Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Jika Garuda Tak Bisa Diselamatkan, Kita Akan Baik-baik Saja Tanpa "Flag Carrier"

4 Juni 2021   10:55 Diperbarui: 4 Juni 2021   11:43 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Maskapai penerbangan pembawa bendera atau flag carrier Indonesia di dunia internasional Garuda Indonesia Airways kini tengah terancam kebangkrutan, karena saat ini terlilit hutang sebesar US$ 4,5 milyar atau setara dengan Rp. 70 triliun.

Situasi keuangan perseroan yang kurang baik serta pandemi Covid-19 yang memang menghantam sangat keras sektor transportasi membuat Garuda harus menghadapi situasi yang luar biasa sulit.

Setiap bulan Garuda harus menanggung kerugian sebesar Rp. 1,4 triliun, lantaran beban biaya operasional yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan pendapatan yang berhasil dikumpulkan.

Tak ada jalan lain bagi Garuda agar bisa selamat, harus melakukan restrukturisasi seperti  yang kini tengah diupayakan oleh para stakeholder Garuda.

Tetapi jika tak menemui hasil maka Garuda harus menanggung penambahan hutang Rp. 1 triliun setiap bulannya, jika itu terjadi kemungkinan besar Garuda harus menghadapi kenyataan menjadi perusahaan yang dipailitkan.

Salah satu upaya yang kini tengah dirancang oleh pihak Kementerian BUMN selaku wakil pemerintah sebagai pemegang saham utama Garuda adalah melakukan negosiasi dengan para kreditur, meskipun menurut Wakil Menteri BUMN Kartiko Wirjoatmojo jalannya negosiasi itu tak akan berlangsung mudah.

"Memang ada risiko apabila dalam restrukturisasi ada kreditur tidak menyetujui atau akhirnya banyak tuntutan-tuntutan legal terhadap Garuda, bisa terjadi tidak mencapai kuorum dan akhirnya bisa terjadi akan menuju kebangkrutan. Ini yang kami hindari sebisa mungkin dalam proses legalnya, karena harapannya akan ada kesepakatan dari seluruh kreditur untuk menyepakati restrukturisasi Garuda," ujarnya Seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (03/06/21).

Manajemen Garuda telah melakukan berbagai upaya termasuk diantaranya mengurangi jumlah karyawan dengan menggunakan program pensiun dini.

Selain itu, jajaran Komisaris Garuda pun merelakan gajinya tak dibayar hingga keadaan keuangan perusahaan penerbangan pelat merah ini membaik. Lebih lanjut pihak Kementerian BUMN seperti yang diungkapkan Menteri BUMN Erick Thohir akan mengurangi jajaran Komisaris Garuda untuk memangkas biaya operasional perusahaan.

Langkah-langkah seperti ini memang cukup bagus, tetapi tak akan cukup berarti untuk menahan laju kerugian, harus ada langkah drastis yang ambil oleh para pemegang saham agar Garuda bisa selamat dari lubang kepailitan.

Kementerian BUMN memiliki 4 skenario dalam menyiasati kisruh keuangan Garuda Indonesia Airways ini.

Pertama,  jika pemerintah memang mau menyelamatkan Garuda mau tidak mau mereka harus kembali menyuntikan dana segar melalui pinjaman modal atau dengan mekanisme penyertaan lainnya.

Hal ini dilakukan juga oleh Pemerintah Singapura saat menyelamatkan maskapai penerbangan kebanggaan mereka Singapore Airlines.

Namun, pengeluaran pemerintah saat ini sudah sangat besar sementara pendapatan negara turun cukup dalam, apakah opsi ini memang harus diambil? butuh kajian lebih dalam terkait hal ini.

Alternatif kedua, dengan skema Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang bisa digunakan untuk melindungi Garuda dari kebangkrutan melalui restrukturisasi.

Opsi ketiga, bisa saja Garuda dibiarkan melakukan restrukturisasi tetapi pada saat bersamaan pemerintah mendirikan perusahaan penerbangan baru untuk mengambil alih rute-rute domestik yang dimiliki Garuda.

Dan maskapai baru ini akan menjadi national carrier di pasar domestik, dilain pihak Garuda pun masih bisa tetap berjalan setelah retrukturisasinya selesai dilakukan. Menurut perhitungan Kementerian BUMN opsi ini bisa menelan biaya sebesar US$ 1,2 milyar atau setara dengan Rp.16,8 triliun

Sebenarnya untuk opsi ini pemerintah tak perlu membuat maskapai baru, toh Citilink kan anak perusahaannya Garuda juga, di pasar domestik mereka pun sudah cukup pengalaman.

Atau opsi terakhir, Garuda dibiarkan pailit atau pemerintah melakukan likuidasi terhadap maskapai penerbangan milik negara ini, kemudian doronglah pihak swasta untuk mengisi slot-slot rute penerbangan kosong yang ditinggalkan Garuda.

Jika opsi ini yang diambil, artinya Indonesia tak akan memiliki maskapai penerbangan flag carrier lagi. Tetapi,opsi ini oleh sebagian pihak dianggap sensitif lantaran berkaitan dengan nasionalisme Indonesia sebagai sebuah negara, sehingga opsi melikuidasi Garuda itu seperti mustahil.

Istilah Flag Carrier sendiri mulai menyeruak pasca Perang Dunia II, dimana kebanyakan negara yang sudah merdeka mendirikan maskapai penerbangan sebagai perwujudan titik awal negara dalam merencanakan pembangunan setelah negara tersebut hancur akibat perang.

Seperti kita tahu,  flag carrier tidak hanya mengudara membawa penumpang saja, melainkan mereka mengemban tugas lebih, yaitu membawa nama baik dan reputasi negara yang bersangkutan.

Selain itu, flag carrier juga biasanya tetap mengoperasikan penerbangan di rute-rute sepi atau tak menguntungkan sebagai perwakilan negara untuk menyediakan penerbangan bagi segenap rakyat.

Di dunia ini ada banyak sekali negara yang tidak mempunyai maskapai nasional atau flag carrier. Nyatanya, berbagai ketakutan yang disampaikan pengamat penerbangan, seperti tidak berdikari, membahayakan stabilitas nasional, dan lain sebagainya, tak terbukti.

Menurut sejumlah sumber yang saya kumpulkan, Amerika Serikat (AS) jadi salah satu dari sekian banyak negara yang tak mempunyai maskapai nasional atau maskapai nasional yang telah diprivatisasi. Padahal, kita tahu, AS merupakan negara adidaya dan tanpa flag carrier, AS tetaplah adidaya.

Negara Paman Sam saat ini hanya memiliki tiga maskapai internasional saja, setelah sejumlah maskapai seperti PanAm mengalami berbagai proses akuisisi dan likuidasi, yaitu American Airlines, Delta Air Lines, dan United Airlines. Ketiganya diatur sedemikian rupa sehingga memiliki fungsi yang mirip dengan flag carrier di negara lain.

Pun demikian dengan Kerajaan Inggris, British Airways memang dulunya adalah flag carrier-nya negeri Ratu Elizabeth II, tetapi kini setelah dilakukan privatisasi menjadi milik International Airlines Grup (IAG) perusahaan konsorsium milik  perusahaan swasta Inggris dan Spanyol yang saham terbesarnya dipegang oleh Pemerintah Qatar sebesar 20 persen.

Sampai di sini, apakah Inggris terancam dan terganggu, mengingat Qatar secara tidak langsung memegang peranan penting dalam lalu lintas udara Inggris? Tentu tidak. Inggris tetap seperti Inggris yang sangat dihormati dalam pergaulan internasional.

Jerman pun demikian, Lufthansa bukan lagi milik pemerintah Jerman yang menjadi pengemban flag carrier negara yang dipimpin Kanselir Angela Markel ini, 88,52  persen saham Lufthansa kini dimiliki perorangan dengan pemegang saham terbesar seorang miliader bernama Heinz Herman Thiele dengan jumlah saham 15,8 persen.

Apakah Jerman tanpa maskapai flag carrier menjadi berkurang kehebatannya? ya tidak juga.

Selain AS, Inggris, Jerman,  negara Australia dan Turki pun tak memiliki flag carrier. Pemerintah Australia dan Turki kini tak lagi menjadi pemegang saham di Qantas  dan Turki Airlines.

Jadi jika memang ongkos menyelamatkan Garuda itu terlalu mahal, ya bagaimana lagi. Mungkin likuidasi merupakan jalan yang harus diambil Pemerintah Indonesia. Tanpa maskapai penerbangan flag carrier kita akan baik-baik saja kok.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun