakukan oleh Tim Riset Forum for Socio Economic Studies (Foses), setelah kenaikan cukai ditetapkan Pemerintah, jumlah tenaga kerja di sektor industri rokok menurun 4,6 persen dibanding sebelumnya menjadi 5,8 juta orang.

Dengan rincian, 2,3 juta orang diantaranya merupakan petani tembakau, 1,1 juta orang petani cengkeh, 330 ribu tenaga kerja produksi, dan  2 juta orang pada bisnis pendistribusian dan ritel hasil industri tembakau.

Sementara dalam saat bersamaan total pekerja disektor manufaktur secara keseluruhan naik dari 6,5 persen menjadi 9 persen.

Jadi besar kemungkinan ada shifting dari industri hasil tembakau ke industri manufaktur lain, dan ini kabar yang cukup menggembirakan meski tak terlalu signifikan besarannya, paling tidak trendnya menunjukan sisi positif dalam mengurangi ketergantungan ekonomi pada industri hasil tembakau.

Ketiga, kenaikan cukai rokok itu terkait dengan penerimaan negara seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang APBN2022 yang target penerimaannya mencapai Rp.193 triliun.

Keempat, dalam kenaikan ini salah satu hal lain yang menjadi bahan pertimbangan adalah aspek pengawasan barang kena cukai, lantaran semakin tinggi harga maka semakin besar pula potensi terjadinya produksi rokok tanpa cukai yang ilegal.

Kendati demikian, kenaikan cukai hasil tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah ini kerap kali tak memuaskan pihak-pihak yang bergerak dalam kampanye anti-tembakau.

Pemerintah dianggap kurang agresif dalam mengendalikan konsumsi rokok, terlalu berpihak pada industri rokok, atau lebih jauh lebih mementingkan ekonomi nasional dibandingkan dengan kesehatan masyarakat.

Padahal pemerintah pada dasarnya mencoba mencari jalan tengah terbaik, agar semua kepentingan bisa terakomodasi, sektor kesehatan bisa lebih terkendali, tetapi dalam saat bersamaan industrinya pun tak hancur lebur.

Harus diingat pula, politik cukai yang ditetapkan oleh pemerintah untuk industri-industri tertentu yang merugikan kesehatan seperti industri  rokok ini, bukan satu-satunya instrumen yang dapat menurunkan prevelansi perokok di Indonesia.

Pemerintah bisa saja menaikan harga rokok hingga 100 persen misalnya, pertanyaannya apakah itu akan efektif untuk menurunkan jumlah perokok secara signifikan? belum tentu juga.

Industri rokok akan bereaksi ia akan memproduksi rokok dengan harga murah, dan para perokok yang memang sudah kecanduan akan shifting jenis rokoknya menjadi jenis rokok yang lebih murah dan terjangkau oleh mereka.

Lebih parahnya lagi rokok-rokok ilegal yang tak bercukai dan tanpa standar industri yang jelas bakal bermunculan, akibatnya penerimaan negara tekor, jumlah perokok tak berkurang juga secara signifikan, dan besar kemungkinan penyakit akibat rokok akan makin merebak, karena kualitas rokoknya menjadi tak terkontrol.

Jadi, butuh peran serta kita semua termasuk dalam hal mengedukasi masyarakat perokok dan calon perokok secara lebih masif, terhadap bahaya merokok.

Saya sebagai perokok tahu persis bagaimana susahnya ingin berhenti merokok, bukan tak paham akan bahayanya, tetapi adiksi yang cukup panjang tadi membuat berhenti merokok itu sangat susah.

Jadi butuh usaha bersama agar prevelansi perokok terus menurun, dan masyarakat bisa lebih sehat.

Berikut harga jual eceran (HJE) rokok per batang dan per bungkus rokok per 1 Januari 2020 setelah kenaikan sebesar rata-rata 12 persen seperti dilansir situs Kemenkeu.go.id.

Golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) yang memiliki pangsa pasar hingga 75 persen menjadi salah satu yang mengalami kenaikan tertinggi yakni:

SKM golongan I kenaikan 13,9 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.905 atau Rp. 38.100 per bungkus.
SKM golongan IIA kenaikan 12,1 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.140 atau Rp. 22.800 per bungkus.
SKM golongan IIB kenaikan 14,3 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.140 atau Rp. 22.800 per bungkus.

Golongan Sigaret Putih Mesin (SPM), yang memiliki pangsa pasar 4,3 persen.

SPM golongan I kenaikan 13,9 persen, HJE per batang menjadi Rp. 2.004 atau Rp. 40.100 per bungkus.
SPM golongan IIA kenaikan 12,4 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.135 atau Rp. 22.700 per bungkus.
SPM golongan IIB kenaikan 14,4 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.135 atau Rp. 22.700 per bungkus.

Golongan Sigaret Kretek Tangan (SKT) pangsa pasar 19 persen.

SKT golongan IA kenaikan 3,5 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.635 per batang atau Rp. 32.700 per bungkus.
SKT golongan IB kenaikan 4,5 persen, HJE per batang menjadi Rp. 1.135 per batang atau Rp. 22.700 per bungkus.
SKT golongan II kenaikan 2,5 persen, HJE per batang menjadi Rp. 600 per batang atau Rp. 12.000 per bungkus.
SKT golongan III kenaikan 4,5 persen, HJE per batang menjadi Rp. 505 per batang atau Rp. 10.100 per bungkus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun