Sebenarnya kalau kita mau jujur kekerasan seksual secara merata hampir disetiap tingkatan pendidikan di Indonesia.
Kejadian seperti itu selama ini tak mampu tertangani dengan baik dan hak-hak korbannya kerap tak terpenuhi.
Agar kekerasan seperti itu tak terus berulang makanya lahirlah Permendikbud nomor 30, mengapa harus seperti itu karena sarana pendidikan baik kampus maupun sekolah merupakan ruang interaksi publik yang seharusnya menjadi tempat yang aman dari semua bentuk kekerasan terutama kekerasan seksual.
Padahal ditempat seperti kampus atau sekolah selalu memiliki interaksi yang berkait dengan relasi kuasa.
Antara pihak-pihak yang powefull dengan powerless dalam hal ini antara dosen dsngan mahasiswanya atau murid dengan gurunya yang jelas sekali relasi kuasanya.
Atau juga antar sesama mahasiswa atau murid dengan relasi senioritasÂ
Dengan demikian konsep dalam relasi kuasa, potensi terjadi kekerasan seksual selalu dalam posisi terbuka bahkan bisa jadi sangat tinggi potensinya.
Harus diingat pula, dalam relasi kuasa seperti yang saya cuplik dari sejumlah sumber bacaan cara pandang terhadap kekerasan seksual seolah dianggap wajar, tak dianggap penting  atau lebih parah lagi bisa malah berbalik arah menyalahkan si korban atau blamming victims.
Kondisi ini bisa lebih akut terjadi apabila pandangan yang dalam konsep relasi kuasa ini mengarah pada patriachal prespective.
Faktor inilah yang membuat pencegahan dan penanganan kekerasan seksual menghadapi tantangan yang cukup probelmatik.
Harus diakui, kita dan mungkin sebagian besar negara di dunia  memang belum memiliki sistem pencegahan kekerasan seksual yang efektif, hingga mampu mengeliminir kekerasan seksual hingga tingkat yang minimal.