Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Puan Maharani Mengejar Elektabilitas dengan Wahana Simulacra

16 November 2021   10:56 Diperbarui: 16 November 2021   11:09 677
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puan Maharani Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI), putri biologis dan ideologis Presiden ke-5 Indonesia yang juga Ketua Umum PDI-P Megawati Sukarno Putri, dengan demikian berarti Puan adalah Cucu Proklamator sekaligus Presiden Indonesia pertama Ir. Sukarno.

Itu fakta yang tak terbantahkan, tentu saja sebagai seorang "bangsawan politik" di sebuah negara berkembang seperti Indonesia, sejak lahir Puan yang berayahkan Taufik Kemas ini sudah mendapatkan privilege.

Dengan privilege itu asumsinya Puan sudah hidup berkecukupan sejak ia dilahirkan, hal ini membuat saya membayangkan bahwa masa kecil Puan tidaklah seperti kebanyakan masyarakat Indonesia.

Jika anak jelata seperti saya lumrah berenang di kali, bermain di sekitar ladang dan sawah, Puan mungkin cukup jauh dari pengalaman itu semua.

Makanya ketika Puan Maharani terlihat  "Awkward" saat berpose layaknya petani yang sedang menanam padi di sawah yang berada di wilayah Sendangmulyo Godean Sleman pekan lalu, saya bisa paham.

Di tengah situasi hujan rintik-rintik, Puan Maharani menunjukan potongan fotonya bersama dua petani sambil berlagak menanam padi.

Foto ini pun kemudian diupload menjadi sebuah berita yang kemudian tesebar di media sosial dengan caption "Ditengah Hujan, Puan Tanam Padi dan Semangati Petani Milenial"

Sesaat setelah itu, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengomentari berita ini "Biasanya petani menanam padi tidak hujan-hujanan" cuit Susi melalui akun Twitternya @SusiPudjiastuti.

Sontak saja sindiran Susi terhadap Puan ini menjadi bahan baku netizen yang budiman untuk melancarkan sentimen negatif terhadap Puan Maharani.

Seperti biasa, beberapa pihak ada yang mencoba membela Puan, meskipun tentu saja lebih banyak yang mencela gaya tim komunikasi mem-branding Puan agar terlihat "merakyat" ini.

Ya, gimana lagi memang personal branding yang coba disematkan pada Puan ini memang kurang pas dari representasi Puan yang berlagak menjadi petani di postingan tersebut.

Dan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi tim komunikasi dan pembentuk citra Puan Maharani dalam menyambut Pemilu 2024 yang akan datang.

Bukan kali ini saja sebenarnya Tim Komunikasi Puan gagal "membranding" Puan agar memiliki elektabilitas yang moncer dalam menghadapi Pemilu 2024.

Dalam kesempatan lain, tentunya kita semua ingat "Serangan udara" melalui pemasangan baliho di sejumlah titik di berbagai kota dengan pesan yang salah satunya "Kepak Sayap Kebhinekaan".

Ketika baliho belum mampu jua membuat elektabilitas Puan terkerek naik. Upaya lain seperti foto dengan petani, memborong dagangan para pelaku usaha UMKM di Yogyakarta dan Banyuwangi sepertinya menjadi pilihan lain yang harus dilakukan Puan agar mempertajam penetrasi "pasar".

Seperti dilansir banyak media, baliho-baliho bergambar Puan yang berjumlah ribuan itu malah berakhir menjadi kontraproduktif bagi elektabilitas Puan, meskipun ada kenaikan di sisi popularitas seperti dirilis survei yang dilakukan sejumlah lembaga.

Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhan Muhtadi, baliho-baliho Puan kurang mampu membawa dampak positif bagi elektabilitas Puan kecuali bagi popularitasnya.

Burhan menambahkan Puan Maharani memang semakin populer tetapi tingkat kesukaan publik kepadanya justru semakin menurun.

Upaya "pencitraan" Puan "di darat dan Udara" ini alih-alih mendapat respon positif dari publik malah banyak mendapat cibiran.

Sebenarnya tak ada yang salah dengan upaya pencitraan tersebut dan memang hingga tingkat tertentu bisa meningkat elektabilitas asal dilakukan secara genuine dan pemilihan momentumnya harus tepat.

Pencitraan yang terlalu berlebihan tak sesuai dengan karakter dan kebiasaan Puan seperti menanam padi yang selama ini tak terlihat pernah dilakukannya justru akan menjadi lelucon publik.

Mungkin "pencitraan" ala Jokowi yang dikenal dengan blusukan itu bisa berhasil apabila Jokowi yang melakukannya, lantaran latar belakang dia memang dari kalangan biasa yang pada dasarnya kehidupan awalnya sudah sederhana jadi secara gestur dan pembawaan terlihat "asli", berbeda dengan Puan Maharani yang sudah dikenal sejak awal sebagai keluarga "bangsawan politik" Indonesia yang terlahir sudah menikmati berbagai keistimewaan.

Seharusnya Puan Maharani bersama Tim-nya mencari cara lain agar elektabilitasnya terkerek naik, tanpa terjebak realitas semu ala Politik Simulacra.

Simulacra secara etimologis berasal dari bahasa Latin Simulakrum yang memiliki arti Gambar atau citra. Terminologi ini dilontarkan oleh seorang tokoh besar cultural studies post modern asal Perancis Jean Baudrillard untuk menggambarkan realitas semu 

Dalam bukunya bertajuk "Simulacra and Simulations" yang diterbitkan pada tahun 1981, Baudrillard menuliskan bahwa manusia di abad kontemporer saat ini hidup di dunia Simalucra.

Mereka hidup di dunia yang penuh simulasi, hampir tak ada yang nyata diluar dunia simulasi tersebut, tak ada yang asli lagi bahkan hanya sekedar untuk dapat ditiru, semuanya absurd.

Kebudayaan industri menyamarkan jarak antara fakta dan informasi, antara informasi dan entertainment, antara entertainment dan kepentingan politik.

Publik tidak sadar akan pengaruh citra, hal ini membuat masyarakat kerap kali mencoba hal yang baru yang ditawarkan oleh wahana simulacra.

Di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang dahsyat saat ini, realitas telah hilang dan kebenaran seringkali menguap. Realitas tidak hanya diceritakan, direpresentasikan, dan disebarluaskan, tetapi kini dapat direkayasa, dibuat dan dicitrakan. 

Realitas buatan ini bercampur-baur, silang sengkarut menandakan datangnya episode baru dinamika manusia topeng. Simulacra telah mengaburkan dan mengikis perbedaan antara yang nyata dengan yang imajiner, yang benar dengan yang palsu. 

Seperti halnya di Indonesia yang memasuki era politik simulacra, dalam hal ini Politik yang diproduksi oleh sebuah industri komunikasi massa yang mengaburkan fakta melalui konstruksi realitas semu secara masif. Sebuah episode industri politik yang menghadirkan segala sesuatu melalui proses pencitraan yang masif.

Kondisi ini telah jauh masuk dalam logika percaturan politik elektabilitas di Indonesia, dalam rangka meraup suara dari para pemilih. Termasuk di dalamnya seperti yang dilakukan Puan saat ia berpotret dengan gaya ala-ala petani.

Terlihat jelas ia ingin mencitrakan dirinya dekat dengan "dunia" wong cilik, sehingga wong cilik yang merupakan masyarakat kebanyakan di Indonesia berminat untuk memilihnya sebagai jagoan dalam Pemilu 2024 kelak.

Namun, harus diingat masyarakat saat ini mulai well informed dengan akal-akalan pencitraan berbalut wahana simulacra seperti ini.

Jika ingin efektif menaikan elektabilitasnya, Puan harus bergerak sesuai kapabilitas, karakter, dan latar belakangnya.Misalnya sebagai Ketua DPR-RI buatlah kebijakan-kebijakan pro-rakyat yang tak terkesan elitis.

Awasi kerja-kerja pemerintah dengan benar dan penuh tanggung jawab, tunjukan itu pada publik dan hasilnya pun memang nyata. Bukan dengan menggunakan wahana simulacra seperti turun ke sawah terlihat seolah-olah seperti petani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun