Pro dan kontra memang terjadi saat itu, tetapi fakta dilapangan menunjukan, perjudian mampu menghasilkan uang cukup besar sehingga infrastruktur di Jakarta bisa terbangun dengan cepat selain itu hajat hidup masyarakat Jakarta bisa terpenuhi.
Meskipun secara materi menguntungkan pemerintah dan pihak terkait, tetapi Sukarno kemudian menyadari bahwa perjudian itu sngat berpotensi merusak moral bangsa.
Maka kemudian pada tahun 1965 ia menghentikan seluruh aktivitas perjudian melalui Surat Keputusan Presiden nomor 113 tahun 1965, bahkan ia masukan perjudian ke dalam kategori kejahatan subversive.
Kemudian Keppres pelarangan perjudian tersebut dikuatkan pada era Orde Baru melalui penerbitan Undang-Undang nomor 11 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian.
Dalam perjalanannya, walaupun perjudian secara resmi telah dinyatakan terlarang tetapi pada praktiknya masih terus terjadi dimana-mana, judi buntut bisa ditemukan dihampir seluruh wilayah Indonesia terutama di kota-kota besar.
Melihat fenomena ini sebagian pihak yang saat itu dekat dengan kekuasaan mencoba mengambil kesempatan, alih-alih membuat aturan yang lebih ketat melarang perjudian mereka justru melegalkan"judi buntut" itu secara terselubung, dengan dalih untuk keperluan sosial dan kemanusian.
Pemerintah saat itu melalui Badan Usaha Undian Harapan membuat program 'judi terselubung' yang cukup dikenal dengan SDSB (Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah) pada tahun 1978.
Menurut sejumlah sumber bacaan yang saya jadikan ssbagai bahan referensi penulisan artikel ini,diantaranya Laporan investigatif Majalah Tempo yang diterbitkan 20 November 1993 bertajuk 'Wajah Lotre Silih Berganti'.
Tak kurang dari 4 juta kupon SSB disebar untuk dibeli masyarakat dan diundi setiap 2 pekan pada awal 1979, operator yang ditunjuk untuk kegiatan 'judi terselebung' ini adalah Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang berkantor pusat di Jakarta.
Hingga tahun 1986 omzet dari undian berhadiah SSB ini mencapai angka Rp. 1 triliun, angka yang luar biasa besar saat itu.
Ditengah berjalannya SDSB, Pemerintah Soeharrto melalui Departemen Sosial kembali mewacanakan bergulirnya judi legal lain yang dinamakan 'Porkas' berbeda dengan SDSB peruntukan keuntungan porkas untuk kegiatan olahraga.