Erick Thohir, beberapa hari lalu Presiden Jokowi menyampaikan kegundahan sekaligus rasa kesalnya terkait pemberian penyertaan modal negara kepada sejumlah perusahaan BUMN tetapi tak memberikan kontribusi ekonomi kepada negara.
Dihadapan para Direksi perusahaan-perusahaan BUMN dan Menteri BUMNPerusahaan yang dimaksud adalah perusahaan-perusahaan BUMN yang telah lama sakit selama bertahun-tahun namun tetap disuntik PMN agar mereka tetap hidup.
Jokowi meminta kepada Erick Thohir untuk segera saja menyuntik mati BUMN tersebut alih-alih disuntik PMN.
"Kalau Pak Menteri sampaikan pada saya, ini ada perusahaan seperti ini, kondisinya seperti ini, kalau saya, tutup saja! Tidak ada selamet-selametin, bagaimana kalau sudah kayak begitu," kata Jokowi seperti dilansir Kompas.com, Sabtu (16/10/21).
Sebenarnya isu penutupan BUMN sakit ini sudah terdengar sejak lama, namun dengan berbagai alasan eksekusinya masih tertunda.
Menurut sumber bacaan yang saya dapatkan, saat ini kurang lebih ada 7 perusahaan BUMN dalam kondisi mati segan hidup pun ogah akibat kondisi kesehatan manajerial, model bisnis, dan keuangannya berantakan.Secara operasional sebagian besar perusahaan tersebut sudah "mati", meskipun secara teknis mereka masih hidup.
Ketujuh perusahaan tersebut adalah PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA), PT. Industri Gelas (Iglas), PT. Kertas Kraft Aceh, PT. Kertas Leces, PT. Istaka Karya, PT Industri Sandang Indonesia, dan PT. Pembiayaan Armada Niaga Nasional (PANN).
Ketujuh perusahaan BUMN ini kini tengah berada dalam pengelolaan PT. Perusahaan Pengelola Aset (PPA)(Persero), perusahaan ini jika kita mengacu pada ekosistem kesehatan bisa diibaratkan sebagai "ruang ICU" bagi perusahaan-perusahaan BUMN yang sedang sakit.
Menurut situs PTPPA.Com, PT.PPA yang didirikan pada tahun 2004 ini awalnya dibentuk untuk mengelola aset-aset milik eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), BPPN sendiri adalah sebuah badan yang bersifat ad hoc  yang dibentuk dalam rangka menyehatkan kembali kondisi perbankan nasional yang terkena krisis moneter tahun 1998.
Setiap pemilik bank yang menerima kucuran dana talangan untuk menutupi likuiditasnya saat krisis moneter terjadi saat itu, harus menyerahkan asetnya sebagai sebagai pengganti.
Setelah dibubarkan oleh Presiden Megawati pada tahun 2004, aset-aset  berupa fisik, manajemen,aset kredit hingga saham yang saat itu masih dikelola BPPN dialihkan pada PT.PPA ini.
Dalam perjalanan waktu, mengingat pengalaman dan kompetensinya PT.PPA fungsinya diperluas setelah terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2008. Mereka tak hanya mengelola aset-aset eks BPPN tetapi ditambah dengan restrukturisasi dan revitalisasi BUMNÂ
Ke depan PT.PPA akan bertransformasi menjadi National Asset Management Company (Namco) yang fokusnya tetap pada penyehatan perusahaan BUMN yang sakit, tetapi ditambah dengan pengelolaan non-performing loan (NPL) atau kredit macet perbankan dan special situations fund.
Tugas PPA ini cukup berat, lantaran rata-rata perusahaan BUMN yang di-titip kelola-kan kepada mereka sudah sekarat, bahkan banyak diantaranya yang sudah tinggal menunggu mati saja, karena aktivitas perusahaan BUMN tersebut sudah mati suri.
Seperti misalnya PT. Kertas Leces, tak hanya dililit hutang yang tak terselesaikan, BUMN ini pun telah diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Surabaya pada 25 September 2018 lalu.
Usai putusan pailit, Leces kini tengah menyelesaikan urusan dengan para kreditur dengan cara menjual aset perusahaan yang masih ada.
Urusan ini sampai kini masih belum rampung, masih dalam tahap kurasi sesuai perintah pengadilan. Agak berat dan tricky lantaran aset yang dimiliknya setelah dihitung hanya Rp.1 triliun, setengah dari kewajiban yang harus diselesaikan oleh mereka.
Kemudian ada PT. Merpati Nasional Airlines, maskapai pelat merah yang didirikan pada tahun 1962 ini dikenal dengan penerbangan perintisnya terutama di wilayah timur Indonesia.
Pada masa jayanya di era akhir 70an hingga 90an, hampur seluruh rute penerbangan domestik diterbangi oleh mereka bahkan hingga pelosok-pelosok negeri.
Namun karena perusahaan dikelola serampangan dan kurangnya pengawasan ditambah utangnya yang terus menggunung kondisi Merpati kian terpuruk hingga akhirnya pada bulan Februari 2014 pemerintah memutuskan menghentikan seluruh opersionalnya.
Menurut data PT.PPA, aset yang dimiliki MNA hanya sebesar Rp. 1,2 triliun sementara kewajiban yang harus ditanggung sebesar Rp. 10,72 triliun dan ekuitas yang dimiliknya minus Rp.9,51 triliun.
MNA sempat digugat pailit oleh para krediturnya di Pengadilan Niaga Surabaya, namun kemudian tim pengacara dan manajemen MNA berhasil meyakinkan Hakim Pengadilan Niaga lewat proposal perdamaian yang mereka ajukan.
Dengan putusan tersebut artinya MNA memperoleh Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), alhasil MNA memperoleh kembali izin terbang.
Sempat beredar kabar seperti yang saya dapatkan dari sejumlah sumber bacaan, pemerintah menargetkan MNA bisa terbang kembali pada tahun 2020, sayang di sayang waktu dan keadaan tak berpihak pada mereka. Pandemi Covid-19 datang melanda akibatnya rencana tersebut ambyar.
Rencana restrukturisasi utang dengan masuknya investor baru yakni PT. Inti Asia Corpora milik Kim Johannes pemilik Kartika Air yang sempat menghangat di pertengahan tahun 2019 kini tak jelas lagi kelanjutannya.
Padahal waktu itu Kim siap untuk menyuntikan investasi di MNA Rp.6,4 triliun, bahkan Tim Penyelaras Merpati bentukan Kementerian Perhubungan sudah melakukan tugasnya untuk memproses izin terbang kembali Merpati, rencananya pesawat yang akan mereka gunakan adalah Irkut Mc-25 buatan Rusia.
Setali tiga uang dengan 2 perusahaan BUMN diatas, nasib PT. Industri Gelas atau Iglas pun kini diujung tanduk padahal pada masa jayanya perusahaan yang memproduksi kemasan berbahan gelas ini merajai pasar kemasan beling di Indonesia.
Menurut data PT.PPA, 36 persen pangsa pasar kemasan berbahan gelas dari berbagai merek minuman di Indonesia di suplai dari perusahaan yang didirikan di Gresik pada tahun 1955 ini.
40 persen botol beling kemasan minuman produksi Coca-Cola dengan berbagai macam variasinya untuk suplai kawasan Asia berasal dari PT.Iglas ini.Â
Namun akibat perkembangan jaman, pasar kemasan beling tergerus kemasan plastik yang dianggap oleh produsen minuman lebuh efesien.
Sayangnya menyikapi perubahan ini manajemen Iglas tak begitu tangkas, akibatnya performa mereka kian menurun. Menurut laporan keuangan PT.Iglas tahun 2018 seperti yang saya kutip dari situs PT.PPA, perusahaan ini masih membukukan pendapatan senilai Rp. 690 juta dan memperoleh pendapatan lain-lain hingga Rp.2,4 miliar.
Sayangnya beban usaha perusahaan justru lebih tinggi dibandingkan pendapatannya yakni sebesar Rp.6,56 miliar. Selain itu beban lain-lain yang harus ditanggung persero pun cukup besar yakni Rp. 57,13 miliar, pun demikian dengan beban bunga utang yang harus dibayarkan mencapai Rp.48,42 miliar.
Alhasil tekor besar melanda perseroan yang pada tahun 2018 tersebut harus mengalami rugi bersih senilai Rp. 84,61 miliar.
Baru-baru ini untuk mengurangi beban perusahaan PT.PPA melakukan pembeliat aset PT Iglas sebagai bagian dari restrukturisasi perusahaan. Dana hasil penjualan tersebut akan digunakan untuk kebutuhan pembayaran pesangon bagi 429 eks pegawai Iglas yang selama ini belum terselesaikan.
Kondisi ketiga BUMN tersebut nyaris serupa, hidup tapi tak memiliki kehidupan. Nah, agak berbeda situasinya adalah PT.Istaka Karya (Persero) meskipun carut marut kondisi keuangannya sih sama saja, operasional mereka saat ini menurut Corporate Secretary Istaka Karya Yudi Kristanto seperti dilansir CNBCIndonesia.com berjalan seperti biasa, saat ini mereka tenagh menggarap 6 proyek dengan nilai Rp.1 triliun.
"Di Istaka masih aktivitas seperti biasa. Tahun ini ada 6 projek yang didapatkan di tahun ini dan dalam waktu dekat akan ada penambahan proyek. Itu tanggung jawab harus dikerjakan," kata Yudi, Rabu(06/10/21).
Meskipun demikian, kondisi keuangannya memang sudah tak tertolong lagi. Beban utang yang dimiliki salah satu BUMN karya ini jauh melebihi aset yang mereka miliki.
Kabarnya seluruh karyawan perusahaan ini akan segera direlokasi ke BUMN-BUMN karya lain, sebelum Istaka Karya kemudian akan dilikuidasi.
Jadi sebenarnya memang arah dari BUMN-BUMN yang sakit ini mau di tutup atau di likuidasi, namun tetap prosesnya membutuhkan waktu untuk diselesaikan.
Lantaran perusahaan-perusahaan tersebut masih memiliki kewajiban-kewajiban dengan pihak lain, dan itu harus ditunaikan terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H