Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Disinformasi dan Hoaks Covid-19, Sama Berbahayanya dengan Virus itu Sendiri

23 Juli 2021   13:40 Diperbarui: 23 Juli 2021   13:47 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiruk pikuk penanganan pandemi Covid-19 dengan segala dampaknya memenuhi ruang publik, mulai dari media mainstream terutama media daring dan televisi hingga media sosial di semua platform berbicara tentang itu.

Ada yang mendukung upaya -upaya pemerintah dalam mengendalikan Covid-19, tetapi banyak pula yang mengkritik sejumlah kebijakan dan elan pemerintah tersebut.

Namun, adapula yang menunggangi isu pandemi ini untuk memenuhi syahwat politik mereka. 

Tsunami informasi terkait Covid-19 ini terkadang sangat membingungkan, kita jadi sulit membedakan mana informasi yang benar, mana informasi yang didasari hoaks atau misleading data.

Semua bercampur aduk tak tentu arah, rasanya hidup ini menjadi tambah sulit. Tak hanya menghadapi virus, kita pun harus memilah dengan cermat dan seksama informasi-informasi tersebut, dan itu membuat otak kita "hang"

Jaringan Internet dengan media sosial dan grup percakapannya berperan besar dalam tetek bengek urusan Covid-19 ini.

Pemerintah sendiri terlihat gagap menghadapi ini, bukan hanya di Indonesia sebenarnya kondisi ini terjadi. Hampir seluruh negara-negara di dunia mengalami kesulitan ini.

Bahkan di Amerika Serikat sekalipun hoaks tentang Covid-19 itu secara masif beredar hingga memaksa Joe Biden Presiden AS harus meng-adress langsung hal ini.

Ia dengan lantang menyebut bahwa media sosial membunuh orang karena membiarkan misinformasi tentang vaksin Covid-19 beredar dimasyarakat.

"Mereka membunuh orang-orang. Lihatlah, satu-satunya pandemi yang kita alami berada di orang-orang yang tidak divaksin. Mereka membunuh orang-orang," kata Biden di Gedung Putih, seperti dilansir Republika.Co.Id. Sabtu(17/07/21).

Bayangkan masyarakat AS yang notebene literasi digitalnya lebih baik daripada masyarakat Indonesia harus bermasalah dengan disnformasi ini.

Apa kabar dengan Indonesia?

Wuih kalau urusan misinformasi, disinformasi, atau berita hoaks terkait Covid-19 khususnya vaksin peredarannya sangat masif dan luas bahkan, untuk sesuatu yang paling aneh sekalipun.

Seperti chip 5G diyakini berada dalam vaksin Covid-19, jadi disetiap dosis vaksin itu ada chip tertentu.

Kemudian, ada juga yang menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 menghasilkan medan magnet jika telah disuntikan ke dalam tubuh kita.

Padahal menurut Kementerian Kesehatan vaksin Covid-19 itu mekanisme penyebarannya dalam tubuh tak ada bedanya dengan vaksin-vaksin yang selama ini ada.

Jumlah cairan vaksin Covid-19 yang disuntikan hanya berisi zat antigen dan bahan non aktif dengan volume hanya 0,5 miligram,  begitu disuntikan akan langsung menyebar ke dalam tubuh.

Lebih jauh lagi, muncul pula istilah "mengcovidkan", rumah sakit akan mengcovidkan siapapun dengan diagnosis apapun jika yang bersangkutan meninggal di rumah sakit, dan ini paling banyak dipercayai.

Hampir setiap grup percakapan di keluarga besar masyarakat Indonesia mengenal istilah ini, sehingga hampir tiap hari dibahas.

Perang melawan dan mengendalikan pandemi Covid-19 menjadi bertambah sulit, selain harus melawan virus Covid-19, kita pun harus berhadapan dengan misinformasi dan disinformasi yang masif terjadi.

Apalagi kemudian dibungkus dengan teori-teori konspirasi yang dikaitkan dengan agama dan politik berdasarkan logical fallacy yang datangnya dari  orang-orang yang dipercaya memiliki pengaruh, tambah sulit situasinya.

Masyarakat Indonesia akan lebih mempercayai hal tersebut, apalagi pada dasarnya teori konspirasi seperti itulah yang mereka minati,sehingga kemudian algoritma media sosial yang ada membentuk echo chamber.

Lantas bagaimana untuk menghilangkan atau paling tidak mengurangi intensitas misinformasi dan disinformasi terkait isu tertentu termasuk informasi tentang Covid-19 dimasyarakat.

Kita harus mulai dengan menyadari bahwa budaya literasi yang masih kurang di tengah masyarakat.

Literasi adalah kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecapakan hidup. Aktivitasnya hampir selalu berkaitan erat dengan kecakapan membaca dan menulis.

Dan Indonesia merupakan negara yang masyarakatnya tertinggal dalam konteks membudayakan literasi.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Program for International Student Assesment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Cooperation Development (OECD) pada tahun 2019, untuk urusan literasi Indonesia menduduki urutan bawah 62 dari 70 negara yang diteliti.

Apalagi kemudian seiring perkembangan teknologi perubahan-perubahan yang bersifat strategis dan teknis turut terjadi.

Arus deras informasi yang datang lantaran perkembangan teknologi internet yang memang menjadi sebuah keniscayaan, lantaran literasi lambat membudaya alhasil kita menjadi gagap dan tidak adaptif terhadap membanjirnya informasi.

Sehingga ketika harus memilih dan memilah informasi yang bersifat misinformasi dan disinformasi menjadi sulit.

Sebagian besar mereka cenderung menelan informasi yang positioning-nya mendukung apa yang mereka pikirkan, sehingga informasi-informasi yang seperti ini tidak berdasarkan kebutuhan mereka, tetapi berdasarkan keinginan mereka.

Apalagi kemudian jika misinformasi yang datang dan sesuai dengan pikirannya tersebut ditulis secara meyakinkan dengan dasar-dasar terlihat logis dan ilmiah.

Tanpa ba bi bu masyarakat akan dengan mudah mempercayainya dan kemudian menyebarkannya. 

Tanpa literasi yang mencakup kecapakan dalam memilah secara logis dibarengi pengetahuan saintifik, aktivitas memilah jurnal, membedakan email resmi dan abal-abal  memahami dinamika sosial, ekonomi dan politik serta pemahaman dalam menyaring informasi yang datang dari gadgetnya masing-masing.

Tak heranlah jika kemudian virus misinformasi, disinformasi dan hoaks ini menjadi ancaman mematikan lain di saat pandemi, sejalan denan virus Covid-19 itu sendiri.

Peran pemerintah dalam urusan ini sangat krusial meskipun memang mereka tak bisa bergerak sendiri.

Jangan malah menyumbang atau menyuburkan misinformasi dengan memproduksi kebijakan-kebijakan terkait pandemi yang membingungkan masyarakat.

Metamorfosis istilah dalam menangani pandemi seperti  PSSB, PPKM Darurat, PPKM "berlevel" merupakan salah satu contoh kebijakan membingungkan, belum khatam dengan istilah kebijakan yang satu eh muncul istilah kebijakan yang lain lagi.

Pastikan pejabat-pejabat yang berwenang tak mengeluarkan pernyataan yang berbeda satu sama lain.

Hal-hal tersebut bisa menjadi amunisi bagi para produsen hoaks untuk berproduksi. Sehingga pada akhirnya hoaks terus merajalela membingungkan masyarakat.

Bagi masyarakat atau kita semua, harus diingat informasi apapun terkait Covid-19 di media sosial berpotensi memengaruhi keselamatan semua orang.

Jika ternyata infornasi yang kita sampaikan itu hoaks, alih-alih membantu malah menjerumuskan orang ke dalam bahaya yang mengancam nyawa orang lain.

Tak perlu merasa menjadi ahli dadakan hanya bedasarkan informasi-informasi tentang Covid-19 yang validitasnya belum teruji.

Tahan jari kita semua, pastikan saring dulu setiap informasi yang datang, jika tak yakin jangan sskali-kali sharing.

Pandemi akan semakin panjang jika informasi Hoaks tentang Covid-19 kita perpanjang jangkauannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun