Polemik Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Pendidikan Tinggi (Permendikbudristekdikti) nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual terus berlanjut.
Polemik ini berawal dari penolakan dari PKS terhadap salah satu pasal yang ada di Permendikbud tersebut, langkah penolakan  yang kemudian diikuti oleh ormas Muhammadiyah dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan ramai diperbincangkan di media sosial lantaran oleh mereka yang menolak dianggap "menghalalkan zina".
Saya mulai melihat polemik yang diciptakan oleh PKS, Muhammadiyah, dan MUI ini tak lagi murni menyoal Permendikbud no 30 tahun 2021 itu melainkan membangun narasi politik.
Dalih PKS dan kawan-kawan beserta antek-anteknya menolak Permendikbud yang sebenarnya untuk mencegah kekerasan seksual yang kerap terjadi di kampus-kampus perguruan tinggi, lantaran ada frasa "tanpa persetujuan korban".
Frasa ini kemudian mereka anggap sebagai upaya melegalkan zinah, jadi menurut logika mereka jika kedua belah pihak bersetuju maka zina otomatis bisa terjadi dan disetujui.
Logika yang sesat atau logical fallacy jika cara berpikirnya seperti itu. Dalam sebuah perdebatan di ruang publik hendaknya kita berpegang pada hukum logika untuk memastikan argumentasi yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam hal logical fallacy, ada beberapa jenisnya yang terkadang membawa kita tersesat dalam perdebatan yang sebenarnya masalah tersebut tak perlu diperdebatkan apalagi menjadi sebuah polemik yang berkepanjangan seperti isu Permendikbud ini.
Ketika polemik itu lahir dari pemikiran fallacy maka perdebatan itu sudah tidak sehat lagi dan semestinya sudah selesai.
Nah, dalam hal Permendikbudristek PPKS pihak yang menentang terbitnya aturan ini  logika penolakannya mengandung fallacy yang jelas.
Mari kita telusuri alasan pembentukan aturan tentang pencegahan kekerasan seksual ini berangkat dari banyaknya fakta kasus kekerasan seksual di kampus-kampus.
Terakhir yang ramai jadi bahan perbincangan adalah kasus mahasiswi yang mengaku dilecehkan oleh dosen pembimbingnya di Universitas Riau (Unri).
Sebenarnya kalau kita mau jujur kekerasan seksual secara merata hampir disetiap tingkatan pendidikan di Indonesia.
Kejadian seperti itu selama ini tak mampu tertangani dengan baik dan hak-hak korbannya kerap tak terpenuhi.
Agar kekerasan seperti itu tak terus berulang makanya lahirlah Permendikbud nomor 30, mengapa harus seperti itu karena sarana pendidikan baik kampus maupun sekolah merupakan ruang interaksi publik yang seharusnya menjadi tempat yang aman dari semua bentuk kekerasan terutama kekerasan seksual.
Padahal ditempat seperti kampus atau sekolah selalu memiliki interaksi yang berkait dengan relasi kuasa.
Antara pihak-pihak yang powefull dengan powerless dalam hal ini antara dosen dsngan mahasiswanya atau murid dengan gurunya yang jelas sekali relasi kuasanya.
Atau juga antar sesama mahasiswa atau murid dengan relasi senioritasÂ
Dengan demikian konsep dalam relasi kuasa, potensi terjadi kekerasan seksual selalu dalam posisi terbuka bahkan bisa jadi sangat tinggi potensinya.
Harus diingat pula, dalam relasi kuasa seperti yang saya cuplik dari sejumlah sumber bacaan cara pandang terhadap kekerasan seksual seolah dianggap wajar, tak dianggap penting  atau lebih parah lagi bisa malah berbalik arah menyalahkan si korban atau blamming victims.
Kondisi ini bisa lebih akut terjadi apabila pandangan yang dalam konsep relasi kuasa ini mengarah pada patriachal prespective.
Faktor inilah yang membuat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menghadapi tantangan yang cukup probelmatik.
Harus diakui, kita dan mungkin sebagian besar negara di dunia  memang belum memiliki sistem pencegahan kekerasan seksual yang efektif, hingga mampu mengeliminir kekerasan seksual hingga tingkat yang minimal.
Jika kekerasan seksual terjadi penanganannya pun kerap tak memadai, tak sensitif dan pro korban.
Trauma korban pelecehan seksual pun tak terpulihkan dengan layak akibat post trauma treatment-nya  sangat tak memadai.
Atas dasar-dasar itu kita tahu ada kebutuhan untuk membuat aturan yang bisa meminimalisasi kejadian kekerasan seksual maka lahirnya Permendikbud nomor 30 tahun 2021 tentang pencegahan kekeraasan seksual tersebut.
Nah sekarang para pihak yang menentang aturan baru tersebut, argumen ketidaksetujuannya itu out of context alias tidak nyambung atau dalam logical fallacy termasuk dalam jenis ignoratio elenchi.
Apakah mereka yang menentang Permendikbud 30 ini tak memahami bahwa argumentasi mereka mengandung fallacy yang kental?
Saya kira mereka paham betul, namun karena ada misi tertentu dibalik penentangannya itu apalagi hal tersebut dikait-kaitkan dengan urusan agama masalahnya jadi ramai maka mereka memperoleh panggung secara politik.
Kenapa demikian?
Lantaran isu kekerasan seksual yang menjadi dasar keluarnya aturan Permendikbud nomor 30 itu sama sekali tak berhubungan dengan legalisasi zina seperti argumen mereka.
Garis antara kedua isu itu legaisasi zina dan pencegahan kekerasan seksual itu tak linier alias zig zag.
Akarnya berbeda, ruang pembahasannya pun lain tapi mereka yang berada di pihak yang menentang Permindikbud 30 itu berusaha keras agar isu tersebut dibikin linier dan berkaitan.
Analoginya begini, karena saya merupakan pengguna KRL Jabodetabek saya akan analogikan ke dalam sebuah perjalanan kereta.
Saya tiap hari naik kereta jurusan Bogor ke Kota untuk turun di stasiun Juanda, jurusan Bogor-Kota ini berbeda dengan jurusan Bogor- Muara Angke, jika kita mau turun di Sudirman maka KRL yang harus kita naiki jurusan Bogor- Angke.
Nah, mereka yang menentang aturan itu adalah mereka yang ingin bertujuan Juanda tapi mereka menggunakan KRL jurusan Bogor-Angke, alih-alih transit di Manggarai kemudian berpindah kereta ke jurusan Bogor -Kota mereka malah memilih memaksa masinis kereta jurusan Bogor-Angke mengarahkan KRL-nya ke jurusan Bogor-Kota.
Artinya kalau mau ngomong pelarangan atau legalisasi zina, ya ngomongnya di aturan lain bukan di Permendikbud no 30 ini.
Jadi point-nya membahas, berdebat atau beradu argumen suatu isu dengan menggunakan isu lain sebagai bahan untuk menggugakat isu yang tak satu rumpun pembahasannya merupakan fallacy atau kesesatan argumen yang tak nyambung sama sekali alias jaka sembung bawa golok.
Selain tak nyambung, fallacy yang terjadi dalam gugatan kelompok penentang Permendikbud itu adalah proportional fallacy lantaran mereka pun kemudian menstigma siapapun yang mendukung Permendikbud tersebut sebagai pendukung perzinahan.
Ketika Permendikbud tersebut tak mengatur hubungan seksual di luar nikah bukan berarti mendukung atau melegalisasi hubungan zina tersebut.
Intinya zina is one thing pencegahan kekerasan seksual is the other thing, gitu loh. Jadi jika pikiran para penolak Permendibud itu sebaliknya berarti logikanya melompat jauhÂ
Tapi sayangnya karena argumennya tadi diselimuti oleh sentimen religius, sentimen moralitas logical fallacy yang mereka bangun banyak yang mempercayai, yang akhirnya Permendikbud itu menjadi polemik.meskipun sebenarnya tak layak disebut polemik lantaran itu hanyalah penyesatan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI