Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Omerta, Jiwa Korsa, dan Kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari

13 Agustus 2020   12:30 Diperbarui: 13 Agustus 2020   14:12 4098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam dunia Mafioso, ada istilah Omerta, laku tutup mulut untuk melindungi organisasi kejahatan yang dimilikinya, jika salah satu dari mereka tertangkap melakukan kejahatan yang sebenarnya dilakukan atas dasar kegiatan organisasi mafia tersebut.

Mereka yang melakukan Omerta biasanya menanggung sendiri berbagai dakwaan yang dituduhkan kepada dirinya meskipun ditekan secara fisik dan psikis.

Pelaku Omerta tak akan mau membuka mulut atas sesuatu apapun yang berkaitan dengan organisasinya karena jika itu dilakukan bisa saja berpotensi menghancurkan organisasi tersebut.

Omerta itu merupakan manifestasi dari sikap yang menunjukan loyalitas dan kebanggaan terhadap organisasinya, untuk membayar loyalitas tersebut biasanya organisasi mafia tersebut akan menjamin keselamatan dan kehidupan seluruh keluarganya.

Jika kita bergeser ke arah yang berlawanan di sisi penegak hukum atau militer ada istilah yang esensinya serupa namun secara teknis berbeda

Dalam lingkup penegak hukum kecintaan terhadap korps biasa disebut "jiwa korsa". 

Jiwa Korsa dapat diartikan sebagai rasa hormat, kesetiaan, kesadaran, dan semangat kebersamaan terhadap sesuatu yang sering ditujukan kepada negara, korps, atau perkumpulan.

Loyalitas, kebanggaan dan semangat kebersamaan dalam organisasi penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, dan Militer dalam tahap tertentu sangat baik bagi organisasi dan masyarakat secara luas.

Namun, ketika Jiwa Korsa itu dimaknai berlebihan justru hasilnya bakal kontra produktif bagi organisasi tersebut yang ujungnya bisa berakhir merugikan korps itu sendiri dan tentu saja bangsa dan negara secara keseluruhan.

Bagaimana ketika kasus korupsi yang melibatkan Komjen Pol Susno Duadji dari Kepolisan yang dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat itu ramai disebut sebagai kasus "Cicak vs Buaya.

Kemudian saat Jenderal Budi Gunawan yang saat itu sempat dicalonkan menjadi Kapolri namun ditengah prosesnya tiba-tiba KPK yang saat itu dipimpin oleh Abraham Samad mentersangkakan Jendral Budi.

Aksi balasan kemudian dilakukan oleh pihak Kepolisian yang juga mentersangkakan 2 pimpinan KPK atas kasus tindak pidana umum yang sudah lama terjadi dan sebenarnya kasus itu ya ecek ecek aja.

Cicak vs Buaya jilid ke-2 pun terjadi. Apakah itu membantu terhadap proses penegakan hukum atau sistem hukum secara keseluruhan? Tentu saja tidsk citra Institusi Kepolisian malah bertambah buruk dimata masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun