Dan ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi tim komunikasi dan pembentuk citra Puan Maharani dalam menyambut Pemilu 2024 yang akan datang.
Bukan kali ini saja sebenarnya Tim Komunikasi Puan gagal "membranding" Puan agar memiliki elektabilitas yang moncer dalam menghadapi Pemilu 2024.
Dalam kesempatan lain, tentunya kita semua ingat "Serangan udara" melalui pemasangan baliho di sejumlah titik di berbagai kota dengan pesan yang salah satunya "Kepak Sayap Kebhinekaan".
Ketika baliho belum mampu jua membuat elektabilitas Puan terkerek naik. Upaya lain seperti foto dengan petani, memborong dagangan para pelaku usaha UMKM di Yogyakarta dan Banyuwangi sepertinya menjadi pilihan lain yang harus dilakukan Puan agar mempertajam penetrasi "pasar".
Seperti dilansir banyak media, baliho-baliho bergambar Puan yang berjumlah ribuan itu malah berakhir menjadi kontraproduktif bagi elektabilitas Puan, meskipun ada kenaikan di sisi popularitas seperti dirilis survei yang dilakukan sejumlah lembaga.
Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhan Muhtadi, baliho-baliho Puan kurang mampu membawa dampak positif bagi elektabilitas Puan kecuali bagi popularitasnya.
Burhan menambahkan Puan Maharani memang semakin populer tetapi tingkat kesukaan publik kepadanya justru semakin menurun.
Upaya "pencitraan" Puan "di darat dan Udara" ini alih-alih mendapat respon positif dari publik malah banyak mendapat cibiran.
Sebenarnya tak ada yang salah dengan upaya pencitraan tersebut dan memang hingga tingkat tertentu bisa meningkat elektabilitas asal dilakukan secara genuine dan pemilihan momentumnya harus tepat.
Pencitraan yang terlalu berlebihan tak sesuai dengan karakter dan kebiasaan Puan seperti menanam padi yang selama ini tak terlihat pernah dilakukannya justru akan menjadi lelucon publik.
Mungkin "pencitraan" ala Jokowi yang dikenal dengan blusukan itu bisa berhasil apabila Jokowi yang melakukannya, lantaran latar belakang dia memang dari kalangan biasa yang pada dasarnya kehidupan awalnya sudah sederhana jadi secara gestur dan pembawaan terlihat "asli", berbeda dengan Puan Maharani yang sudah dikenal sejak awal sebagai keluarga "bangsawan politik" Indonesia yang terlahir sudah menikmati berbagai keistimewaan.