Saya tadinya sudah sangat gembira, ketika Jokowi dalam sebuah kesempatan menyatakan bahwa Undang-Undang nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan UU nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Tapi sekarang saya jadi bingung sekaligus risau, ketika Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika memberikan pernyataan bahwa pemerintah akan membuat pedoman interpretasi resmi terhadap UU ITE.
"Pemerintah dalam hal ini Mahkamah Agung, Kepolisian, Kejaksaan, dan Kementerian Kominfo akan membuat pedoman intepretasi resmi terhadap UU ITE agar lebih jelas dalam penafsiran," kata Menkominfo Johnny G. Plate seperti dilansir Kompas.com, Selasa (16/2/21).
Namun kemudian saya mendapat kabar lanjutan, yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia (Menkumham) untuk segera menyiapkan Revisi UU ITE.
"Yang dilakukan adalah mendapat masukan dulu dengan praktisi hukum dan media. Sehingga saat revisi sudah memenuhi keinginan yang dibutuhkan," kata Jokowi saat bertemu Pemimpin Redaksi Media Nasional di Istana Merdeka, Jakarta, seperti dilansir CNNIndonesia.Com. Rabu (17/02/21)
Jadi Pemerintah ini maunya tuh apa? Revisi atau membuat pedoman interpretasi tentang pasal-pasal karet dalam UU ITE bagi para penegak hukum?
Jika merunut kejadiannya, mungkin, ini mungkin loh yah, untuk melakukan revisi terhadap sebuah undang-undang pasti membutuhkan sebuah proses yang cukup panjang dan membutuhkan waktu, sementara hidup manusia terus bergulir, komunikasi antar individu pastinya berjalan, tak berhenti menunggu Revisi UU ITE kelar kan.
Untuk itulah kemudian Pemerintah melalui Kemenkominfo, Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung membuat pedoman interpretasi pasal -pasal karet yang berpotensi ditafsirkan secara luas oleh para pemangku kepentingan.
Dalam proses revisi sebuah undang-undang, teknisnya sama saja seperti saat membuat baru sebuah undang-undang.
Menurut sejumlah literatur hukum, proses pembentukan undang-undang diatur dalam Pasal 16 sampai 23, Pasal 43 sampai 51, dan Pasal 65 hingga 74 Â UU nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Berdasarkan Pasal-Pasal tersebut maka alur pembentukan sebuah undang-undang adalah seperti ini.
Pertama, sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) bisa datang dari Presiden  atas nama Pemerintah atau atas inisiatif Dswan Perwakilan Rakyat (DPR)
Kedua, RUU yang diajukan oleh Presiden dipersiapkan oleh Menteri atau Kepala Lembaga Negara terkait.
Ketiga, RUU tersebut kemudian dimasukan  ke dalam Prolegnas(program legislasi nasional) oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Keempat, RUU yang diajukan itu harus sudah dilengkapi dengan Naskah Akademik, kecuali untuk RUU APBN, RUU Penetapan Pemerintah Penggantu Undang-Undang (Perppu) menjadi UU, serta RUU Pencabutan UU atau Perppu.
Kelima, Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikannya kepada seluruh anggota DPR dalam sebuah rapat paripurna.
Keenam, dalam rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah RUU yang diajukan tersebut disetujui, disetujui dengan perubahan, atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut.
Ketujuh, Â jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
Kedelapan, pembicaran tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat Banggar, atau rapat Pansus.
Kesembilan, Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
Kesepuluh, apabila tak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil melalui suara terbanyak.
Kesebelas, jika RUU tersebut disetujui secara bersama oleh DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan kepada Presiden untuk ditandatangani.
Keduabelas, dalam hal presiden tidak menandatangani RUU tersebut maka dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama akan berlaku secara otomatis.
Panjang sekali kan prosesnya, dan pastinya butuh waktu yang panjang juga untuk menyelesaikan Revisi UU ITE tersebut.
Selain itu kajian mendalam pun harus dilakukan terutama dalam menginterpretasikan batasan -batasan kritik dan ujaran kebencian menjadi sebuah definisi yang ajeg dan tak terlalu luas seperti dalam pasal 27 ayat 2, Pasal 28, dan Pasal 29 UU ITE saat ini.
Agar nantinya tak dimaknai secara multitafsir oleh para penegak hukum dilapangan.Â
Karena proses yang panjang inilah ada sebagian piham yang mengusulkan dibuat Perppu saja, tapi persoalannya untuk mengeluarkan Perppu itu harus ada syarat-syarat tertentu terutama masalah kegentingan.
Dan urusan kegentingan ini bisa ditafsirkan berbeda-beda pula, dan harus mendengarkan para ahli hukum untuk menentukan sebuah situasi itu genting atau tidak.
Jadi saya rasa pedoman interpretasi yang rencananya dikeluarkan oleh pemerintah itu, adalah sebagai langkah antisipasi agar pasal-pasal karet itu tak dimaknai secara serampangan oleh petugas lapangan.
Dan itu langkah yang tepat jika memang revisi UU ITE terus berjalan. Asal jangan sampai berhenti hingga pedoman interpretasi, lantaran pedoman itu bukan produk hukum yang mengikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H