Presiden Amerika Serikat  Donald Trump terlihat sangat buruk dalam menyikapi kekalahan politiknya dalam pemilihan presiden AS 2020 lalu.
Sepanjang 2 bulan pasca pelaksanaan pilpres AS yang memenangkan lawan politinya dari Partai Demokrat pasangan Joe Biden-Kamala Harris publik dunia terus menerus disuguhi upaya-upaya Trump untuk membatalkan kemenangan Biden.
Ia membakar emosi pendukungnya dengan mengklaim bahwa proses pemilu dan hasilnya itu dipenuhi berbagai kecurangan yang membuatnya harus kalah.
Tak hanya itu, untuk menopang klaim kecurangan yang sebenarnya tanpa dasar itu, pihak Trump mengajukan sejumlah tuntutan hukum terkait kecurangan tersebut, dan hasilnya seperti sudah kita tahu semua dimentahkan oleh pengadilan di berbagai negara bagian di AS tempat keberatan itu diajukan.
Bukan hanya yang bersifat legal, belakangan muncul bukti percakapan yang menunjukan Trump berusaha mempengaruhi hasil Pilres AS dengan kekuasaannya.
Dalam percakapan yang belakangan beredar dimasyarakat AS, Trump meminta Komisi Pemilihan Umum  di Negara Bagian Georgia untuk mencarikan 11 ribu suara yang memungkinkan dirinya meraih electoral collage di negara bagian tersebut, dan membatalkan kemenangan Biden.
Kemudian Trump kembali mencoba mengangkangi aturan demi kekuasaan dirinya, dengan meminta Mike Pence yang karena jabatannya sebagai Wakil Presiden akan memimpin proses sertifikasi hasil pemilu 2020 di Kongres, untuk memblokir proses tersebut.
Bahkan menurut sumber Gedung Putih seperti yang dirilis oleh CNNIndonesia.Com, Trump sempat mengancam Pence akan "merusak" jika ia menolak melakukannya.
Namun Pence tetap menolak dengan alasan ia tak memiliki kekuatan dan kewenangan untuk menggagalkan proses sertifikasi yang dilakukan oleh anggota senat dan House of Representatif.
Terakhir di tengah keputusasaannya untuk mempertahankan kekuasaannya, Trump menghasut para pendukungnya untuk melakukan unjuk rasa saat pengesahan itu terjadi di Gedung Capitol Hill.
Kejadian selanjutnya kita tahu semua, pendukung Trump merangsek masuk melakukan sejumlah kerusakan di Gedung tempat para anggota kongres itu bersidang, dan sidang sertifikasi hasil pemilu 2020 sempat tertunda walau kemudian dilanjutkan kembali setelah para perusuh dikeluarkan dan Garda Nasional turun tangan mengamankan Gedung Kongres tersebut.
Banyak pihak berpendapat, ini merupakan hasil tindakan gila Trump yang disinyalir menjadi bagian dari kerusuhan tersebut melalui hasutannya tersebut.
Kejadian yang sangat ironis bagi masyarakat AS dan Amerika Serikat sebagai sebuah institusi yang mengagung-agungkan dan menjadi panutan demokrasi dunia.
Tindakan egois Trump yang mencampur adukan ambisi pribadi dengan kekuasaan yang ia miliki, dalam menyikapi kekalahan politiknya secara memalukan, dan jauh dari sikap kenegarawanan yang seharus dimiliki oleh seorang pemimpin sebuah negara.
Hal ini jelas, benar-benar mencoreng wajah demokrasi dan politik AS. Untuk kondisi ini bisa lah kita warga negara Indonesia berkata
"Hai lihatlah Indonesia, kali ini demokrasi kami lebih baik".
Tentunya kita masih ingat dengan sangat jelas, bagaimana dahsyatnya polarisasi yang terjadi dimasyarakat Indonesia saat Pilpres Indonesia 2019 lalu, bahkan residunya masih terasa hingga saat ini.
Pendukung  dua pasangan yang mengikuti Pilpres 2019 lalu, Jokowi-Maaruf  dan Prabowo-Sandi  terlihat sangat all out mendukung pasangan masing-masing sehingga membuat rakyat Indonesia benar-benar terbelah.
Isu politik identitas keagamaan menjadi masalah utama saat itu, meskipun pasangan Jokowi sudah berusaha mengeleminir itu dengan mengajak KH Maaruf Amin sebagai Cawapres, namun upaya itu tak sepenuhnya berhasil, alhasil polarisasi tajam terus terjadi.
Selepas proses pencoblosan pilpres, dan sejumlah Lembaga Survey menunjukan bahwa hasil Quick Count memenangkan pasangan 01 Jokowi -Maaruf, resistensi dari pendukung 02 menimbulkan gejolak, Prabowo bahkan sempat melakukan klaim sebaliknya ia menyatakan dirinya bersama Sandiaga Uno yang memenangkan Pilpres 2019 yang dihiasi oleh sujud syukur seperti yang ia lakukan pada Pilpres sebelumnya tahun 2014.
Selanjutnya kita saksikan sendiri upaya Prabowo dan para pendukungnya untuk menggagalkan kemenangan Jokowi, meskipun sudah secara resmi KPU sebagai penyelenggara pemilu menyatakan demikian.
Mereka mengklaim bahwa telah terjadi kecurangan secara masif, sistemik, dan terstruktur. Klaim-klaim ini memenaskan situasi sehingga mendorong aksi pengerahan masa yang mengepung kantor KPU dan Bawaslu yang kemudian menimbulkan korban jiwa.
Semua rentetan kejadian itu persis sama dengan yang terjadi di AS saat ini. Namun ada yang berbeda yakni calon yang kalah dalam kontestasi pilpres tersebut.
Jika di awal sikap Prabowo dan Trump nyaris serupa, namun di ujungnya Prabowo menyikapinya dengan cara yang lebih elegan.
Meskipun sempat terpengaruh oleh suara-suara "pihak lain" agar Prabowo terus menolak hasil Pilpres. Selepas putusan Mahkamah Konstitusi  (MK) yang memenangkan Jokowi, Prabowo mulai terlihat.jinak dan melunak.
Dengan berbagai proses akhirnya Prabowo secara resmi mengakui kemanangan Jokowi dan mereka berpelukan kembali sebagai saudara sebangsa di Stasiun MRT Lebak Bulus saat itu.
Bahkan kini Prabowo-Sandi menjadi bagian Pemerintah mantan rivalnya Presiden Jokowi. Hal ini bisa terjadi lantaran Prabowo dengan segala kelebihan dan kekurangannya benar-benar mencintai tanah airnya, melebihi ia mencintai ambisi dan egoisitasnya sendiri.
Berbeda dengan Donald Trump yang dengan sikapnya tersebut bisa disebut lebih mencintai ambisinya pribadi dibandingkan mencintai Amerika Serikat negaranya.
Mungkin asumsi ini bisa saja tak sepenuhnya benar, karena ada banyak faktor yang berkelindan dalam sebuah keputusan politik yang terjadi dibelakang layar.
Mungkin saja lantaran Prabowo tak memiliki kekuasaan sebesar Donald Trump yang saat kekalahan politiknya itu terjadi tengah menjabat sebagai petahana yang memiliki kekuasaan.
Namun, kita bisa bandingkan juga tindakan Trump yang "menghalalkan segala cara"dalam menyikapi kekalahan politiknya saat dirinya berkuasa dengan Presiden Indonesia yang berkuasa saat orde baru memegang kendali, Soeharto.
Meskipun situasinya saat itu berbeda namun pada prinsipnya bisa disebut sama. Mereka saat kekalahan politiknya terjadi, sedang berkuasa.
Soeharto jika berlaku seperti Trump yang lebih mencintai dirinya dibanding negaranya, mungkin reformasi 1998 di Indonesia tak akan terjadi.
Terlepas dari segala kontroversi  dan kekurangannya Soeharto adalah orang yang sangat mencintai tanah airnya, Indonesia.
Andai saat Mei tahun 1998 itu Soeharto mau benar-benar  menggunakan kekuasaannya untuk mempertahankan jabatanya sebagai Presiden Indonesia, bisa saja.
Toh militer dan sebagian besar jajaran pejabat pemerintahan saat itu masih mendukung Soeharto. Ia bisa dengan leluasa memerintahkan militer dan polisi untuk menangani aksi unjuk rasa mahasiswa secara lebih keras.
Soeharto bisa juga mengumumkan negara dalam keadaan darurat karena sejumlah kerusuhan yang terjadi saat itu, yang kemudian akan memiliki konsekuensi pemerintah bisa bertindak apapun untuk meredam situasi politik dan keamanan yang saat itu sudah mencapai titik didihnya.
Namun, sudah hampir dapat dipastikan tindakan tersebut akan ditentang secara frontal oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat lain.
Jika itu terjadi pertumpahan darah dalam jumlah besar akan menjadi konsekuensinya, atau lebih parah lagi chaos yang bersifat lebih masif bisa membuat Indonesia benar-benar terkoyak.
Karena kecintaannya terhadap negara dan rakyatnya Soeharto yang dipandang orang sebagai seorang otoriter, lebih memilih mengundurkan diri secara elegan  dalam menerima kekalahan politiknya setelah tak dipercaya oleh sebagaian besar rakyatnya, sehingga pertumpahan darah besar menjadi terhindarkan.
Mungkin jika Soeharto orang yang bersifat dan bersikap seperti Donald Trump yang narsis, egois dan rasis, kita tak akan mengenal reformasi 1998.
Jadi jika kita melihat secara kasat mata dari berbagai tindakannya perbedaan mendasar antara ketiga pemimpin itu adalah masalah kepribadiannya.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihannya, Soeharto dan Prabowo mampu menekan sifat narsistis pribadinya di bawah kecintaannya terhadap Tanah Air dan rakyat Indonesia.
Berbeda dengan Trump yang gagal menekan sifat narsistis dan egoismenya yang menjadi haluannya bertindak memimpin AS, sehingga membuat demokrasi mereka yang beratus tahun berlangsumg tertib penuh formalitas kesantunan, ditangan Trump menjadi terlihat compang-camping.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H