Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Din Syamsudin dan Isu Liar Pemakzulan Presiden

2 Juni 2020   18:01 Diperbarui: 2 Juni 2020   18:22 1384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebetulnya tak begitu mengejutkan ketika Muhammad Siradjudin Syamsudin atau lebih dikenal dengan nama Din Syamsudin, mantan Ketua Umum Pengurus Muhammadiyah, mengeluarkan pernyataan tentang pemakzulan Presiden.

Dosen Pemikiran Politik Islam Universitas  Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini, beberapa kali memang berbicara cukup keras tentang ketidakadilan yang dirasakan masyarakat, termasuk yang dianggap terjadi pada pemerintahan Jokowi.

Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia(MUI) ini menyampaikan bahwa pemakzulan pemimpin dimungkinkan dalam kerangka pemikiran politik Islam.

Mengutip pandangan dari Pemikir Politik Islam Al Mawardi, Din menerangkan terdapat 3 syarat untuk memakzulkan Kepala Negara.

"Pemakzulan itu dalam pendapat beberapa teoritikus politik Islam, Al Mawardi yang terkenal itu, pemakzulan imam, pemimpin, mungkin dilakukan jika syarat tertanggalkan," ujar Din dalam seminar nasional bertema 'Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di era pandemi Covid-19, Senin (01/06/20). Seperti dilansir CNNIndonesia.Com.

Pertama, tidak adanya keadilan dan menciptakan kesenjangan sosial. Berlaku adil merupakan syarat utama seorang pemimpin. Jika hal ini tak dipenuhi oleh Kepala Negara maka ia layak untuk diberhentikan.

"Ketika pemimpin berlaku tak adil, hanya menciptkan satu kelompok lebih kaya atau ada kesenjangan ekonomi" ujarnya.

Jika memang demikian, ukuran ketidakadilan itu hanya berupa kesenjang ekonomi, hampir seluruh pemimpin di dunia ini mungkin layak untuk dimakzulkan lantaran faktanya hampir tak ada satu pun negara yang terbebas dari kesenjangan ekonomi.

Hal ini bisa diukur melalui koefesien Gini rasio, rasio yang mengukur tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.

Saat ini negara yang memiliki koefesien Gini rasio terendah adalah Denmark dengan nilai 0,25 sedangkan yang tertinggi adalah negara di Afrika, Namibia dengan angka 0,70.

Angka acuan Gini rasio 0 untuk pemerataan sempurna sedangkan 1 merupakan gambaran kesenjangan sempurna.

Indonesia menurut catatan Biro Pusat Statistik (BPS) per September 2019 Gini rasio-nya sebesar o,380 menurun 0,002 dibanding April 2019.

Jika kita amati sejak beberapa tahun belakangan kesenjangan di Indonesia terus mengalami perbaikan.

Jika kemudian ketidakadilan dipandang dalam sisi yang lain itu debatable, karena kadang ketidakadilan itu tergantung dari sudut pandang individu atau kelompok masing-masing. 

Bisa saja adil menurut satu kelompok belum tentu adil untuk kelompok lain, jadi tak ada ukuran yang pasti terkait keadilan ini.

Sementara pemakzulan itu urusan hukum tata negara yang harus jelas duduk perkaranya tak konotatif dan multitafsir.

Kemudian, Din Syamsudin menyebutkan bahwa hal kedua yang memungkinkan kepala negara dimakzulkan, ketika pemimpin tersebut tidak memiliki pengetahuan atau tidak mempunyai visi kepemimpinan yang kuat dalam mewujudkan cita-cita nasional.

Dalam konteks Indonesia hal itu bisa terjadi saat pemimpin itu tidak memahami esensi dasar negara kita, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Syarat yang ketiga, menurut Din ketiadaan kemampuan dan atau tak memliki kewibawaan pemimpin dalam situasi krisis.

"Apabil pemimpin tertekan kekuatan lain, terdikte kekuatan lain, baik keluarga atau orang dekat, itu memenuhi syarat makzul," ungkapnya.

Selain ketiga syarat tersebut, Din Syansudin pun menyebutkan pemakzulan juga sangat dimungkinkan jika  pemimpin tersebut cenderung represif hingga tampak sedang membangun sebuah kediktatoran.

Kemudian Din mengatakan bahwa kondisi ini, kini tengah terjadi di Indonesia. Kediktatoran dalam bentuk konstitusi yang ia lihat dari beberapa produk-produk perundang-undangan yang dikeluarkannya.

"Saya melihat kehidupan kenegaraan kita terakhir ini membangun kediktatoran konstitusional, bersemayam dibalik konstitusi seperti godok Perppu jadi UU dan sejumlah kebijakan-kebijakan lain," ujarnya.

Atas dasar hal-hal tersebut dan dirinya merujuk pada pemikir Islam modern Rasyid Ridho, Din Syamsudin meminta agar masyarakat tak segan untuk melawan pemerintahan yang dipimpin oleh kepemimpinan yang zalim, apalagi jika kepala negara tersebut melanggar konstitusi.

Pernyataan-pernyataan Din Syamsudin sepertinya tak berdasar dalam konteks Indonesia seperti yang ia sebutkan.

Jika memang kediktatoran yang cenderung represif memang terjadi, bisa saja setelah ia mengucapkan hal-hal tersebut dirinya sudah ditahan oleh pemerintah.

Tapi nyatanya itu tak terjadi, berbagai undang-undang yang disusun bukan semata hasil kerja Pemerintah, yang berhak melakukan legislasi ya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Jika yang dimaksud Perppu yang jadi UU itu, Perppu nomor 1 tahun 2020 tentang kebijakan keuangan terkait penanganan Covid-19.

Itu dibutuhkan karena tanpa Perppu yang kini telah disahkan menjadi UU tersebut, penanganan pandemi ini akan tersendat.

Dan wajar saja penyelenggara negara meminta perlindungan agar kebijakan yang dibuatnya berdasarkan niat baik, tak menjadi masalah hukum dikemudian hari.

Karena kerap kali kebijakan yang berkaitan dengan keuangan negara, meskipun tak ada unsur niat buruk seperti memperkaya diri atau kelompok tertentu, ketika ada masalah pejabat tersebut diseret-seret secara hukum.

Pemakzulan ini bukan perkara mudah hanya dengan tuduhan-tuduhan tak berdasar. Memang belakangan ini ketika pemerintahan Jokowi sedang berjibaku berjuang menangani pandemi Covid -19 dengan berbagai eksesnya terutama aspek ekonomi, banyak kaum opportunis yang dari awal memang tak suka kepada pemerintahan Jokowi, malah mempergunakan momen krisis ini untuk merongrong pemerintah, alih-alih bersinergi secara bersama-sama menangani pandemi ini.

Seperti diketahui, bukan hanya Din Syamsudin, Amin Rais pun berujar hal yang serupa. Kita tahulah siapa mereka itu.

Padahal jelas sekali aturan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden  diatur dalam Pasal 7a, 7b dan 24c ayat 2 UUD 45 hasil amandemen.

Dalam pasal 7a disebutkan bahwa Presiden dan Wapres bisa diberhentikan jika terbukti melanggar hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainya atau perbuatan tercela, serta terbukti tidak lagi mampu memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Secara normatif tak ada satu pun syarat-syarat tersebut yang terjadi saat ini. Syahwat politik membuat keduanya seperti tertutup matanya.

Tapi yah bebas saja, silahkan berpendapat apapun sepanjang itu hanya diskursus, tanpa implementasi lanjutan dari diskursus tersebut.

Namun sekali saja ada tindakan nyata, maka siap-siap saja berhadapan dengan aparat hukum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun