Contoh lain lagi di Institusi Militer, masih ingat penyerbuan anggota Kopassus  yang menyerbu Lapas Cebongan Yogyakarta yang menewaskan 4 orang tahanan, tahun 2013 silam.
Semua anggota Kopassus yang melakukan penyerangan akhirnya tertangkap dan mereka mengakui bahwa hal tersebut di dorong oleh Jiwa Korsa yang kuat.
Menurut Brigjen Unggul K Yudhoyono yang saat itu menjadi Ketua Tim Investigasi kasus Cebongan hal ini merupakan manifestasi jiwa korsa yang salah kaprah.
"Jiwa korsa dalam serangan Cebongan adalah penerapan jiwa korsa yang tidak tepat," katanya saat itu. Seperti dilansir oleh Merdeka.com
Lantas apa hubungannya Jiwa Korsa ini dengan kasus pelarian Djoko Tjandra yang kemudian seperti membuka kotak pandora yang melibatkan oknum-oknum dari 3 institusi penegak hukum, Kepolisian, Kejaksaan dan Kuasa Hukum.
Terutama dalam pengungkapan kasus di Kejaksaan Agung yang  sampai saat ini hanya melibatkan salah satu pejabat eselon IV Kejagung, Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Seperti diketahui ada dugaan kuat Jaksa Pinangki membantu pelarian buronan hak tagih Bank Bali Djoko Tjandra, dengan iming-iming mendapatkan hadiah atau gratifikasi dari yang bersangkutan.
Memang benar, saat ini Jaksa Pinangki sudah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan oleh Kejagung setidaknya untuk 20 hari ke depan, atas sangkaan menerima gratifikasi dari Djoko sebesar US$ 500 ribu atau setara Rp.7 miliar yang melanggar Undang-Undang Tipikor.
Selain sejumlah uang tersebut, Pinangki juga mendapatkan berbagai janji dan fasilitas lain seperti misalnya menurut penyelidikan pihak Kejagung disebutkan ia melakukan perjalanan sebanyak 9 kali ke luar negeri yang diduga untuk bertemu Djoko dalam waktu 7 bulan terakhir, mulai dari pertengahan 2019.
Namun agak berbeda dengan pihak Kepolisian yang bergerak gesit menyelidiki  anggotanya yang diduga terlibat secara terbuka.
Kejagung tampak terbata-bata dan sangat tertutup mengungkapkan keterlibatan anggota korpsnya dalam kasus Djoko Tjandra ini.