Euphoria reformasi dan trauma masyarakat terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu cukup membekas dan melunturkan arti penting Pancasila sebagai norma dasar yang menjadi payung kehidupan berbangsa yang menaungi seluruh warga yang beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa dan agama.
Padahal sesungguhnya, Pancasila bukanlah milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pada masa tertentu, melainkan dasar negara yang menjadi penyangga bangunan arsitektural yang bernama Indonesia.
Memang Indonesia telah berhasil merealisasikan berbagai agenda reformasi, yang menghasilkan kemajuan di bidang demokrasi, rakyat telah menikmati kebebasannya.
Namun, perkembangan demokrasi ini ditambah dengan makin meluasnya penggunaan internet dan media sosial, membuahkan problema dilematik, yaitu kebebasan yang tanpa batas yang salah satunya melahirkan paham radikalisme.
Kehidupan berbangsa dan bernegara semakin terkesan menjauhkan Indonesia dari orientasi filosofi Pancasila.
Kehidupan berbangsa semakin kehilangan dasar dan arah tujuannya. Ketidakpastian di bidang hukum dan lemahnya moral penegak hukum, sistem politik yang semakin jauh dari etika politik yang bermartabat dan menguatnya budaya korupsi.Â
Bahkan hingga titik tertentu Pancasila seolah menjadi penyekat persatuan antar anak bangsa. Sejumlah pihak mencoba membenturkan nasionalisme Pancasila dengan agama.
Padahal kita tahu Pancasila ada untuk mempersatukan begitu banyak perbedaan termasuk agama di dalamnya.
Betul, Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia tetapi bukan berarti mayoritas boleh merasa memiliki keistimewaan dalam berbangsa dan bernegara.
Belakangan sejumlah pihak yang gemar memainkan politik identitas keagamaan berupaya keras agar "Islam" mendapat keistimewaan tertentu, padahal sejatinya yang terlihat seperti "Islam" itu semata-mata hanya untuk kepentingan politik kelompok mereka sendiri.
Intinya pihak-pihak tersebut gemar menjual politik identitas keagamaan, bukan demi Islam-nya tetapi demi kepentingan politik mereka sendiri.