Saya tiap hari naik kereta jurusan Bogor ke Kota untuk turun di stasiun Juanda, jurusan Bogor-Kota ini berbeda dengan jurusan Bogor- Muara Angke, jika kita mau turun di Sudirman maka KRL yang harus kita naiki jurusan Bogor- Angke.
Nah, mereka yang menentang aturan itu adalah mereka yang ingin bertujuan Juanda tapi mereka menggunakan KRL jurusan Bogor-Angke, alih-alih transit di Manggarai kemudian berpindah kereta ke jurusan Bogor -Kota mereka malah memilih memaksa masinis kereta jurusan Bogor-Angke mengarahkan KRL-nya ke jurusan Bogor-Kota.
Artinya kalau mau ngomong pelarangan atau legalisasi zina, ya ngomongnya di aturan lain bukan di Permendikbud no 30 ini.
Jadi point-nya membahas, berdebat atau beradu argumen suatu isu dengan menggunakan isu lain sebagai bahan untuk menggugakat isu yang tak satu rumpun pembahasannya merupakan fallacy atau kesesatan argumen yang tak nyambung sama sekali alias jaka sembung bawa golok.
Selain tak nyambung, fallacy yang terjadi dalam gugatan kelompok penentang Permendikbud itu adalah proportional fallacy lantaran mereka pun kemudian menstigma siapapun yang mendukung Permendikbud tersebut sebagai pendukung perzinahan.
Ketika Permendikbud tersebut tak mengatur hubungan seksual di luar nikah bukan berarti mendukung atau melegalisasi hubungan zina tersebut.
Intinya zina is one thing pencegahan kekerasan seksual is the other thing, gitu loh. Jadi jika pikiran para penolak Permendibud itu sebaliknya berarti logikanya melompat jauhÂ
Tapi sayangnya karena argumennya tadi diselimuti oleh sentimen religius, sentimen moralitas logical fallacy yang mereka bangun banyak yang mempercayai, yang akhirnya Permendikbud itu menjadi polemik.meskipun sebenarnya tak layak disebut polemik lantaran itu hanyalah penyesatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H