Dalam dunia Mafioso, ada istilah Omerta, laku tutup mulut untuk melindungi organisasi kejahatan yang dimilikinya, jika salah satu dari mereka tertangkap melakukan kejahatan yang sebenarnya dilakukan atas dasar kegiatan organisasi mafia tersebut.
Mereka yang melakukan Omerta biasanya menanggung sendiri berbagai dakwaan yang dituduhkan kepada dirinya meskipun ditekan secara fisik dan psikis.
Pelaku Omerta tak akan mau membuka mulut atas sesuatu apapun yang berkaitan dengan organisasinya karena jika itu dilakukan bisa saja berpotensi menghancurkan organisasi tersebut.
Omerta itu merupakan manifestasi dari sikap yang menunjukan loyalitas dan kebanggaan terhadap organisasinya, untuk membayar loyalitas tersebut biasanya organisasi mafia tersebut akan menjamin keselamatan dan kehidupan seluruh keluarganya.
Jika kita bergeser ke arah yang berlawanan di sisi penegak hukum atau militer ada istilah yang esensinya serupa namun secara teknis berbeda
Dalam lingkup penegak hukum kecintaan terhadap korps biasa disebut "jiwa korsa".Â
Jiwa Korsa dapat diartikan sebagai rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan semangat kebersamaan terhadap sesuatu yang sering ditujukan kepada negara, korps, atau perkumpulan.
Loyalitas, kebanggaan dan semangat kebersamaan dalam organisasi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Militer dalam tahap tertentu sangat baik bagi organisasi dan masyarakat secara luas.
Namun, ketika Jiwa Korsa itu dimaknai berlebihan justru hasilnya bakal kontra produktif bagi organisasi tersebut yang ujungnya bisa berakhir merugikan korps itu sendiri dan tentu saja bangsa dan negara secara keseluruhan.
Bagaimana ketika kasus korupsi yang melibatkan Komjen Pol Susno Duadji dari Kepolisan yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu ramai disebut sebagai kasus "Cicak vs Buaya.
Kemudian saat Jenderal Budi Gunawan yang saat itu sempat dicalonkan menjadi Kapolri namun ditengah prosesnya tiba-tiba KPK yang saat itu dipimpin oleh Abraham Samad mentersangkakan Jendral Budi.
Aksi balasan kemudian dilakukan oleh pihak Kepolisian yang juga mentersangkakan 2 pimpinan KPK atas kasus tindak pidana umum yang sudah lama terjadi dan sebenarnya kasus itu ya ecek ecek aja.
Cicak vs Buaya jilid ke-2 pun terjadi. Apakah itu membantu terhadap proses penegakan hukum atau sistem hukum secara keseluruhan? Tentu saja tidsk citra Institusi Kepolisian malah bertambah buruk dimata masyarakat.
Contoh lain lagi di Institusi Militer, masih ingat penyerbuan anggota Kopassus  yang menyerbu Lapas Cebongan Yogyakarta yang menewaskan 4 orang tahanan, tahun 2013 silam.
Semua anggota Kopassus yang melakukan penyerangan akhirnya tertangkap dan mereka mengakui bahwa hal tersebut di dorong oleh Jiwa Korsa yang kuat.
Menurut Brigjen Unggul K Yudhoyono yang saat itu menjadi Ketua Tim Investigasi kasus Cebongan hal ini merupakan manifestasi jiwa korsa yang salah kaprah.
"Jiwa korsa dalam serangan Cebongan adalah penerapan jiwa korsa yang tidak tepat," katanya saat itu. Seperti dilansir oleh Merdeka.com
Lantas apa hubungannya Jiwa Korsa ini dengan kasus pelarian Djoko Tjandra yang kemudian seperti membuka kotak pandora yang melibatkan oknum-oknum dari 3 institusi penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan Kuasa Hukum.
Terutama dalam pengungkapan kasus di Kejaksaan Agung yang  sampai saat ini hanya melibatkan salah satu pejabat eselon IV Kejagung, Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Seperti diketahui ada dugaan kuat Jaksa Pinangki membantu pelarian buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra, dengan iming-iming mendapatkan hadiah atau gratifikasi dari yang bersangkutan.
Memang benar, saat ini Jaksa Pinangki sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejagung setidaknya untuk 20 hari ke depan, atas sangkaan menerima gratifikasi dari Djoko sebesar US$ 500 ribu atau setara Rp.7 miliar yang melanggar Undang-Undang Tipikor.
Selain sejumlah uang tersebut, Pinangki juga mendapatkan berbagai janji dan fasilitas lain seperti misalnya menurut penyelidikan pihak Kejagung disebutkan ia melakukan perjalanan sebanyak 9 kali ke luar negeri yang diduga untuk bertemu Djoko dalam waktu 7 bulan terakhir, mulai dari pertengahan 2019.
Namun agak berbeda dengan pihak Kepolisian yang bergerak gesit menyelidiki  anggotanya yang diduga terlibat secara terbuka.
Kejagung tampak terbata-bata dan sangat tertutup mengungkapkan keterlibatan anggota korpsnya dalam kasus Djoko Tjandra ini.
Apalagi kemudian di tengah proses penyelidikan Jaksa Pinangki dan kemungkinan dilakukan penyelidikan oleh pihak Kepolisian.
Tiba-tiba terbit aturan baru Kejagung  pada  tanggal 6 Agustus 2020 yang ditandatangani oleh Jaksa Agung St Burhanuddin.
Peraturan baru tersebut ialah Pedoman nomor 7 tahun 2020 yang salah satu pasalnya, seperti yang dilansir Kompas.com adalah mengatur bahwa pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan Jaksa yang terlibat tindak pidana dapat dilakukan hanya atas izin Jaksa Agung.
Artinya siapapun jaksanya jika terlibat sebuah kasus pidana tak boleh diperiksa atau diselidiki oleh siapapun termasuk Kepolisian dan KPK kecuali ada izin tertulis dari Jaksa Agung.
Ini luar biasa sekali, seolah jaksa itu memiliki kekebalan hukum. Karena pastinya akan ada proses administrasi dan birokrasi untuk mendapatkan izin dari Jaksa Agung.
Bisa saja ditengah mendapatkan izin tersebut yang bersangkutan bisa saja menghilangkan berbagai barang bukti yang ada.
Nah, Pedoman ini menjadi ramai dan menjadi polemik banyak pihak beranggapan bahwa terbitnya aturan baru  Kejagung tersebut ada hubungannya  dengan kasus yang menimpa Jaksa Pinangki.
Walaupun, kemudian pihak Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan Kejagung, Hari Setiyono membantah bahwa aturan baru tersebut ada kaitanya dengan kasus apapun.
"Tidak ada (kaitan dengan kasus tertentu), karena bikin pedoman itu kajiannya cukup lama," ucap Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Hari Setiyono melalui aplikasi pesan singkat, Selasa (11/08/20).
Meskipun ada bantahan, polemik itu terus bergulir apalagi laju penyelidikan jaksa Pinangki sangat lambat dan terkesan sangat tertutup.
Dan pihak Kejagung sepertinya menutup pintu bagi pemeriksaan Jaksa Pinangki oleh institusi lain seperti Kepolisian misalnya.
Ketika kemungkinan pemeriksaan Jaksa Pinangki oleh Kepolisian ditanyakan oleh salah satu Jurnalis Kompas.TV Aiman Witjaksono dalam acara "Aiman".
Hari Setiyono menerangkan bahwa ada prosedur tertentu yang terlihat lumayan panjang bagi pihak Kepolisian jika ingin menyelidiki Jaksa Pinangki.
Tampaknya pihak Kejagung insist bahwa yang berhak dan memiliki wewenang menyelediki kasus yang melibatkan Jaksa Pinangki hanyalah pihak Kejaksaan Agung.
Kontroversi ini terus bergulir sampai akhirnya Pedoman nomor 7 tahun 2020 itu yang diterbitkan seminggu lalu itu dibatalkan melalui aturan baru yang diterbitkan Kejagung tertanggal 11 Agustus 2020.
Aturan baru tersebut adalah Keputusan Jaksa Agung nomor 163 tahun 2020.
Menurut Menteri Kordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD dalam cuitan lewat akun Twitter miliknya @mohmahfudmd.
"Pencabutan Pedoman Kejagung tersebut dapat memproporsionalkan proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana yang diduga dilakukan oleh jaksa . Hal itu juga menurut Mahfud MD, juga bisa menghilangkan kecurigaan publik bahwa Kejaksaan Agung membuat barikade untuk melindungi dirinya."
Dan ajaibnya entah ini sebuah kebetulan atau memang sudah direncanakan setelah Surat Keputusan  Jaksa Agung tersebut terbit.
Besoknya Rabu (12/08/20) Jaksa agung menetapkan secara resmi Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejagung.
Nah disinilah hubungannya antara Jiwa Korsa dan kasus Jaksa Pinangki, Jiwa korsa Kejaksaan atau institusi manapun bukan berarti harus dimaknai dengan melindungi aparatnya jika terlibat masalah hukum. Dengan cara menutup-nutupi kasus yang menimpa anggotanya.Â
Justru dengan mengungkapkan kasus yang terjadi secara terbuka hingga ke akarnya, siapapun yang terlibat diungkap maka Jiwa Korsa institusi akan mengalami penguatan.
Publik akan respek dan kepercayaan pada institusi hukum tersebut akan naik. Dalam konteks Kasus Jaksa Pinangki ini, walaupun terkesan sangat tertutup tapi apresiasi pantas kita berikan pada pihak Kejagung , terlebih kepada pihak Kepolisian.
Pihak Kepolisian dalam Kasus Djoko Tjandra ini terlihat "gercep", dan buktinya Jiwa Korsa Kepolisian tak menjadi terpuruk malah melambung.
Jika memang ke depannya, terdapat bukti yang menunjukan pihak lain dalam institusi tersebut atau institusi lain yang terlibat seyogyanya harus diproses sesuai aturan yang berlaku.
Percayalah Jiwa Korsa dari korps tak akan terkoyak, justru dengan diungkap secara tuntas kebanggaan masyarakat kepada korps Adyaksha, Kepolisiaan akan semakin tinggi.
Dan anda -anda anggota Korps tersebut akan dipandang penuh hormat oleh publik, bukankah itu Jiwa Korsa yang diharapkan oleh setiap institusi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H