Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Motif Politik Penolak Permendibud Kekerasan Seksual dengan Dasar Logical Fallacy

13 November 2021   14:12 Diperbarui: 13 November 2021   14:22 671
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya tiap hari naik kereta jurusan Bogor ke Kota untuk turun di stasiun Juanda, jurusan Bogor-Kota ini berbeda dengan jurusan Bogor- Muara Angke, jika kita mau turun di Sudirman maka KRL yang harus kita naiki jurusan Bogor- Angke.

Nah, mereka yang menentang aturan itu adalah mereka yang ingin bertujuan Juanda tapi mereka menggunakan KRL jurusan Bogor-Angke, alih-alih transit di Manggarai kemudian berpindah kereta ke jurusan Bogor -Kota mereka malah memilih memaksa masinis kereta jurusan Bogor-Angke mengarahkan KRL-nya ke jurusan Bogor-Kota.

Artinya kalau mau ngomong pelarangan atau legalisasi zina, ya ngomongnya di aturan lain bukan di Permendikbud no 30 ini.

Jadi point-nya membahas, berdebat atau beradu argumen suatu isu dengan menggunakan isu lain sebagai bahan untuk menggugakat isu yang tak satu rumpun pembahasannya merupakan fallacy atau kesesatan argumen yang tak nyambung sama sekali alias jaka sembung bawa golok.

Selain tak nyambung, fallacy yang terjadi dalam gugatan kelompok penentang Permendikbud itu adalah proportional fallacy lantaran mereka pun kemudian menstigma siapapun yang mendukung Permendikbud tersebut sebagai pendukung perzinahan.

Ketika Permendikbud tersebut tak mengatur hubungan seksual di luar nikah bukan berarti mendukung atau melegalisasi hubungan zina tersebut.

Intinya zina is one thing pencegahan kekerasan seksual is the other thing, gitu loh. Jadi jika pikiran para penolak Permendibud itu sebaliknya berarti logikanya melompat jauh 

Tapi sayangnya karena argumennya tadi diselimuti oleh sentimen religius, sentimen moralitas logical fallacy yang mereka bangun banyak yang mempercayai, yang akhirnya Permendikbud itu menjadi polemik.meskipun sebenarnya tak layak disebut polemik lantaran itu hanyalah penyesatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun