Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tak Ada Periode Ke-3 Bagi Jokowi untuk Menjadi Presiden atau Wakil Presiden RI

23 Februari 2021   11:09 Diperbarui: 23 Februari 2021   11:48 1704
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasal 7 Undang-Undang Dasar 1945  yang mengatur mengenai masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tertulis secara ekplisit bahwa jabatan tersebut selama-lamanya 2 periode atau 10 tahun, hal ini berarti menunjukan tak ada kemungkinan untuk multitafsir.

Jadi, andai ada usulan agar periode kepemimpinan Jokowi bisa hingga 3 periode maka pasal tersebut harus dirubah dari batas maksimal 2 periode menjadi lebih dari 2 periode.

Usulan ini pernah terdengar di akhir 2019 lalu saat isu amandemen UUD 45 merebak. Menurut Wakil Ketua MPR dari Fraksi PKS Hidayat Nur Wahid usulan ini dilontarkan oleh Partai Nasdem.

Partai Nasdem memang mengakui wacana penambahan masa jabatan presiden ini meskipun mereka menyebutkan bahwa hal tersebut masih sebatas wacana.

Partai politik pimpinan Surya Paloh ini beralasan penambahan masa jabatan ini untuk efektivitas dan efesiensi pemerintahan.

"Tentu ketika ingin mengubah masa jabatan presiden itu bukan soal misalnya satu periode tujuh tahun atau delapan tahun, atau per periode empat tahun. Tapi kira-kira masa jabatan presiden ini bisa enggak kesinambungan dalam soal proses pembangunan," kata anggota DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Saan Mustopa, saat itu. Seperti dilansir Kompas.com.

Atas wacana tersebut, Presiden Jokowi langsung bereaksi, ia menolak dengan keras wacana tersebut. Bahkan ia menyatakan bahwa usulan penambahan masa jabatan presiden pada masa jabatanya merupakan upaya menampar mukanya.

"Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja," kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (02/12/19).

Setelah reaksi penolakan yang cukup keras dari Jokowi, wacana itu meredup, tak lagi dinarasikan. Tapi belakangan isu itu kembali naik kepermukaan dan menjadi perbincangan publik.

Arief Pouyono kader Partai Gerindra kembali mewacanakan isu penambahan masa jabatan Presiden dengan alasan yang spesifik merujuk pada kinerja Jokowi sebagai Presiden Republik Indonesia yang ia anggap mampu membuat situasi Indonesia tetap kondusif di tengah pandemi Covid-19.

"Itu keberhasilan dan kemampuan seorang Jokowi untuk mengolah negara di saat krisis," katanya.

Ia pun beranggapan tak ada sosok lain lagi di Indonesia yang mampu memimpin mengarungi krisis di tengah pandemi, bahkan ia meyakini Prabowo Subianto yang merupakan pimpinan partainya yang elektabilitasnya paling kuat saat ini dalam pilpres 2024, tak memiliki kemampuan setara dengan Jokowi.

Terakhir, beberapa hari lalu salah satu ikon musik Indonesia yang memiliki fans hingga berjuta-juta, Iwan Fals mengusulkan agar Jokowi menjadi Wakil Presiden dalam pilpres selanjutnya karena untuk menjadi Presiden sudah tidak mungkin lagi, mengacu pada Pasal 7 UUD'45, lewat akun Twitternya @Iwanfals.

"Eng ing eng... Hmm kan cuma boleh 2 x ya, tapi kalau maju jadi Wakil Presiden boleh nggak, cari presidennya siapa gitu, Ahok atau Rocky Gerung umpamanya...," cuit Iwan, Minggu (21/02/21).

Cuitan Iwan Fals ini  memang menarik, lantaran di sinilah celah yang tak tertulis jelas dalam Pasal 7 UUD'45 hasil amandemen berbunyi

"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Namun jangan lupa, memang dalam pasal 7 UUD'45 tak disebutkan atau diterangkan bagaimana jika setelah menjadi Presiden selama 2 periode atau Wakil Presiden selama 2 periode. Presiden kemudian menjadi wakil presiden atau wakil presiden menjadi presiden.

Bisa kah hal itu terjadi menurut hukum yang ada di Indonesia?

Menurut hasil penelitian sederhana yang saya lakukan, ternyata secara hukum hal itu tak bisa dilakukan, jika mengacu pada Pasal 169 huruf N Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu, yang menjelaskan persyaratan menjadi calon presiden dan wakil presiden Indonesia dalam pemilihan presiden.

Dalam pasal tersebut dituliskan dengan jelas bahwa salah satu syarat untuk menjadi capres dan cawapres dalam pemilihan presiden adalah belum pernah menjabat sebagai presiden atau wakil presiden selama 2 periode.

Meskipun dalam pasal 7 UUD'45 dan pasal 169 huruf N UU nomor 7/2017 tentang Pemilu  ini ada yang belum jelas terkait jabatan tersebut diduduki secara berturut-turut atau tidak berturut-turut.

Makanya saat menjelang Pilpres 2019 lalu hal ini pernah digugat melalui judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Partai Perindo terkait posisi Jusuf Kalla yang  sempat menjabat wapres dalam kondisi tak berturut-turut.

Apakah karena tak berturut-turut ia boleh maju lagi dalam pilpres 2019 lalu. Uji materi Perindo ini sempat ramai menjadi bahan perdebatan sebagian menyebutkan bahwa gugatan ini dapat mengancam demokrasi sehat yang kini tengah dibangun di Indonesia.

Hasilnya MK memutuskan untuk menolak gugatan Perindo tersebut dengan alasannya pemohon tak memiliki legal standing atau kedudukan hukum untuk mengajukan uji materi.

Upaya mengutak-atik sebuah aturan lewat cara konstitusional ya sah-sah saja termasuk mencoba mengubah batas maksimal jabatan presiden dalam pasal 7 UUD'45 tersebut , tetapi apakah hal itu dapat memberi kemaslahatan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia, itu lah yang harus benar-benar dikaji secara seksama.

Kita tahu dan sebagian dari kita mungkin mengalami bagaimana ketika sebuah kekuasaan dibiarkan terlalu lama berada dalam satu tangan tanpa batas sama sekali.

Kekuasaan menjadi absolut dan sangat potensial terhadap penyelewengan baik dari sisi politis, hukum, ekonomi, dan sosial yang dampaknya akan sangat terasa oleh rakyat Indonesia secara keseluruhan.

Mungkin saya perlu mengingatkan adagium yang sangat terkenal tentang kekuasaan dari sejarawan Inggris, Lord Acton.

Power tends to corrupt; Absolute power, corrupt absolutely.

Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan mutlak tanpa batas, maka ia akan benar-benar korup.

Dalam konteks perpanjangan masa jabatan Jokowi, atau seperti usulan Iwan Fals terlepas dari perdebatan hukumnya, jika hal itu terjadi akan sangat merusak tatanan demokrasi yang sudah susah payah dibangun oleh bangsa ini.

Bisa saja atau mungkin saja Jokowi akan berubah kepribadiannya menjadi otoriter bila kekuasaan yang saat ini didudukinya menjadi sebuah kekuasaan tanpa batas yang absolut.

Diakui atau tidak, semakin lama seseorang menduduki jabatan presiden otomatis sentralisasi kekuasaan akan terjadi 

Soeharto pun demikian di awal memerintah banyak pihak menyebutkan ia bertindak cukup baik dalam memimpin Indonesia, tapi karena terlalu lama akhirnya tak ada lagi yang berani mengontrolnya.

Percayalah bukan keberlangsungan pembangunan berkelanjutan yang akan terjadi jika kita mengutak-atik batas maksimal masa jabatan presiden.

Perpecahan bisa terjadi di Indonesia, apalagi dengan situasi sosial dengan arus informasi digital yang seperti ini agak sulit rasanya membuat sebuah kekuasaan tanpa batas.

Saya sangat sepakat dengan sikap Jokowi bahwa ia menolak usulan penambahan masa jabatan dan segala turunannya itu.

Saya pun sangat berharap tak perlulah ada lagi yang memainkan wacana mengubah pasal 7 UUD'45 dengan alasan politis yang seringkali tampak dipaksakan.

Mungkin saat ini Arief Pouyono belum melihat ada pemimpin sekaliber Jokowi, tapi saya sangat yakin itu ada dan bisa jadi lebih hebat.

Biarkan Jokowi saat ini bekerja membawa Indonesia keluar dari krisis akibat pandemi Covid-19. Dukunglah dia dengan cara melakukan kritik dan ingatkan jika kebijakannya tak berpihak pada kepentingan rakyat  

Tapi berilah pemerintah Jokowi apresiasi yang sepantasnya jika kebijakannya memang nyata untuk kepentingan rakyat.

Memujanya secara berlebihan justru akan menjerumuskan Jokowi, begitupun dengan membencinya hanya beda pandangan politik, seolah apapun yang dilakukan Jokowi selalu salah.

Jika waktunya tiba biarkan dia lengser dengan penuh kehormatan dengan meninggalkan legacy yang baik dan bakal dikenang dalam sejarah Indonesia 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun