Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sikap Rasial pada Vanuatu Tak Membantu Apapun, Bahkan Dimanfaatkan Veronica Koman

1 Oktober 2020   13:02 Diperbarui: 1 Oktober 2020   15:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Menyerang dan menghina ras seseorang atau sekelompok orang, apapun alasannya.  Itu perbuatan tercela, ras itu given tak ada satu pun mahluk yang bisa bernegosiasi dengan Tuhan, dari ras dan orang tua mana kita ingin dilahirkan.

Sebagai manusia, sepanjang kita mau berusaha keras dan memiliki kesempatan, kita bisa mengubah apapun kondisi yang ada kecuali ras, sekali kita terlahir sebagai ras Sunda misalnya, maka sepanjang umur kita akan tetap menjadi ras Sunda, sekaya apapun atau setinggi apapun status sosial kita.

Apakah Jokowi yang Jawa karena kekuasaannya bisa menjadi ras Sunda atau Batak setelah menjadi Presiden?

Apakah Lionel Messi sang megastar sepakbola dunia dengan prestasinya yang luar biasa, bisa mengubah rasnya dari Hispanik menjadi Kaukasian?

Apakah Ambhani Mital salah satu orang terkaya di dunia yang terlahir sebagai orang India, karena ia sangat kaya bisa membeli ras baru agar dirinya tak disebut orang India?

Jawabannya tak ada satu pun yang bisa!

Jadi ketika kita menghina seseorang atas dasar ras atau suku bangsanya sama saja dengan menghina Tuhan yang menciptakannya, dan itu sangat tak layak untuk dilakukan, apapun alasannya!

Apalagi jika alasan melakukan penghinaan terhadap sebuah ras itu dengan dalih nasionalisme, seperti belakangan yang dilakukan oleh sejumlah warganet asal Indonesia yang menyerang ras masyarakat negara Vanuatu, karena masalah politik internasional yang berkaitan dengan Papua.

Saya tak perlu menerangkan lagi apa yang terjadi antara Vanuatu dengan Indonesia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa(PBB) yang terjadi beberapa hari lalu di Markas Besar PBB di New York Amerika Serikat, karena kita dapat menyaksikannya lewat berbagai kanal media.

Apakah dengan menyerang ras masyarakat Vanuatu secara verbal melalui berbagai laman media sosial bakal otomatis membuat Vanuatu menarik mundur diplomasi pemerintahnya menyikapi persoalan Papua?

Tak akan! Bahkan mungkin bisa saja menjadi kontra produktif bagi upaya diplomasi Indonesia untuk memenangkan hati sejumlah negara yang selama ini kerap mempersoalkan urusan Hak Azasi Manusia (HAM) di Papua yang dijadikan dasar mereka untuk memprovokasi agar Papua lepas dari Indonesia.

Walaupun saya bisa memahami kegeraman rakyat Indonesia terhadap pemerintah Vanuatu yang bisa disebutkan melakukan intervensi politik  terhadap urusan kedaulatan dalam negeri Indonesia.

Tapi sekali lagi, tak perlu menyerang ras masyarakat Vanuatu. Lebih baik dorong Pemerintah Indonesia agar lebih memperhatikan kondisi masyarakat Papua, walaupun saat ini perlakukan Pemerintah Jokowi terhadap masyarakat Papua sudah jauh lebih baik dari sebelumnya.

Selain itu, Pemerintah Indonesia akan lebih baik jika melakukan pendekatan diplomasi yang lebih komprehensif kepada negara-negara yang kerap melakukan provokasi terkait masalah Papua, melalui jalur bilateral misalnya.

Pendekatan Soft diplomasi bisa jadi lebih efektif dibanding diplomasi marah-marah seperti yang kemarin terjadi di SU PBB. 

Soft diplomasi bisa melalui pertukaran budaya, pendidikan, atau bisa juga lewat Indonesian Aid misalnya. Bantuan tertentu terhadap kebutuhan mereka toh kita bisa tahu Vanuatu dan negara-negara Pasifik lainnya kondisi ekonominya tak terlalu baik.

Ingat suara negara-negara Pasifik seperti Vanuatu di PBB itu relatif lebih mudah di putar arahkan tergantung pendekatan yang dilakukan.

Konon katanya Indomie merupakan salah satu makanan populer di negara Vanuatu, ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk untuk melalukan diplomasi ekonomi/bisnis misalnya.

Atau bisa saja Indonesia membangun sekolah sebagai bentuk sumbangan kepada masyarakat Vanuatu, tak akan banyak memakan biaya namun dampaknya akan sangat besar bagi diplomasi Indonesia.

Atau jika untuk urusan soft diplomasi ke negara-negara Pasifik itu terhalang oleh penetrasi diplomasi Australia yang memang dekat dengan mereka. Jokowi kan cukup dekat ama Pemerintah Australia, bicarkanlah baik-baik.

Apalagi situasi geopolitik termutakhir tampaknya ada perebutan pengaruh antara Australia dan China di kawasan Pasifik.

Ini bisa jadi peluang bagi Indonesia untuk berperan sebagai penengahnya toh Jokowi dekat dengan kedua negara tersebut.

Terlepas dari itu semua, masyarakat atau media Indonesia harus lebih arif menyikapi masalah ini, jangan lontarkan komentar-komentar rasis, karena tak akan menolong apapun.

Bahkan, hal itu bisa menjadi amunisi bagi orang-orang semacam Veronica Koman yang rela menjual negara tempat dia dilahirkan dan dibesarkan bagi kepentingannya sendiri.

Seperti yang ia cuitkan lewat laman Twitter miliknya @veronicakoman,

"The award of most racist headline of 2020 goes to: 

Indonesia"

"8 Facts about Vanuatu, the Small Cannibal Nation Who Annoys Indonesia about Papua at the UN Every Year"

Cuitan Veronica Koman ini respon dirinya terhadap judul berita dari Tribunnews, walaupun saya tak terlalu yakin juga redaksi Tribunnews meloloskan judul seperti yang ditulis Koman tersebut.

Lepas dari itu, faktanya ujaran rasial menjadi amunisinya untuk menyerang balik Indonesia dan seolah memberi pembenaran atas sikapnya terhadap Indonesia selama ini terkait dengan permasalahan Papua.

Marilah kita sudahi menyerang  secara verbal negara lain dengan cara-cara kurang beradab apalagi menyerang ras sebuah bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun